Chereads / Putra Sang Penguasa Hutan / Chapter 6 - Bab 6.Mitos Desa Kemamang

Chapter 6 - Bab 6.Mitos Desa Kemamang

"Apa di sana ada pohon yang besar? " Raka bertanya tiba-tiba.

Ketika kilat menyambar tadi, ia melihat sebuah bayangan pohon yang samar-samar. Hanya saja ia belum terlalu yakin, mengingat jaraknya dengan rumah tidak terlalu jauh. Logikanya pohon sebesar itu tidak mungkin berada di dekat pemukiman.

"Ah, itu pohon beringin." Sadil beranjak mendekat. Bocah itu berdiri tepat di samping Raka. "Apa kak Raka melihatnya? Padahal keadaan diluar sangat gelap."

Raka mengangguk pelan. Laki-laki itu mengusap wajahnya beberapa saat, matanya menyipit beberapa kali.

"Kenapa ada pohon sebesar itu di dekat sini?"

"Mama bilang itu pohon keramat."

"Pohon keramat?"

Raka mengerutkan dahinya. Selama ia hidup di kota, hal-hal yang berbau mistis tidak pernah ia sukai, mengingat sudah sepanjang hari ia mendengar suara tanpa wujud sejak ia kecil.

"Kak Raka mau mendengar cerita mistis desa ini?"

"Tentang pohon keramat?"

Sadil mengelingkan kelapanya dengan cepat. "Bukan hanya itu. Pohon keramat di belakang itu hanya bagian kecil. Tempat mistis sebenarnya berada di belakang desa ini."

"Hutan di gunung Nagini," lanjutnya.

Raka mengangkat sebelah alisnya. Sadil menutup kembali jendelanya. Mereka duduk di atas lantai kayu tua.

"Bapak pernah bilang kalau desa Kemamang ini desa mistis, desa yang batasan langsung dengan alam manusia dan alam jin. Kak Raka tau kan kalau desa ini dikelilingi hutan dari gunung Nagini?"

Raka mengangguk. Ibunya pernah mengatakan sekilas jika nyaris seluruh wilayah desa Kemamang berbatasan dengan hutan.

"Karena itu para dedemit sering bolak-balik ke desa kita. Bapak juga pernah bilang dulu saat ia kecil ia pernah melihat penampakan segerombolan dedemit yang mengamuk, masuk ke desa ini."

"Pokoknya desa ini angkernya luar biasa. Para wanita tidak boleh pulang lewat senja, katanya ada yang akan datang menyesatkan ke alam lain. Para warga juga tidak diperbolehkan masuk ke dalam hutan," lanjutnya menjelaskan.

"Memangnya kenapa?"

"Kata Bapak di dalam hutan gunung Nagini itu adalah kerajaan para dedemit dan siluman. Jika kita ke sana tanpa izin mereka, para penunggu di sana akan marah."

Raka mengangguk-angguk. Ia pernah mendengar ini beberapa kali ketika salah satu temannya bercerita tentang mitos di beberapa tempat.

"Pokoknya Kak Raka jangan sekali-sekali keluar saat senja dan malam. Apalagi sendirian. Bisa-bisa para dedemit dan siluman penjaga hutan akan menyesatkan kaka."

"Ah, juga saat tengah malam kak Raka terbangun dan mendengar ada suara bising atau suara gamelan, Kak Raka jangan mengikuti suaranya. Pura-pura saja tidur dan tutup telinga. Bapak bilang itu bisa saja kita tidak berada di alam kita melainkan terbawa ke alam lain."

Raka terkekeh pelan. Kemudian mengangguk.

"Tapi, memangnya siapa yang mengatakan itu semua? Paman Murad?"

Sadil mengangguk, "Sebagian. Yang lainnya lagi dapat dari para warga."

"Semacam cerita turun temurun?"

Sadil mengeling. Bocah itu terdiam beberapa saat sebelum ia mengangguk lagi. "Kurang lebih seperti itu. Tapi Mbah Sajen yang selalu mengatakan pada kami jika kami bandel."

"Siapa Mbah Sajen?"

Entah kenapa nama itu terasa familiar. Raka yakin ibu dan paman Murad pernah mengungkitnya ketika dalam perjalanan tadi.

"Ah, Mbah Sajen itu tetua kampung ini. Rumahnya jauh di ujung kampung. Sadil pernah beberapa kali ke sana sama Bapak. Ada banyak keris dan lukisan, guci-guci dan juga kain kuning."

****

Raka membuka matanya tiba-tiba. Tubuhnya tegang ketika lagi-lagi mendengarkan suara-suara aneh di sekitarnya. Hanya saja kali ini suara-suara itu memiliki wujud. Mengerikan, persis seperti di jalan sebelum ini.

Raka duduk di atas. Berusaha tidak menghiraukannya. Ia melirik ponselnya yang masih memiliki daya kurang dari setengahnya.

'Pukul tiga dini hari'

Pantas saja hawanya sedikit dingin dan mengerikan.

Raka menghela nafas panjang. Remaja itu menatap keadaan disekitarnya. Ada tiga Makhluk transparan yang menatap ke arahnya kali ini.

'Jangan dihiraukan Raka, kau sudah melewati ini hampir diseluruh umurmu.' Raka berseru pada dirinya sendiri di dalam hati.

"Hai, dia bangun."

"Jangan bicara. Tuan bilang manusia itu bisa membakar kita."

"Tapi dia harum."

"Lihat matanya. Bukannya itu sama persis dengan pangeran?"

"Diamlah, dia menatap kita."

"Dia tidak bisa melihat kita bukan?"

"Aku bilang diam! Tuan akan membunuh kita jika rencananya gagal."

"Tapi dia harum sekali. Apa tuan akan membaginya dengan kita?"

"Jangan bicara lagi. Kita punya tugas lain."

Raka memejamkan matanya beberapa saat. ia tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan tiga makhluk itu. Itu bukan urusannya, terkadang para suara aneh itu bergumam tanpa henti. Terkadang ada manfaatnya, dan sisinya hanya nyinyiran semata.

Setelah membuka matanya lagi. Ia menoleh ke arah Jendela. Dengusan pelan terdengar di bibirnya.

'Jendelanya kembali terbuka.'

Entah kapan tepatnya. Mungkin angin yang membukanya seperti yang Sadil jelaskan tadi.

Raka beranjak. Ingatkan ia besok untuk meminta Paman Murad memperbaiki jendelanya.

"Hujannya berhenti?" Raka bergumam pelan. Remaja itu menatap keadaan malam yang semula gelap kini berubah sedikit terang.

Langit malam terlihat lebih terang dengan ribuan bintang dan bulan purnama yang bersinar.

Raka terkagum. Ia mencondongkan tubuhnya di jendela. Merasa aneh ketika mendapati langit penuh bintang, sedangkan sebelumnya keadaan begitu gelap, bahkan jalan pun samar-samar tersapu hujan.

'Kenapa bisa seindah ini?'

Saat ini pertengahan bulan Desember. Hampir seluruh wilayah sedang mengalami musim hujan. Aneh rasanya melihat ribuan bintang di langit seperti di musim panas.

Raka menghela pelan. Setelah lama mengamati, ia berniat keluar pada rumah.

Awalnya ia ingin membangunkan Sadil. Meminta bocah itu menemaninya. Namun ia tidak enak hati membangunkan tidur nyenyak sepupunya itu. Alhasil ia beranjak sendirian.

Sesampainya di luar, remaja itu kembali terkagum-kagum. Mata kuningnya berkedip-kedip beberapa kali.

Keadaan disini berbeda jauh dari sebelumnya. Rumput di halaman sedikit lebih panjang dari sebelumnya dengan bunga warna-warni yang menghiasi.

'Apa ia salah lihat sebelumnya? Apa hujan benar-benar menjadi kendala penglihatan?'

Tidak ada jalan berlumpur atau tanah miring yang sedikit mencuat seperti sebelumnya. Pohon berjajar rapi, dengan tanaman merambat yang menjuntaikan buah di sela-sela daunnya.

"Apa aku salah jalan?" Raka bergumam.

Remaja itu menoleh ke belang. Rumah paman Murad masih berdiri tegak di sana. Seolah menyakinkan Raka jika ia tidak salah. Hanya saja pertanyaan tentang jalan yang berlumpur kini memenuhi pikirannya.

'Kemana perginya semua air hujan. Mustahil dapat kering seketika, padahal logikanya ada beberapa yang menggenang mengingat jalan yang ia lalui sebelumnya begitu berlubang di beberapa sini.'

Raka menghentikan langkahnya. Remaja itu merasa ada yang tidak beres. Tidak ada suara yang mengganggunya, tidak ada penampakan yang menghalangi jalannya seperti sebelum ini, dan yang paling Raka merasa yakin adalah pohon merambat yang memiliki buah aneh dan lebat.

Ia bahkan tidak pernah melihat jenis buah seperti itu.

"Kau datang?"

Degh ...

Raka menoleh ke sampingnya. Tubuhnya mendadak kaku ketika melihat ada seseorang yang memanggilnya di balik pohon besar yang tidak jauh dari tempatnya berdiri saat ini.

'Pohon beringin itu...'

Bersambung ....