Chereads / Putra Sang Penguasa Hutan / Chapter 10 - Bab 10.Kunci Kehancuran

Chapter 10 - Bab 10.Kunci Kehancuran

Kerajaan Angkara, Hutan Gunung Nagini.

Narendra membanting gelas kristal ke atas lantai marmer di dalam ruangannya. Membuat pecahannya berserakan di lantai.

Laki-laki itu mendengus kesal beberapa kali ketika mengingat kejadian yang baru saja terjadi tadi.

Ia nyaris mendapatkan bocah itu. Tapi hanya karna saudaranya datang impian untuk menguasai kerajaan Angkara pupus sudah. Padahal ia sudah menyusun rencana ini selama tujuh belas tahun terakhir.

"Ahhhh!!"

Brakkk...

Laki-laki itu mengusap wajahnya dengan kesal.

"NARENDRA!! APA YANG KAU LAKUKAN!"

"Diam kau Mukas. Semua rencanaku hancur karenamu."

Mukas menghela nafas pelan. Ia masih mengenakan jubah hitamnya. Laki-laki itu langsung mengikuti saudaranya ke dalam istana setelah ia mengembalikan bocah manusia itu ke asalnya.

"Kalian keluar semua. Ada yang ingin kami bicarakan," ucapnya.

Setelah itu para pelayan yang semua hanya mengamati tuannya yang marah kini bergegas keluar ruangan.

Mukas mendekat. Ia menepuk pundak saudaranya itu. Namun ditepis kasar oleh empunya.

"Seharusnya kau yang sadar rencanamu itu terlalu gegabah."

"Rencanaku matang Mukas. Bocah itu adalah kuncinya. Kita akan menjadi kuat dan menguasai Kerajaan Angkara. Memangnya kau puas hanya menjadi komandan pasukan?"

Mukas mengerutkan dahinya. Raut kesal terlihat jelas di wajah datarnya itu.

"Apa kau berniat memberontak Narendra?"

Narendra tertawa keras. Mata merahnya berkilau membara. Bibirnya tersungging, nyaris menyeringai.

"Bukankah itu hak kita? Kita lahir dari ayah yang sama tapi kenapa kedudukan Arkhan lebih tinggi dari kita hanya karena ibunya seorang ratu dan ibu kita hanya selir."

"Narendra jaga bicaramu. Istana ini penuh dengan mata dan telinga. Jika pangeran mengetahui kau akan dihukum sebagai pengkhianat."

Narendra mendenggus kesal. Sedari dulu ia sudah ingin menghancurkan Arkhan, tapi tidak bisa. Padahal ia sudah menggunakan siasat licik.

"Kau perlu berpikir jernih Saudaraku. Jangan bertindak asal yang akan membahayakan posisi kita di istana ini."

"Aku hanya memerlukan bocah itu. Setelahnya akan selesai. Toh, Arkhan juga tidak mengakuinya bukan. Hidup atau mati bocah itu sama sekali tidak ada artinya bagi Arkhan."

Tok... tok...

"Tuan, ada pangeran Arkhan di luar."

Suara salah satu pelayan membuat keduanya tersentak kaget. Narendra menoleh menatap Mukas bergantian ke arah pintu.

"Apa dia mendengarnya?"

Mukas menghela napas. "Aku tidak tau. Berdoa saja kematian tidak menjemputmu kali ini."

Mukas langsung membukakan pintu. Membungkuk hormat ketika pangeran Arkan melewatinya.

"Salam sejahtera pangeran Arkhan."

Sosok laki-laki berparas tampan itu menoleh. Tingginya nyaris setara dengan Mukas, namun tidak sekekar komandan pasukan kerajaan itu.

Pangeran Arkhan jauh lebih menawan. Penampilannya menunjukkan kedudukannya yang tinggi. Jika para saudaranya memiliki sisik yang masih tertinggal walau mereka berwujud manusia, tapi Arkhan tidak memiliki sisik. Perubahannya sempurna.

Bahkan rambut panjangnya berwarna hitam kalam dengan mata emas yang merupakan ciri khas putra mahkota, pemimpin selanjutnya kerajaan Angkara.

"Mukas. Kau juga ada disini?" tanyanya.

"Hamba menemani saudara hamba untuk berbincang, Pangeran."

Narendra ikut mendekat. Laki-laki itu membungkuk hormat.

"Salam sejahtera yang mulia Pangeran Arkhan. Apa gerangan Pangeran mengunjungi tempat sederhana saya."

Arkhan menoleh ke arah Narendra. Laki-laki itu mengamati tingkah saudaranya yang terlihat gemetaran. Seolah ada yang ingin disembunyikan laki-laki itu.

"Ah, Narendra. Aku mendapat laporan jika kau datang ke desa Kemamang baru-baru ini."

Degh...

Narendra mendongak, ia menatap Mukas dalam diam.

Padahal mereka baru saja datang dari desa itu. Kenapa pangeran Arkhan bisa tau secepat ini?

"Apa itu benar?"

"Ampun Pangeran. Hamba mengaku salah. Semua bukan sebuah kesengajaan. Hamba hanya ingin melihat keadaan disana tidak lebih."

"Pangeran, saudara hamba hanya ingin melihat-lihat. Dia tidak melakukan apa-"

"Jangan membelanya Mukas." Arkhan memotong ucapan Mukas dengan cepat. Manik emasnya kembali menatap Narendra yang tengah bersimpuh memohon ampun.

"Dengarkan Narendra. Perjanjian kita tujuh belas tahun yang lalu dengan warga desa. Kita tidak boleh mengambil atau menculik warga di sana apapun alasannya. Tidak ada bentuk penyiksaan atau hanya sekedar mencari mangsa. Kita tidak memiliki hubungan apapun lagi dengan mereka. Dunia ini dan dunia mereka tidak akan terbuka. Jadi jangan pernah berpikir untuk mencari gara-gara dengan manusia."

"Peraturan tidak akan berubah meski kau saudaraku," lanjutnya.

****

"Wah, mau kemana Kak Raka? Rapi benar?"

Saddil yang baru saja membuka pintu langsung mendekat ke arah Raka. Bocah itu tersenyum sumringah.

Raka terkekeh pelan. Remaja itu meletakkan kembali ponselnya. Ia hanya bisa mengecas ponsel di malam hari, itupun listriknya terbatas.

Walau ponselnya tidak berfungsi maksimal mengingat di desa ini sama sekali tidak memiliki sinyal. Namun ia masih membutuhkan ponsel untung menyetel lagu dan penunjuk waktu.

"Paman Murad dan Mama bilang kami akan ke rumah Mbah Sajen." Raka menjelaskan.

"Pasti karena kak Raka mendengar pembicaraan bapak sama Bibi kemarin bukan?"

"Bisa jadi."

Raka juga berpikiran yang sama. Pembicaraan mereka kala itu berhenti ketika ia menanyakan tentang ayah biologisnya.

Ibunya bersikap aneh dan malamnya Paman Murad langsung mengatakan jika besok mereka akan menemui Mbah Sajen.

"Err, kalau boleh tau Kak Raka kemarin kenapa bisa bertemu sana Kak Alana?"

"Alana?" Raka berpikir sebenar. "Ah, gadis yang membantu Kakak kemarin?"

Saddil mengangguk. "Dia putri kesayangannya kepala desa. Kak Alana juga gadis terpelajar di desa ini. Ia satu-satunya yang pernah hidup di kota besar."

Sekarang Raka paham kenapa cara bicara gadis itu sedikit lebih mirip dengannya dibandingkan orang kebanyakan di desa ini.

"Sudah lama?"

"Apanya?"

"Gadis bernama Alana itu. Apa dia sudah lama tinggal di kota?"

Saddil mengangkat bahunya. Bocah itu menatap ke arah lain beberapa saat sebelum akhirnya kembali menoleh ke arah Raka.

"Saddil tidak tau banyak. Katanya Kak alana langsung pulang ketika menamatkan sekolah menengah di kota." Saddil menjelaskan. "Seingat Saddil sekitar tiga tahun yang lalu."

"Kak Alana itu lebih tua dari kaka Raka. Umur kaka belum tujuh belas tahun bukan?"

Raka mengangguk. Ia lahir di bulan Juli, dan sekarang baru bulan Desember. Meski begitu ia masuk sekolah pada usia yang jauh lebih muda dan tamat sebelum berusia tujuh belas tahun.

"Keluarga Kak Alana itu aneh. Pamannya sering pergi ke luar kampung setiap bulan purnama. Bapak pernah mengatakan, mungkin ada kaitannya dengan sakte iblis."

Raka menyipitkan matanya. "Apa lagi itu?"

"Semacam pesugihan. Toh keluarga ka Alana itu kaya kaya semua. Di desa ini tidak ada yang menyamai mereka."

"Apa ada-"

Tok.. tok...

"Nak Raka. Ini Bibi Zainab. Boleh bibi masuk?"

Panggilan tiba-tiba dari Bibi Zainab membuat membicarakannya dengan Saddil terhenti.

"Masuk Ma. Kak Rakanya sudah siap pergi kok."

Krek....

Pintu kaya itu berdecit ketika dibuka dari luar. Sosok Bibi Zainab muncul sambil tersenyum kecil.

"Wah, sudah siapa Nak Raka. Pakaiannya rapi."

"Kan Saddil bilang apa," ucap Saddil bangga.

"Tapi Paman sama Ibumu lagi ke pasar. Ada beberapa barang yang akan dibawa untuk berkunjung ke rumah Mbah Sajen. Jadi, berangkatnya ditunda sampai sedikit siang." Bibi Zainab menjelaskan.

Raka mengangguk paham. Sejujurnya ia sendiri justru tidak keberatan jika kunjungan mereka dibatalkan sekalipun.

"Sambil menunggu, kenapa kita tidak jalan-jalan di sekitar kampung? Toh Kak Raka juga tidak sedang sibuk kan? Dari pada dirumah saja."

Bersambung....