Hari pertama Raka datang ke desa ini nyaris tidak bisa melihat apapun selain guyuran hujan yang lebat. Langit mendung kala itu sama sekali tidak membantu. Tapi kali ini ia bisa melihatnya dengan baik.
Desa ini sangat tenang, udaranya bersih. Warna hijau nyaris memenuhi segala tempat. Pohonnya rimbun. Bahkan terlalu rimbun, batang besar dengan sedikit berlumut.
Jalanan tanah tidak seburuk sebelumnya. Tidak ada lumpur, walau sedikit basah. Rumput-rumput memang terlihat subur di beberapa tempat.
Saddil membimbing jalan, naik turun ke arah jalan yang tidak digenangi lumpur dan semak belukar.
Beberapa warga desa menatap heran ke arahanya. Mereka bertanya pada Saddil.
Raka hanya tersenyum canggung. Beruntung ia sudah menggunakan lensa hitamnya. Setidaknya mata langkanya tidak terekspos.
"Orang-orang disini penasaran dengan Kak Raka," Saddil berseru.
"Apa ini lumrah?"
"Saddil tidak tau. Tidak banyak orang baru yang datang ke desa ini. Hampir sebagian besar warga di sini sudah hidup bersama dan saling mengenal dari bayi. Orang tua mereka sampai kakek nenek mereka juga tinggal di desa ini seumur hidup mereka."
Jadi artinya Raka adalah satu-satunya pendatang baru di desa ini. Pantas saja ia merasa terasing.
"Harusnya aku tidak jalan-jalan bukan?"
"Apanya? Masa Kak Raka jadi pesimis. Meski Kak Raka satu-satunya pendatang baru tapi bukan berarti kakak berbeda."
"Mereka sepertinya berpikir begitu."
Raka menunjuk sekelompok pemuda yang berkumpul di pos ronda. Mereka menatap dengan penuh perhitungan.
"Jangan di hiraukan. Bapak bilang mereka yang suka begitu jiak merasa tersaingi."
Raka tertawa. Bocah itu menggurui nya seolah ia lebih tua dari Raka.
"Raka!! Sini!"
Dari arah lain seseorang memanggil namanya.
Raka menoleh. Ia menangkap sosok Alana yang juga tengah berkumpul bersama beberapa teman sebayanya.
"Raka sini."
Alana berteriak sambil mendekat. Gadis itu tersenyum kecil. "Apa kau sedang jalan-jalan?"
Saddil mengangkat bahunya. "Kak Raka ingin melihat-lihat."
"Ah, benarkah? Bagus sekali. Aku bisa menjadi pengarahmu."
"Err, Anu Alana. Sebenarnya kami tidak berniat menjelajahi desa. Kami hanya mengulur sedikit waktu." Raka berseru pelan. Bersahan menemukan kata kata sopan mengingat Alana lebih tua darinya.
"Ah begitukah? Sayang sekali kalau begitu."
"Kak Alana. Kak Raka tidak akan pergi dari desa ini. Masih ada waktu untuk jalan-jalan nantinya," Saddil berseru.
Alana terkekeh. Ia membenarkan perkataan bocah itu.
"Baiklah. Tapi sebelum kalian pergi. Bisakah kau menyapa teman-temanku dulu? Mereka penasaran denganmu." Alana menunjuk sekelompok wanita yang memperhatikan mereka saat ini.
Raka melirik ponselnya. Ini sudah siang. Mungkin Paman dan ibunya sudah menunggu di rumah untuk mengunjungi tempat Mbah Sajen.
"Err, mungkin lain kali. Saat ini kami benar-benar mengejar waktu untuk pulang. Ada keperluan yang akan kami kerjakan."
Alana tidak lagi memaksa. Gadis itu kemudian hanya meminta agar Raka melambaikan tangan ke arah teman-temannya.
Setelah itu Raka dan Saddil melanjutkan jalan pulang mereka.
"Kak Raka cukup terkenal ternyata. Padahal Kaka baru datang ke desa ini."
Raka memutar pandangannya. Menatap beberapa makhluk alam lain yang melayang-layang tidak jauh dari tempat mereka berdiri.
Sebagain lagi bersembunyi di balik pohon.
'Jangankan di alam manusia. Di alam jin pun ia dikagumi oleh makhluk tak kasat mata itu.'
Raka bergidik ngeri ketika membayangkan suara suara penuh pujian tentang ketampanan nya.
"Itu bukan hal yang baik."
"Saddil setuju."
Raka mendengus pelan. Ia tidak tau Saddil menjawab pertanyaan yang mana. Dilain psisi, kakinya terasa berat dengan lumpur yang menempel di sandal dan kakinya.
****
Raka mengusapkan air ke kakinya yang penuh dengan tanah. Saddil menunggu di atas, tidak jauh dari jalan setapak. Bocah itu menolak ikut turun ke dalam sungai.
"Hai..."
Degh...
Raka menghentikan kegiatannya. Remaja itu menoleh ke asal suara.
Tidak jauh dari tempatnya. Seorang gadis cantik menatap ke arahnya.
Rambutnya panjang bergelombang. Matanya besar, bulu mata lentik dan bibir tipis. Kulitnya putih bersih. Tubuhnya berselimut kain jarik, nyaris menutupi seluruhnya.
"Hai, kau yang disana. Bisa tolong aku?"
Raka mengerutkan alisnya. Ia terdiam beberapa saat, berpikir. Sebelum akhirnya ia bangkit dan mendekat.
Aroma bunga melati tercium semakin kuat. Raka sempat ragu. Remaja itu menghentikan langkahnya menatap jauh lebih teliti lagi.
Menurut pengalamannya selama ini. Seseorang yang berpenampilan begitu menawan, besar kemungkinan mereka bukan manusia.
Raka berdehem pelan. "Apa yang bisa aku bantu?"
Gadis cantik itu mengulurkan tangannya. "Bisa tolong? Tanganku digigit ular ketika mencuci di sana."
Ia menunjuk tumpukan batu di tengah sungai. Tempat biasanya para wanita dan gadis-gadis mencuci baju.
Raka langsung mendekat. Ia melihat jari-jari putih gadis itu sudah membiru sampai ke pangkal tangan.
"Kapan ular itu membatukmu?" tanya Raka.
Gadis cantik itu menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tau kapan tepatnya. Jariku sudah seperti ini ketika aku mengangkat tangan, di susul rasa nyeri di beberapa bagian."
Raka mengangguk paham. Setidaknya belum terlalu lama.
"Boleh aku merobeknya sedikit?"
Raka meminta izin untuk mengambil sedikit robekan kain jarik untuk mengikat jari gadis itu.
Raka memposisikan tangan gadis itu lebih rendah dari posisi jantung. Kemudian membersihkan luka gigitan dengan air dan sabun.
"Selanjutnya lakukan penanganan medis."
Raka berdiri. "Apa perlu aku bantu naik ke atas? Di sekitaran sungai tidak akan ada yang lewat."
Tempat ini juga jauh dari tempat ramai.
"Tidak-tidak perlu. Terimakasih, tadi kakakku sudah memanggil bantuan tapi dia belum datang. Mungkin sebentar lagi."
'Dia tidak sendirian.'
"Syukurlah."
Raka tersenyum kecil. Ia menggerutu di dalam hati. Menyayangkan keadaan. Seharusnya saudara wanita itu terlebih dahulu melakukan pertolongan pertama sebelum memanggil bantuan lain.
"Sekali lagi terimakasih ya. Kau laki-laki yang baik."
Raka mengangguk. Ia tidak menanggapinya. Hanya bergegas naik ke atas untuk menemui Saddil.
Sepeninggal Raka. Gadis itu tersenyum kecil, semakin lama semakin besar, sampai memperlihatkan gigi putih dengan taring di kedua sisinya.
Manik kecoklatannya menatap nanar ke arah punggung belakang Raka yang sudah berjalan menjauh.
Gadis itu menarik ekor yang sedari tadi ia sembunyikan di balik semak-semak.
"Dia bisa melihatku rupanya," ucapnya pelan.
Ia sengaja tidak tidak mengubah wujud sempurna, agar tidak bisa dilihat oleh manusia.
Tapi bocah itu bisa melihatnya.
"Aku sudah bilang kan. Bocah itu bisa melihat kita."
Seekor makhluk berkepala botak dengan tangannya yang panjang sebelah muncul dari dalam sungai. Matanya merah dengan tangan kanan yang panjang tapi tidak sekuat yang kiri.
"Dia sangat tampan bukan?"
Satu persatu makhluk yang sedari tadi bersembunyi kini muncul menampakkan diri.
"Aromanya juga sangat harum. Jadi, apa dia bocah yang jadi bahan pembicaraan orang perbatasan?"
"Bocah yang menjadi rebutan itu?"
"Dia tidak berwujud seperti kita. Dia manusia bukan? Bagaimana menurutmu Shivanya?"
"Aku tidak tau."
"Dia setengah siluman. Sebentar lagi auranya akan terlihat."
Si gadis cantik itu mengangguk setuju. "Kalau begitu, aku harus memberi laporan pada Pangeran. Dia belum tau jika bocah itu bisa melihat bangsa kita bukan."
Bersambung....