Chereads / Putra Sang Penguasa Hutan / Chapter 12 - Bab 12.Tidak Diakui

Chapter 12 - Bab 12.Tidak Diakui

Kerajaan Angkara, Hutan Gunung Nagini.

Shivanya, siluman ular berwajah ayu itu berjalan cepat menuju istana sang pangeran. Tidak ada yang tidak mengenalnya.

Siluman ular paling cantik yang dimusuhi para putri bangsa jin. Rambutnya berkilau, matanya indah dan kulitnya mulus tanpa tersisa sisik-sisik yang seharusnya masih menempel walau ia berubah wujud.

Tidak ada yang berani mengusiknya. karena ayahnya merupakan perdana mentri di kerajaan Angkara. Posisinya stabil, nyaris setiap waktu ia bisa bolak-balik memasuki istana.

"Bukakan pintu, aku ingin bertemu dengan Pangeran Arkhan," ucapnya tegas.

Para pengawal yang menjaga pintu masuk langsung mengangguk. Mereka membuka pintu nya.

Shivanya masuk dengan cepat. Gadis itu menemui pangeran Arkhan yang baru saja muncul dengan jubah kebesarannya.

"Salam sejahtera Pangeran Arkhan."

Laki-laki itu menoleh. "Shivanya, kau datang?"

"Saya mengunjungi tempat pelatihan beberapa saat yang lalu. Kemudian saya ingin menyapa Pangeran."

"Duduklah Shivanya. Aku sedang ingin bermain catur, apa kau ingin bergabung denganku?"

"Membahas strategi bukanlah keahlian saya, Pangeran."

Pangeran Arkhan tertawa. Ia mengangguk paham, tetap menyuruh gadis itu untuk duduk.

"Baru-baru ini ada sedikit kekacauan yang terjadi di beberapa wilayah. Aku ingin mengirim Mukas, jadi bagaimana pendapatmu?"

Shivanya terdiam beberapa saat. Manik cantiknya mengamati keadaan sekitar. Tidak banyak para datang yang berbaris.

Pangeran Arkhan tidak suka ruangan nya dipenuhi oleh banyak orang. Sebagai naluri ular, mereka cenderung lebih suka sendirian.

Shivanya menghela nafas pelan. "Saya rasa itu pilihan terbaik pabgeran. Mukas adalah komandan terbaik yang kita miliki selain anda sendiri."

Pangeran Arkhan kembali tertawa. "Sayangnya aku tidak suka berperang."

"Benar."

"Skakmat. Aku menang!" Pangeran Arkhan berseru.

Shivanya hanya tersenyum kecil. Karna sedari awal ia memang tidak berniat untuk menang.

"Saya kalah pangeran. Sudikah anda memaafkan dan menghukum saya."

"Tidak perlu. Ini bukan permainan yang serius."

"Terimakasih, Pangeran."

Pangeran Arkhan memerintahkan seorang dayang untuk membawakan minuman.

"Jadi, bagaimana keadaanmu Shivanya? Aku dengar kau menolak pejantan yang dijodohkan denganmu baru-baru ini?"

Shivanya mengangguk. "Saya masih belum berniat untuk berproduksi, Pangeran. Saya masih ingin menikmati kesendirian saya."

"Terserah kau saja. Tapi jangan pergi ke tempat yang berbahaya. Kau sudah kuanggap sebagai adikku sendiri. Selain itu ayahmu akan mengomel tanpa henti jika putri kesayangannya menghilang."

Perdana menteri adalah pendukung nomor satu pangeran Arkhan. Jadi wajar jika pangeran baik padanya.

"Pangeran. Ada yang ingin saya ceritakan."

Pangeran Arkhan mengangkat sebelah alisnya. Menunggu.

"Baru-baru ini saya pergi ke sungai. Beberapa teman saya bermain di sana."

Pangeran Arkhan yang tengah mengambil gelas minuman langsung menghentikan kegiatannya. Laki-laki itu mendongak.

"Kau pergi ke dunia manusia?"

Shivanya mengangguk membenarkan. "Disana saya bertemu dengan seorang anak laki-laki yang mirip dengan pangeran. Rambutnya, matanya bahkan bentuk wajahnya. Saya rasa dia anak anda bersama wanita manusia itu Pangeran."

Tujuh belas tahun yang lalu terjadi keributan besar di kerajaan Angkara.

Dimana pangeran Arkhan membawa sesosok manusia cantik masuk kedalam istana.

Saat itu pro dan kontrak saling bertabrakan. Para tetua istana terbagi menjadi beberapa kelompok. Mereka menganggap sikap pangeran Arkhan yang membawa wanita manusia itu adalah sebuah pelanggaran besar. Keadaan istana kacau penuh dengan desas-desus aneh sampai tiba-tiba ketegangan itu perlahan menghilang.

Dan wanita itu juga pergi dari istana.

Shivanya masih mengingatnya dengan jelas. Saat itu masa kelam semakin bergejolak. Sosok Pangeran Arkhan pun berubah menjadi kejam.

Tidak ada yang mengetahui alasannya.

"Aku tidak peduli."

Degh...

Shivanya terkejut. Ia tidak pernah menyangka akan mendapatkan jawaban seperti itu.

"Jangan kaitkan lagi masalah wanita manusia itu denganku."

****

"Shivanya mengatakan anak itu bisa melihat kita."

"Siapa? Siluman itu?"

"Mereka bertemu beberapa waktu yang lalu."

"Sudah kuduga dia bisa melihat kita."

"Jadi, apa sekarang dia mendengar kita? Kelihatannya dia terlihat biasa saja. Apa benar dia bisa melihat kita?"

Brakk...

Raka menutup buku yang ia baca. Remaja itu beranjak membuka pintu kamar. Menghindari para makhluk aneh yang tengah membicarakannya.

"Raka."

Ratih, ibunya memanggil dengan lembut. Wanita itu mendekat. Ia membawakan sepiring buah yang sudah dipotong kecil-kecil.

Raka tersenyum kecil. Merasa tidak enak pada sang ibu. Tadi siang janji mereka dibatalkan karena Raka pulang terlambat.

"Duduklah. Ada yang ingin Mama bicarakan."

Keduanya duduk di kursi rotan di ruang depan dengan penerangan kecil.

"Ini tentang pertanyaan Raka sebelumnya." ucap Ratih membuka suara.

Wanita itu menoleh. Menatap sang putra untuk mengetahui reaksinya.

"Tentang ayahmu."

Degh...

Raka mendongak. Mata emasnya bersinar karena saat malam tiba ia melepaskan lensa hitamnya.

"Mama mau menjelaskannya?"

Rasa penasaran tentang sosok biologis sanga yah membuatnya beberapa kali bermimpi buruk.

Ratih mengangguk. "Tapi Mama tidak bisa mengatakan semuanya. Kau akan tau jika sudah waktunya."

"Ada beberapa hal yang tidak bisa mama katakan begitu saja. Tapi mama juga tidak berniat untuk menyembunyikan semuanya sampai akhir. Kedatangan kita ke desa ini karena mama ingin memperkenalkanmu dengan kehidupan yang sesungguhnya. Siapa kau dan apa yang terjadi di masa lalu."

Ratih menghela nafas panjang. "Intinya kau akan tau seiring berjalannya waktu. Jangan di paksakan Raka. Dia tidak akan pergi kemanapun, tapi jangan mengharapkannya. Dia bukan sosok ayah yang kau bayangkan."

Raka langsung terdiam. Banyak pikiran yang tiba-tiba mengamuk di otaknya. Berbagai macam kesimpulan coba ia terapkan namun tidak ada satupun yang membuatnya puas.

'Siapa ayahnya?'

'Seperti apa sosoknya?'

'Kenapa selama ini mereka tidak pernah bertemu.'

Raka menundukkan wajahnya. Menatap lantai kayu di bawah.

"Jadi, maksud ibu sosok ayah yang Raka kebal selama ini bukan ayah kandung Raka?"

Ayah yang baru meninggal dua bulan yang lau bukan ayahnya?

'Lalu siapa?'

'Siapa sosok itu?'

"Mama sudah mendiskusikannya dengan Murad. Besok pagi-pagi sekali kita akan mengunjungi rumah Mbah Sajen. Kali ini jangan dibatalkan lagi."

Ratih menepuk pundak sang putra. Tersenyum kecil.

Wanita itu berdiri, berniat menutup jendela yang masih terbuka. Namun panggilan dari Raka membuatnya kembali berbalik.

"Ma, apa ada kaitannya dengan kebiasaan Raka yang bisa mendengar suara-suara itu." tanya Raka.

"Kau masih mendengarkannya?"

Raka mengangguk. Remaja itu langsung menutup mulutnya rapat-rapat.

Ia nyaris mengatakan jika saat ini bahkan bukan hanya suara yang ia dengar, melainkan wujudnya pun bisa Raka lihat dengan jelas.

"Kalung yang mama kasih tidak pernah dilepas bukan?"

Raka mengangguk. Ia memperlihatkan kalung yang dimaksud ibunya. Masih tersimpan di balik kaosnya.

"Besok kita tanyakan. Sekarang tidurlah dulu." Ratih berseru. "tutup jendelanya juga."

Raka mengangguk paham.

Tanpa mereka sadari. Dari kejauhan, seseorang mengawasi mereka dalam diam. Bersembunyi di balik rimbunnya pohon beringin.

Rambut hitamnya tertiup angin, berkibar lembut. Mata emasnya bersinar, tidak kalah dengan cahaya bulan.

"Kalian berdua kembali..." cicitnya pelan.

Bersambung....