(Sesaat sebelumnya..)
Ratih Anggini ....
Wanita satu anak itu pernah merasakan hal yang mengerikan dan juga menegangkan disaat yang bersamaan tujuh belas tahun yang lalu.
Sebuah duka dan ketakutan. Bagi Ratih, sang putra Raka adalah satu-satunya yang tidak meninggalkannya ke dalam duka.
Karena itu ketika Saddil, keponakannya mengatakan jika Raka tidak ditemukan di kamar mereka, langsung membuat Ratih syok di tempat.
Bayangan kematian dan makhluk-makhluk penghuni Gunung Nagini yang menerornya tujuh belas tahun yang lalu kembali melintas di dalam benaknya.
"Mungkin Raka lagi mandi sungai. Jaraknya jauh dari sini Mba." Murad berseru menenangkan sang kakak.
Ratih dibawa duduk oleh Zainab. Wanita itu mengusap-usap pundaknya beberapa kali, berusaha menenangkan.
"Raka tidak tau kalau ada sungai di sini. Jika dia mau mandi pastinya akan membangunkan kita, minimal Saddil yang sekamar dengannya."
"Mba Ratih jangan berprasangka buruk dulu, siapa tau Raka memang hanya jalan-jalan pagi."
Ratih menggelengkan kepalanya dengan cepat. Perasaannya tidak tenang sejak mengetahui sang putra hilang.
"Mba Ratih yang tenang dulu. Kita bicarakan baik-baik. Mas Murad juga sudah meminta bantuan beberapa teman untuk mencari Raka. Kita tunggu sebentar lagi saja." Zainab berseru.
Saddil putra angkatnya yang berusia sepuluh tahun itu ikut bertanya pada beberapa penduduk. Berharap ada beberapa dari mereka yangs sempat berpapasan dengan sosok Raka.
"Bagaimana jika dia dibawa ke sana."
"Mba Ratih. Tolong jangan berpikiran sampai ke sana. Raka akan baik-baik saja, Murad yakin itu."
Ratih mengusap wajahnya beberapa kali. Mereka tengah berkumpul di kamar Saddil, tempat dimana Raka juga tidur sebelumnya. Kamar ini juga merupakan bekas kamarnya dulu sebelum ia meninggalkan desa mistis ini tujuh belas tahun yang lalu.
Ratih menghela nafas panjang. Ia mendongak, menatap lurus ke depan, dimana pohon beringin tua masih berdiri dengan kokoh, tidak jauh dari rumah ini. Dedaunannya masih rimbun, sekana tidak pernah termakan waktu. Bentuk batang nya pun sangat kokoh, dengan sulur-sulur yang menjuntai mengenai tanah.
Wanita itu ingat, ketika pertama kali kehidupannya kacau dan mengerikan. Pohon beringin itu memiliki andil yang sangat besar.
Jika saja dulu ia tidak memiliki rasa penasaran yang kuat. Jika saja dulu ia tidak mengikuti suara gamelan di tengah malam. Maka ia tidak akan masuk ke dalam hutan yang dihuni oleh para dedemit dan jin.
Sekumpulan makhluk menyeramkan yang tiba-tiba ia lihat. Menerornya seakan tidak akan ada waktu lagi.
Ratih masih ingat rasa ketakutan itu. Namun yang paling ia sesali adalah pertemuannya dengan seorang siluman ular bernama Arkhan.
Kehidupannya benar-benar berubah sejak saat itu. Kesenangan dan duka bercampur aduk menjadi satu. Terlebih lagi ketika ia benar-benar dibuang bak barang tak terpakai.
Ratih membencinya ... sangat membenci laki-laki itu.
Sampai kapanpun ia tidak akan mau lagi bertemu dengan laki-laki itu, terlebih lagi bicara dengannya. Termasuk permintaan maaf. Karena selamanya ia tidak akan memaafkan semua luka yang ditorehkan Arkhan padanya.
****
"Apa maksud Mba? Raka tidak memiliki hubungan apapun lagi dengan mereka. Mereka tidak akan mengusik Mba lagi," Murad berseru.
Walau kini Raka sudah ditemukan, tapi Ratih masih merasa was-was dan tidak tenang.
"Raka itu putranya. Mau tidak mau mereka akan mengincarnya juga."
Murad langsung terdiam. Alisnya terangkat beberapa saat sebelum helaan panjang terdengar.
Murad yang semula tadi berdiri, kini duduk di samping kakaknya itu.
"Lagi pula Raka memang hanya jalan-jalan kan. Mba Ratih hanya terlalu khawatir."
Ratih mengelingkan kepalanya. Fakta itu sama sekali tidak membuatnya tenang. Ia merasa memang sudah terjadi sesuatu pada putranya sebelum ini.
"Tidak Murad. Raka tidak jalan-jalan begitu saja. Aku mengenalnya, putraku pasti di bawa makhluk penghuni hutan. Aku yakin itu."
Murad menghela nafas panjang berulang kali. Ia paham kepanikan kakaknya. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain memberikan penjelasan setenang mungkin, walau kakaknya sama sekali tidak mendengarkannya.
"Mba Ratih. Semua sudah selesai. Mereka tidak akan mengganggu Mba Ratih dan Raka lagi, Mbah Sajen sudah menyelesaikan semuanya," ucap Murad.
Ratih tetap mengeling. Wanita itu yakin dengan pendirian dan juga firasatnya.
"Kau tidak mengerti Murad. Mungkin mereka tidak akan mengganggumu lagi mengingat aku juga sudah dibuang. Tapi tidak dengan Raka. Selama darah itu mengalir di tubuh Raka, mereka akan selalu mengganggu putraku."
"Tapi dia tidak menganggap Raka sebagai putranya bukan? Jadi apa yang Mba Ratih khawatirkan? Tidak akan ada yang akan membawa Raka dari sisi Mba."
Ratih kembali mengeling. "Justru itu Murad. Karena Raka tidak diakui. Maka makhluk lain bisa bebas membunuh putraku. Mereka mengincarnya sejak kecil."
Apa yang dikatakan kakaknya masuk akal. Murad masih ingat kejadian kalam ketika ia masih berusia sepuluh tahun.
Keadaan itu jelas tidak baik. Begitu banyak korban dan ketakutan. Desanya berubah mengerikan dalam satu malam.
"Besok kita ke rumah Mbah Sajen. Siapa tau dia bisa membantu Mba dan Raka."
Ratih ingin membuka suara, namun ucapannya tergantung ketika suara Saddil terdengar tidak jauh dari tempat mereka bicara.
"Kak Raka sedang apa? Apa yang Kak Raka intip?"
Degh...
Ratih langsung berdiri. Wanita itu menatap Murad yang sama terkejutnya dengan dirinya.
"Ada Raka? Apa dia mendengar pembicaraan kita?"
Ratih tidak langsung menjawabnya. Wanita itu bergegas menghampiri pintu. Membukanya dengan cepat.
Sosok sang putra yang taman muncul di balik pintu. Manik keemasannya nyaris bersinar dalam kegelapan.
Ratih tersentak kaget ketika melihatnya. Padahal ia sudah sering mendapati sang putra seperti itu. Hanya saja kali ia ia merasa aura yang dipancarkan Raka tampak sedikit berbeda.
Ratih hampir berpikir jika di depannya itu bukan sang putra. Melainkan sosok yang ia benci selama ini.
Arkhan Bagaspati....
"Err... mama." Raka berseru canggung. Di belakangnya ada Saddil yang berjalan mendekat.
Ratih tersadar. Wanita itu memejamkan matanya beberapa saat sebelum kembali menatap sang putra.
"Raka. Kenapa berdiri disini?"
Degh..
Raka mengusap tengkuk bagian belakangnya. Remaja itu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Seiring rasa gugup yang tidak bisa berhenti.
"Apa kau mendengarkan pembicaraan mama dan Pamanku?"
Raka langsung mengeling dengan cepat. Ia bahkan mengangkat kedua tangannya.
"Bukan begitu Ma. Errr... Raka cuma lewat. Rencananya mau ke dapur, haus."
Ratih berpikir beberapa saat. Tatapannya menajam. Raka jelas tau jika di dunia ini yang paling memahami dirinya adalah sang ibu.
"Mama, Raka benar-benar tidak berniat menguping sungguh."
"Sebanyak apa yang kau dengar?"
"Hanya sedikit."
"Raka!"
"Baik! Baik! Raka membagkuendwngar pembicaraan Mama tentang Raka, hanya itu. Tapi Mama tidak perlu mengkhawatirkannya, Raka bahkan tidak mengerti apa itu."
Ratih memejamkan matanya beberapa saat. Tangannya terulur menepuk pundak sang putra.
"Tolong, lain kali jangan buat Mama terkejut. Jika ada yang ingin kau ketahui katakan saja. Mama akan menjelaskannya tapi dengan batasan tertentu."
Raka mengangguk setuju. Remaja itu tersenyum canggung.
"Jadi, apa yang ingin kau tanyakan?"
"Ma, mendengar pembicaraan Mama dan Paman murad tadi. Ada satu hal yang membuat janggal." Raka mendongak. Ia sengaja untuk melihat ekspresi sang ibu.
"Err... kalau boleh Raka tau. Apa ayah yang selama ini Raka kenal itu bukan ayah biologisnya Raka?"
Bersambung....