Chereads / Putra Sang Penguasa Hutan / Chapter 8 - Bab 8.Kegelisahan Ratih

Chapter 8 - Bab 8.Kegelisahan Ratih

"Kau tidak bisa menjawab? Ah, kau bisu?"

Gadis itu sedikit terkejut. Ia berdehem pelan, duduk tepat di samping Raka. Mengamatinya beberapa saat sebelum ia menghela pelan.

"Err ... Maaf kalau begitu," lanjutnya.

Gadis itu kembali mengamati respon Raka yang masih kebingungan. Bibirnya tersenyum kecil. Sangat cantik, ditambah lagi mata sipitnya nyaris tidak terlihat.

"Sayang sekali laki-laki setampan dirimu bisu," serunya. "Lihat bahkan matamu juga cantik. Bagaimana bisa kau memiliki warna mata seperti itu?"

Raka menoleh, alisnya mengerut pelan. Remaja itu sudah tersadar sepenuhnya.

'Apa dia menganggapku bisu dan warna mataku aneh?'

Raka mendengus pelan. Ia bangkit dari tempat duduknya, tepat ketika rasa sakit di kakinya sudah mereda.

Ia mengamati keadaan sekitar. Tempat ia berdiri saat ini tidak jauh dari aliran sungai berbatu yang cukup deras. Pantas saja ia mendengar gemericik air sebelumnya.

"Kita ada dimana?" Raka membuka suara dengan cepat.

Jika dilihat sekali lagi, ia yakin jika saat ini ia sudah berada di alam manusia yang sesungguhnya. Mengingat pemandangan di sekelilingnya tidak sepantastis tadi malam.

Apa dia bisa keluar dengan selamat? Lalu di mana ia saat ini?

"K-kau bisa bicara?" Gadis itu bertanya setengah gugup.

Wajahnya tampak syok beberapa saat sebelum ia kembali bisa mengatasi kegugupannya sendiri.

"Err, maksudku. Karna kau diam jadi aku pikir kau bisu."

Raka tidak tau harus melakukan apa. Kesalahpahaman ini jelas bukan karena dia.

"Kau tadi bertanya di mana ini bukan? Ini desa Kemamang, dan kita berada di aliran sungai yang berada di ujung desa. Disana hutan gunung Nagini," gadis itu menjelaskan.

Raka mendongak, ia mengikuti arah pandangan wanita itu. Benar saja, aliran sungai yang deras terlihat membatasi tempat mereka berdiri dengan hutan lebat di seberang sana.

'Apa ia sebelumnya baru saja masuk ke hutan itu tanpa sengaja?'

"Err, ngomong-ngomong. Apa kau anak baru? Maksudku penduduk baru desa Kemamang? Aku hampir mengenali semua penduduk di desa ini."

Raka menoleh. Ia mengangguk membenarkan.

"Aku dan ibuku baru saja pindah kemarin. Kami dari kota Daha."

"Oh, dari kota rupanya." gadis itu mengangguk dan tersenyum kecil. "Aku Alana, namamu siapa?"

Gadis bernama Alana itu mengulurkan tangannya. Raka menjawabnya beberapa saat.

"Raka."

"Ah, halo Raka. Senang berkenalan denganmu. Matamu cantik, apa itu asli?"

Raka berdehem pelan. Ia memalingkan pandangannya ke arah lain. Menghindari pertanyaan apapun tentang matanya yang langka.

"Sepertinya kau tidak ingin menjelaskan. Ya tidak apa-apa. Aku bisa paham," ucap Alana santai.

"Jadi, apa yang kau lakukan disini? Kau tidak tidur di atas rumput bukan?"

"Tidak. Aku hanya tersesat."

Alana mengangguk paham. "Mau aku bantu mencari jalan pulang? Kebetulan aku sudah selesai mencuci."

Alana menunjuk tumpukan cucian bersih di atas keranjang yang ia letakkan di atas batu rata, tidak jauh dari tempat mereka berdiri.

Raka langsung mengiyakan. Karena ia memang tidak tau jalan pulang. Ibunya pasti akan khawatir karena tidak menemukannya di kamar.

"Ikuti aku."

Alana melangkah cepat. Menyusuri pinggiran sungai sambil membawa cuciannya.

"Mau aku bantu membawa itu?"

"Tidak, tidak perlu. Aku sudah terbiasa membawa ini." Alana menolak dengan sopan.

Keduanya kembali melangkah, menyusuri jalan setapak berbatu dan dipenuhi rumput liar di beberapa bagian, semak-semak dan tanaman berduri.

Jalannya tidak lurus. Nyaris menanjak ke atas. Raka berusaha mengkokohkan pijakannya agar tidak terpeleset.

Tidak ada pembicaraan lain. Alana sama diamnya dengan dirinya. Raka hanya mendengarkan beberapa makhluk aneh berbentuk setengah menyeramkan, rambut panjang dan beberapa lagi hanya merayap di tanah dengan tangan dan kakinya.

Mereka bicara acak. Tidak ada yang Raka mengerti dengan pasti, tapi inti pembicaraannya hanya tentang aroma darahnya yang harum dan juga sosok pangeran yang dibawa-bawa beberapa kali.

Beberapa orang yang mereka lewati tampak bergumam. Para penduduk yang berpapasan di jalan sedikit penasaran dengan kehadirannya. Sesekali mereka bertanya pada Alana dan dijawab sebisanya oleh gadis itu.

Raka hanya menundukkan kepala. Mencegah orang-orang melihat warna mata aslinya yang aneh.

Sesampainya mereka di depan rumah Paman Murad. Sang ibu Ratih sudah menunggunya dengan cemas.

Wanita itu langsung memeluknya erat. "Kemana saja kau Raka. Mama cemas ketika Sadil mengatakan kau tidak ada di dalam kamar."

"Ma..."

Ratih tidak fokus mendengarnya. Wanita itu mengamati tubuh sang putra. Mencari-cari luka atau apapun yang mengenai tubuh putranya itu.

"Kau baik-baik saja. Tidak ada yang sakit bukan?"

"Mba Ratih. Biarkan Raka menjelaskannya dulu."

Paman murad muncul bersama Bibi Zainab dan Sadil di belakangnya.

Laki-laki itu mengalihkan pandangannya ke arah Alana.

"Nak Alana? kenapa bisa bersama Raka."

"Ah, itu Alana bertemu Raka di pinggir sungai. Katanya dia tersesat makanya Alana antar ke sini," serunya sopan.

"Tersesat? Kenapa sampai tersesat Raka?" Ratih kembali panik. Ia mengusap-usap wajah sang putra.

"Ma, Raka cuma jalan-jalan subuh tadi. Karna gelap Raka tidak ingat jalan pulang," ucapnya berbohong.

Jika ia menceritakan tentang kejadian kemarin, mungkin ibunya akan panik luar biasa. Akan lebih baik menyembunyikan nya beberapa waktu dulu.

"Tidak ada yang terjadi bukan?"

Raka mengangguk. Ia hanya merasakan sakit di kakinya. Mungkin karena terjatuh sebelum itu.

Ratih menghela lega. Wanita itu tersenyum. Ia mengalihkan pandangannya pada Alana.

"Terimakasih ya Nak, karena sudah membantu Raka untuk pulang."

Alana tersenyum tipis ia mengangguk. "Sama-sama Bibi."

****

Raka sedikit kesal ketika merasa kehidupannya jauh lebih menyebalkan dari sebelumnya.

Remaja yang belum genap tujuh belas tahun itu hanya menghela nafas pelan beberapa kali. Ia mempercepat langkahnya ke arah dapur untuk mengambil air minum.

Sebisa mungkin tidak memperdulikan penampakan-penampakan makhluk yang mengamatinya dari jarak aman.

"Huhhh..."

Raka mengusap wajahnya. Jumlah makhluk halus itu jauh lebih banyak dibandingkan sebelumnya. Seolah mereka berdatangan lagi dan lagi.

Suara berisik semakin banyak dan menyebalkan. Hanya saja kali ini makhluk yang datang itu sedikit menjaga jarak dengannya. Mengamati dari jauh namun enggan mendekat.

'Apa mereka menghindariku?'

Raka mengeling. Ia tidak terlalu memikirkannya. Menganggap makhluk-makhluk itu hanya penasaran dengannya tidak lebih.

Sesampainya di depan kamar sang ibu. Yang memang berada di dekat dapur. Raka menghentikan langkahnya.

Dari dalam terdengar sayup-sayup suara sang ibu yang tengah bicara dengan seseorang. Pintu kamarnya tidak tertutup dengan benar, ada sedikit celah yang terbuka.

Raka mendekat perlahan. Tidak berniat untuk mengintip, tapi ia penasaran.

"Itu tidak seperti yang Mba Ratih pikirkan. Raka hanya jalan-jalan. Dia masih aman."

Degh...

Suara Paman Murad terdnegar seperti tengah menyakinkan sesuatu.

Raka terdiam beberapa saat. Dahinya mengerut kebingungan.

'Apa mamanya sedang mengkhawatirkan nya saat ini?'

"Tidak Murad. Raka tidak jalan-jalan begitu saja. Aku mengenalnya, putraku pasti di bawa makhluk penghuni hutan. Aku yakin itu."

"Mba Ratih. Semua sudah selesai. Mereka tidak akan mengganggu Mba Ratih dan Raka lagi, Mbah Sajen sudah menyelesaikan semuanya."

"Kau tidak mengerti Murad. Mungkin mereka tidak akan mengganggumu lagi mengingat aku juga sudah dibuang. Tapi tidak dengan Raka. Selama darah itu mengalir di tubuh Raka, mereka akan selalu mengganggu putraku."

Bersambung....