Chereads / Putra Sang Penguasa Hutan / Chapter 5 - Bab 5.Kedatangan Sang Putra Pangeran

Chapter 5 - Bab 5.Kedatangan Sang Putra Pangeran

"Nah, kita sudah sampai." Paman Murad berseru pelan.

Raka mendongak, pandangannya menatap keadaan di sekitarnya. Tidak ada yang spesial, hanya rumah kayu beratap genteng yang sudah tua, namun masih kokoh. Halamannya penuh dengan rumput yang dipapas rapi.

Tidak ada pemandangan lain yang bisa dilihat selain gelap dan hujan. Bahkan hujannya semakin deras dari sebelumnya.

"Masuk Raka, letakkan payung nya di samping pintu." Ratih berseru dengan lembut.

Tidak berapa lama kemudian, pintu rumah dibuka dari dalam. Menampilkan sosok wanita seusia Paman Murad.

"Mba Ratih, masuk Mba," serunya lembut.

Ratih tersenyum. Ia bergegas masuk di iringi Raka di belakang.

"Jangan sungkan-sungkan Nak Raka." Murad berseru seraya menepuk pundak remaja itu. "Paman lewat belakang rumah. Sekalian mau mengagung jas basah ini."

Raka hanya mengangguk. Sementara Murad melangkah lebih dulu ke belakang rumah.

Ketika mereka memasuki rumah, tidak ada pemandangan yang spesial. Penerangan hanya bersumber dari lampu minyak yang digantung di tengah ruangan dan beberapa di dinding.

Rumahnya cukup rapi, meski hanya ada sepasang kursi rotan yang sudah dimakan usia. Tidak banyak perabotan lain, seolah memperlihatkan betapa sederhananya kehidupan di sini.

"Gimana perjalananya Mba Ratih?" Wanita tadi memulai pembicaraan sambil memberikan handuk kecil.

"Alhamdulillah lancar. Satu-satunya kendala hanya hujan yang turun tadi."

"Alhamdulillah."

Wanita itu mengalihkan pandangannya pada sosok Raka yang sedari tadi hanya diam.

"Err, ini anak Mba Ratih tuh?"

Belum sempat Ratih menjawab pertanyaan wanita itu. Sosok Murad muncul dari belakang rumah. Ikut bergabung ke ruang tengah bersama yang lainnya.

"Saddil mana bu?" tanya Murad pada istrinya.

"Biasa, di kamarnya Pa."

"Panggil, katakan sepupunya baru sampai ini."

Wanita itu mengangguk, kemudian melangkah masuk ke salah bilik ruangan paling ujung. Tidak berapa lama kemudian ia kembali muncul bersama seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahunan.

"Raka, Paman mau memperkenalkan Raka sama Istri dan anak Paman. Raka pasti belum tau kan. Mba Ratih pasti belum pernah cerita."

Ratih hanya terkekeh pelan. Ia tidak menanggapi apapun.

"Saddil sini. Ini bapak kenalkan sama sepupumu yang datang dari kota." Paman Murad berseru, menyuruh anak bernama Saddil itu mendekat.

"Ini anak paman, namanya Saddil." serunya. "Lalu Saddil, ini sepupumu, namanya Raka."

"Halo Kak Raka."

"Err... h-halo." Raka membalasnya dengan sedikit canggung.

"Lalu ini istri Paman, namanya bibi Zainab."

"Panggil Bibi saja," seru wanita bernama zainab itu.

Raka mengangguk. Remaja itu menatap ibunya yang hanya tersenyum kecil.

"Nah Raka. Kamu tidurnya sekamar sama Saddil ya. Lalu Mba Ratih kamar yang di depan." Paman Murat berseru.

"Itu kamar Paman dan bibi kan? Apa tidak terlalu besar?"

Ratih masih ingat seluruh ruangan yang ada di rumah ini. Tidak ada yang berubah selain kamar baru yang dibuat di dekat dapur.

"Ya gak papa Mba. Mba Ratih paling pas dengan kamar almarhum ibu dan bapak. Kalau Murad yang menggunakannya nanti sering keinget bapak dan ibu."

Ratih mengangguk paham. Tidak ada pembicaraan lagi setelah itu.

Zainab menemani Ratih meletakkan dan menyusun barang-barang. Sementara Raka di bimbing oleh Saddil ke kamar mereka.

"Di sini ada lampu?" Raka bertanya.

Remaja itu tidak sengaja melihat ada bola lampu kecil yang terpasang di langit-langit kamar.

"Anak Kak. di dapur juga ada satu."

Raka mengerutkan dahinya bingung. "Bukannya tidak ada listrik?"

"Ada. Tapi hanya dari genset. Itupun hanya akan menyala saat malam hari. Tapi karena malam ini hujan, listrik tidak dinyalakan. Takut petir." Sadil menjelaskan dengan perlahan.

Bocah itu membantu Raka meletakkan beberapa baju ke dalam lemari.

"Baju Kak Raka basah? Apa tidak dingin?"

Raka langsung menyadari jika hoodie yang ia kenakan sangat basah. Ia langsung melepaskannya, menganti dengan pakaian kering.

Brakk...

Keduanya terkejut ketika jendela kamar mereka tiba-tiba terbuka. Menampakkan pemandangan di luar yang sangat gelap dan hujan yang deras.

"Ah, itu angin. Jendela ini sudah biasa terbuka sendiri," seru Sadil.

Raka mengangguk paham. Ia beranjak, berniat menutup kembali jendela nya.

Di saat yang bersamaan, kilat menyambar. Membuat keadaan di luar terang mendadak, tapi hanya sekejap.

Raka terdiam. Ia cukup terkejut dan mematung di depan jendela.

"Apa di sana ada pohon yang besar? " tanyanya tiba-tiba.

****

(Kerajaan Angkara, hutan Gunung Nagini)

Sosok laki-laki gagah berjalan cepat, masuk ke dalam sebuah kediaman luas yang berlapis emas dan perak. Jubah hitamnya berkibar seiring langkahnya.

Laki-laki itu berhenti tepat di depan seseorang laki-laki yang mirip dengan nya. Rambut hitam kemerahan dan mata merah yang menyala. Juga dengan sisik kecil yang terpatri di pelipis dan di lehernya. Tapi tidak membuat ketampanan laki-laki itu memudar.

Narendra...

Saudaranya itu duduk santai, memilah batu permata dengan dua wanita yang menemaninya, seperti biasa.

"Mukas, kau datang?" laki-laki bernama Narendra itu berseru menyambut kedatangan sosok yang mengenakan jubah hitam di hadapannya.

Laki-laki bernama Mukas itu terdiam beberapa saat. Matanya tajam, menatap dua wanita yang merupakan pelayan di istana ini.

"Narendra, bisa kita bicara." Mukas berseru dingin pada laki-laki di depannya itu.

"Bicaralah, saudaraku."

Mukas tidak langsung melanjutkan ucapannya. Laki-laki itu melirik kembali pada dua pelayan di sini Narendra.

"Ah, kau tidak suka dengan wanita yang melayaniku?" Narendra berseru. Laki-laki itu menyuruh para pelayannya untuk meninggalkan mereka berdua. Tentu saja memberikan beberapa permata yang sangat berkilau.

"Jadi, apa yang ingin dibicarakan?"

"Kau pergi ke desa Kemamang?"

Narendra menaikan sebelah alisnya. Laki-laki itu terdiam beberapa saat sebelum seringai kecil tersungging di bibirnya.

Ia meletakkan sebuah tiara dengan permata merah di tengahnya.

"Kenapa bertanya seperti itu? Bukannya hal yang wajar untuk menikmati pemandangan desa manusia itu?"

Meskipun tidak ada peraturan khusus tapi batas antara wilayah manusia dan wilayah mereka terpampang jelas. Tidak ada yang boleh sesuka hati datang dan pergi begitu saja.

"Ka tau apa yang ku maksud, Narenda," seru Mukas dingin.

Narendra terkekeh pelan. Dari awal suadara seayah dan seibunya itu memang paling ketus dan dingin. Mukas adalah siluman yang tidak akan mau membuang waktu untuk sekedar berbasa-basi.

"Yah, aku kesana. Tidak ada yang khusus tapi kali ini aku kesana bukan tanpa alasan."

"Apa ada alasan yang buat ketika seorang siluman pergi ke dunia manusia selain niat merusak dan membuat kekacauan."

Mukas sangat mengenal Narendra. Salah satu saudaranya yang memiliki sifat tamak dan buruk. Bahkan kejadian tujuh belas tahun yang lalu juga tidak lain karena kesalahpahaman pangeran dan juga atas ikut campur Narendra yang iri dengki.

"Ah begitukah?"

"Narendra-"

"Aku datang karena mengikuti bau harum, Saudaraku. Aroma murni yang sama, juga sangat diinginkan oleh dedemit dan siluman lain."

Narendra semakin menyeringai ketika mendapati rasa tertarik yang terlihat di wajah Mukas.

"Kau juga mengerti apa yang aku maksud, saudaraku. Itu aroma yang sama dengannya dan artinya jika kita memakannya maka kekuasaan akan kita dapatkan, termasuk seluruh kerajaan Angkara ini."

Mukas mengerutkan dahinya. "Apa maksudmu. Aroma yang bisa dimakan? Artinya-"

"Benar." Narendra memotong ucapan Mukas dengan cepat. "Aku menemukannya, putra pangeran Arkhan. Dia kembali ke sini."

Bersambung....