Chereads / TERJERAT JANDA SEBELAH / Chapter 10 - SEBUAH RENCANA

Chapter 10 - SEBUAH RENCANA

Marmi menatap sinis kedatangan Bara. Entah mengapa karena kejadian semalam dia jadi curiga kalau laki-laki yang kini berdiri di depannya termasuk laki-laki yang suka main dengan Seli.

"Bara, kamu dari mana? Mama sudah lama lho nunggu di sini."

"I-iya, Mama. Maaf aku habis joging. Kan mama tahu kerjaku freelance jadi harus banyak gerak biar sehat."

Bara mencari alasan. Dia tidak mau mertuanya curiga karena semalam dia tidak tidur di rumah.

"Baru joging kok Mas Bara nggak keringatan?" tanya Marmi.

Pertanyaannya membuat Bara tercengang. Susah payah dia berusaha mencari alasan dan tetangga yang super julid itu dengan mudah memojokkannya di depan sang mertua.

"Iya, Bara. Kok kamu nggak keringatan?" sambung Mama Sari.

Kini mertuanya pun ikut memepertanyakan soal keringat yang sama sekali tidak muncul. Dan memang Bara tidak terlihat tanda-tanda habis joging.

"Mama, Mbak Marmi. Kan orang itu beda-beda. Ada yang lari terus keluar keringat dan ada juga yang nggak. Dan kebetulan aku memang dari dulu tipe orang yang nggak bisa keluar keringat meski habis lari maraton sekali pun."

Marmi nyengir mendengar jawaban dari Bara. Dia curiga kalau itu hanya alasan laki-laki itu saja agar mertuanya tidak curiga.

"Mama, ya sudah kita masuk saya, yuk."

Bara berharap dengan dia masuk ke dalam rumah dengan mertuanya akan terhindar dari Marmi yang super teliti dengan permasalahan hidup orang lain. Pantas saja jika Seli pun kesal dengan tetangga super julid itu.

"Hm, sebenarnya mama mau langsung pulang karena mama masih ada kerjaan hari ini. Tapi berhubung kamu baru sampai sini ya sudah mama masuk sebentar. Ada yang ingin mama bicarakan juga," ujar Mama Sari.

"Ya sudah kalau begitu masuk saja, Mama."

"Mbak Marmi, ayo mampir ke rumah anak saya, Mbak."

Mama Sari memang sangat ramah. Bahkan kepribadiannya banyak ditiru oleh anak semata wayangnya, Arum. Selain menjadi dokter, Mama Sari juga menggeluti beberapa usaha kecil seperti makanan. Hal itu membuat dia kaya raya.

Belum lagi suaminya, Ardianto, yang juga berprofesi sebagai dokter bedah. Namun, Arum lebih menyukai bidang perkantoran ketimbang mengikuti jejak orang tuanya yang berprofesi sebagai seorang dokter.

"Terima kasih, Bu Sari. Mungkin lain waktu saja. Karena saya harus menyiram beberapa bunga yang belum saya siram."

"Wah, Mbak Marmi ini ternyata sangat rajin ya."

"Ah, Bu Marmi bisa saja. Ya sudah kalau begitu saya pulang dulu ya, Bu."

"Iya."

Mama Sari menggelengkan kepala. Setidaknya kini dia lega karena Bara sudah berada di rumah.

"Ayo, Mama."

Bara membukakan pintu untuk mertuanya. Dia berusaha menyambut kedatangan Mama Sari dengan sehangat mungkin.

Mama Sari menolah-noleh mengamati rumah anaknya. Dan tidak ada yang berubah. Dia pun mengambil foto pernikahan Arum.

"Mama mau minum apa?"

"Terserah kamu saja, Bara."

Laki-laki itu mengangguk. Dia pun dengan sirgar pergi ke dapur untuk membuatkan minuman. Dan hanya beberapa menit saja dia sudah kembali.

"Berapa hari Arum keluar kota, Bara?"

"Mmm, aku belum tahu berapa lama Arum keluar kota. Biasanya satu sampai tiga hari."

Mama Sari mengangguk lalu meletakan foto yang dia pegang pada tempatnya. Kemudian dia berjalan ke sofa sambil kembali mengamati disekeliling ruang tamu.

"Jadi kamu sendiri di rumah?"

"Iya, Mama."

"Sebenarnya ada yang ingin mama bicarakan sama istrimu. Tapi sayang Arum tidak di rumah."

Tidak biasanya Mama Sari datang ke rumah dan terlihag seserius itu. Karena Bara tahu kalau mertuanya itu cukup sibuk sebagai seorang dokter.

Bahkan ini kedatangan Mama Sari setelah tiga bulan lamanya.

"Memangnya mama mau bicara apa sama Arum?"

Mama Sari mendengus. Lalu mengambil gelas teh di meja dan menyeruputnya.

Sedangkan Bara masih menunggu mertuanya berbicara. Dia jadi penasaran.

"Mama mau menyuruh Arum untuk berhenti kerja dulu. Biar dia fokus sama rumah tangganya."

Uhuk! Uhuk!

Mendengar ucapan Mama Sari membuat Bara terbatuk. Entah mengapa kabar itu justru membuatnya tidak suka. Karena kalau sampai Arum tidak bekerja tentu hubungannya dengan Seli akan berantakan.

Bara memang sempata berharap Arum berhenti bekerja. Tapi itu dulu sebelum dirinya menjalin hubungan gelap dengan janda sebelah.

"Kamu kenapa, Bara?"

"E-nggak, kok, Mama. Aku nggak apa-apa cuma kaget aja."

"Kaget? Memangnya kamu nggak suka kalau istrimu berhenti bekerja?"

Bara terdiam. Untuk saat ini dia berharap kalau istrinya tetap bekerja. Dengan begitu dia masih bisa menjalani hubungan terlarang dengan Seli.

"Bara, pernikahanmu dengan Arum itu sudah cukup lama. Dan mama ingin kalian punya anak. Kalau Arum saja masih sibuk dengan kerjaannya bagaimana kalian mau progam punya anak?"

Mama Sari meletakan cangkir ke atas meja lagi. Dia memang menyempatkan hari ini untuk berkunjung ke rumah anaknya untuk membicarakan ini. Dengan harapan keluarga Arum akan lebih lengkap jika nantinya ada seorang anak di rumah itu.

"Iya, Mama. Aku tahu maksud mama. Tapi untuk saat ini Arum belum punya rencana untuk berhenti kerja."

"Bara, oleh karena itu tugas kita adalah membujuk Arum. Mama tahu siapa anak mama. Dia memang keras kepala kalau sudah soal kerjaan. Karena ini memang sudah menjadi cita-citanya sejak kecil. Tapi apa kamu mau istrimu terus bekerja di luar sana dengan segala kesibukannya?"

Mama Sari bersikeras membujuk Bara untuk mengikuti idenya. Dan dipikirannya saat ini hanya bagaimana caranya dia bisa membuat mertuanya itu berubah pikiran.

Seli, hanya janda itu yang ada di otaknya saat ini. Bahkan dia merasa kalau dia sendiri sudah terlanjur nyaman dengan hubungan gelapnya dan enggan untuk mengakhirinya dekat-dekat ini.

Belum lagi soal kelincahan Seli di ranjang yang membuat dia ingin selalu menghabiskan waktu di rumah sebelah.

"Mama sama papa itu suka kepikiran sama rumah tangga kalian. Makanya mama mau minta bantuan dari kamu."

"Bantuan apa, Mama?"

"Bujuk Arum untuk berhenti bekerja."

Mama Sari menatap Bara dengan penuh harap. Sebagai seorang ibu tentu dia ingin yang terbaik untuk anaknya. Dia tidak mau sesuatu yang buruk terjadi dalam rumah tangga anak semata wayangnya.

"Kamu bisa kan bantu mama?"

"Iya, Mama. Aku akan usahakan."

Dan dengan terpaksa Bara menyetujui ide dari mertuanya. Sambil dia berpikir untuk mencegah hal itu terjadi.

"Okay, kalau begitu mama pulang dulu. Oiya, mama tunggu kabar baiknya dari kamu, ya. Kalau begitu mama pulang dulu."

"Iya, Mama. Biar aku antar sampai depan."

Mama Sari mengangguk. Karena urusannya sudah selesai dia harus kembali ke rumah sakit untuk bekerja.

"Hati-hati, Mama."

Bara melambaikan tangan pada mertuanya yang sudah masuk ke dalam mobil. Mama Sari memang sudah terbiasa menyetir mobil sendiri kemana-mana.

"Hah, sial! Kalau begini aku harus bagaimana sekarang? Kalau sampai Arum berhenti kerja, terus nasibku dan Seli bagaimana?"

Bara merasa sangat stres. Kedatangan Mama Sari pagi ini ke rumah sedikit membuat kacau pikirannya.

Dibalik pagar. Mata Marmi mengamati setiap gerak-gerik Bara. Dia berusaha mencari tahu sesuatu yang dia rasa mengganjal dengan memasang telinga untuk mendapatkan informasi penting.