Chereads / TERJERAT JANDA SEBELAH / Chapter 14 - BURUNG KURANG AJAR

Chapter 14 - BURUNG KURANG AJAR

Akhirnya Rayhan sampai di kamar Arum. Dia pun menggendongnya sampai ke dalam dan membantu wanita itu duduk di kursi.

"Aw, pelan-pelan dong, Rayhan."

"Astaga, Arum. Aku sudah sangat pelan."

Tangan Arum mengelus-elus kakinya yang mulai membengkak. Wanita itu pun menahan sakitnya meski tidak bisa dibohongi kalau dia ingin sekali menangis.

Terkadang memang mereka suka bertengkar. Tapi melihat wajah sedih Arum, Rayhan pun tidak tega.

"Sudah, jangan nangis. Nanti aku carikan tukang urut yang dekat dengan Hotel."

"Hm, tapi kamu harus pastikan kalau tukang urut itu memang bisa nyembuhin kakiku."

"Astaga, Arum. Ya jelas dong tukang urut dia pasti bisa ngurut?"

Rayhan menggelengkan kepala.

"Ya kan siapa tahu."

Laki-laki itu hanya mendengus. Dia pun mengambil ponsel di dalam saku dan mencari di informasi mengenai tukang urut yang dekat dengan Hotel.

"Nih, ada. Tukang pijat Mak Enok."

Arum mengintip ponsel Rayhan. Dia ingin memastikan sendiri kalau tukang urut yang dicari Rayhan memang bisa diperjara.

"Hm, itu serius bisa pijat?"

"Bisa, Arum. Ini aja tulisannya 'Sekali pijat penyakit langsung minggat!' lho," ucap Rayhan meyakinkan.

"Hm, iya-iya."

"Kalau begitu aku suruh kesini saja, ya."

Arum mengangguk nurut. Dia percaya kalau Rayhan akan melakukan yang terbaik untuknya.

Di rumah. Marmi sedang mengaduk-aduk adonan kue sambil mencari ide untuk membuktikan kalau tebakannya benar soal laki-laki yang dia lihat di kamar Seli.

'Aku yakin sekali kalau laki-laki yang kerap aku lihat di rumah Janda genit itu memanglah, Bara!' batinnya.

Parjo yang baru saja datang ke dapur dengan membawa gelas kotor di tangannya pun mengamati istrinya yang sedang melamun. Sampai Marmi tidak mendengar suara gelas yang bertabrakan.

"Marmi! Kamu lagi mikirin apa sih?" tanya Parjo yang sedang mencuci tangan.

Tapi istrinya itu tidak mendengar panggilannya. Marmi masih saja sibuk mengaduk adonan dan tidak sadar kalau suaminya juga ada di sana.

"Marmi!" teriak Parjo hingga membuat istrinya menggeliat.

"Apa-apaan sih, Pak? Bikin kaget saja!" wanita itu menggerutkan wajah.

"Ya habisnya kamu dipanggil diam saja."

Marmi meremas-remas adonan karena kesal pada suaminya. Dia memang tidak suka dibuat kaget.

"Aku nggak dengar kalau kamu manggil aku!"

"Lagian kamu lagi melamunkan apa sampai suami datang saja tidak tahu?"

Marmi melirik pada suaminya. Rasa penasarannya pada Seli dan Bara membuat dia merasa kesal pada Parjo yang tidak salah apa-apa.

"Memangnya kamu sedang memikirkan apa?"

"Ini lho, Pak. Aku itu lagi nyari ide buat buktiin kalau laki-laki yang kerap aku lihat di rumah Seli itu memang Bara."

"Astaga, Marmi. Kamu masih saja ngurusin Seli? Kayak nggak ada kerjaan lain saja."

Parjo kurang suka dengan istrinya yang ikut campur urusan orang lain. Apalagi mencari tahu perihal kesalahan orang.

Dia memang tahu niat istrinya itu baik. Hanya saja dia khawatir kalau Marmi akan mendapat imbasnya.

"Pak, sebagai tetangga yang baik kita harus menolong tetangga kita dong. Kasihan Arum kalau benar Seli telah berhasil membuat Bara terpincut sama dia. Belum lagi kita juga menjaga nama baik komplek kita dari Janda genit macam Seli itu."

"Iya-iya, aku tahu niatmu baik. Hanya saja kamu nggak perlu sejauh itu."

"Bapak! Gimana sih? Aku itu mau berbuat baik kok bapak malah nggak suka?"

Marmi semakin kesal dengan suaminya. Sampai dia meremas semakin kuat adonan kue yang sedang dia adon.

"Bukannya aku nggak suka kamu mau berbuat baik. Hanya saja resikonya terlalu besar. Aku nggak mau kamu nanti terkena masalah."

Marmi menghempaskan rambut panjangnya. Kali ini dia sedang tidak sependapat dengan Parjo.

"Terserah kamu saja, Pak. Aku tetap akan mencari tahu soal laki-laki yang kerap aku lihat. Aku yakin sekali kalau dia itu Bara."

Marmi kembali mengaduk adonan kue. Tentunya dengan perasaan kasal. Tindakannya itu semata-mata juga untuk melindnngi suaminya dari godaan janda sebelah.

"Marmiku, kamu jangan marah dong."

"Aku marah, Pak. Pokoknya aku kecewa sama kamu. Biasanya juga kamu selalu mendukung apa yang mau aku lakukan. Oh, jangan-jangan?" Marmi berbalik badan dan menatap suami misterius.

"Jangan-jangan apa?"

"Jangan-jangan apa, Marmi?"

"Jangan-jangan kamu melarang aku biar janda itu tetap bisa Open BO. Terus kamu ikut-ikutan Open BO di rumah Seli. Iya kan?"

Parjo hanya menghela napas mendengar tuduhan istrinya. Meski dia mengakui kesexyan janda itu tapi dia masih bisa menahan diri untuk saat ini.

Usianya dengan Seli tidak begitu jauh. Dan janda itu terlihat lebih menggoda ketimbang Marmi karena perawatan yang selalu dilakukan rutin oleh Seli.

"Astaghfirulloh, Marmi! Kamu, kok, malah menuduhku yang tidak-tidak."

"Pak, aku itu kalau ngomong pasti ada bukti. Nggak mungkin aku asal ceplas-ceplos. Begitu juga dengan kataku barusan. Karena aku pernah memergoki kamu sedang melihat Seli yang duduk di teras menggunakan rok mini. Jadi, wajar dong kalau aku sebagai istri curiga."

Deg!

Parjo ingat sekali kalau dia memang pernah mengamati paha mulus Seli dari balik pagar rumahnya. Dan dia sama sekali tidak menyangka kalau Marmi tahu soal itu.

'Bajigur!' batin Parjo. Kini dia sadari kalau istrinya memang sangat jeli dengan begituan.

"Ah, kamu salah lihat kali. Aku saja nggak ingat kok." Parjo mengelak.

"Huh, aku itu nggak mungkin salah. Pasti waktu itu kamb sedang mengintip Seli kan? Pak sudah jujur saja."

Parjo terdiam. Dia tidak mungkin jujur dengan istrinya yang sudah pasti akan mengamuk ke rumah janda sebelah dan membuat keributan lagi.

Akhirnya mau tidak mau Parjo harus mencari alasan agar istrinya percaya.

"Hm, terserah kamu saja lah, Marmi. Aku mau keluar ngurus si Betet."

Betet adalah nama burung peliharaan Parjo yang sudah lama dirawat olehnya. Hampir setiap hari dia mengurus peliharaannya dengan sepenuh hati. Bahkan dia sampai rela merogoh uang jutaan rupiah hanya untuk membelikan kandang yang nyaman untuk burungnya.

"Pak, aku itu belum selesai bicara!"

"Kasihan Betet sudah kelaparan, Marmi."

"Burung saja yang kamu urus setiap hari. Coba sekali-kali kamu perhatikan aku, Pak. Apa perlu Betet kulepas saja biar dia hilang atau aku potong lehernya!" teriak Marmi.

Parjo kembali lagi sambil membara sangkar burung. Dia ingin memastikan kalau ucapan istrinya itu hanya sebuah gertakan saja.

"Betet itu separuh hidupku, Marmi. Kalau kau potong dia bagaimana dengan kelangsungan hidupku?"

"Jadi menurutmu Betet lebih berarti ketimbang aku?"

"Nggak-nggak, Marmiku. Kamu jangan salah paham begitu."

Marmi semakin marah dengan suaminya. Bahkan dia pun langsung memalingkan muka dan kembali mengaduk adonan yang sudah dia diamkan sedari tadi.

Parjo membiarkan istrinya yang sedang marah dengannya. Dia keluar rumah untuk menjemur dan memberi makan Betet.

Sesekali laki-laki itu bersiul dan mengajak main burung kesayangannya. Lalu menaruh sangkar burung di depan teras rumah.

"Betet, kamu tunggu di sini dulu. Aku mau buang air bekas minummu."

Parjo berjalan ke depan untuk membuang bekas air minum Betet. Dan tiba-tiba dia melihat Seli yang baru saja keluar dari rumahnya dengan mengenakan rok di atas lutut seperti biasa.

Kesexyannya tentu membuat jika kelaki-lakian siapa saja yang melihat Seli akan meronta-ronta. Pahanya yang mulus dan dua gunung kembar yang sangat besar.

"Beh, kalau saja Marmi kayak Seli. Pasti aku rela Butet dipotong lehernya," lirih Parjo sambil melihat Seli diam-diam.