Malam itu Arum rasanya malas sekali keluar kamar hotel untuk pergi nersama Rayhan ke pasar malam. Karena sedari kemarin belum ada kabar dari Bara dan nomor suaminya tiba-tiba tidak aktif.
Wanita itu duduk melamun di depan jendela sambil melihat gemerlap lampu kota Bandung. Biasanya dia selalu happy ketika berada di luar kota.
"Mas Bara, kamu kenapa sih? Kok nggak seperti biasa yang sudah telfon berkali-kali?"
Gelisah dan tidak nyaman rasanya malam itu. Arum ingin sekali segera pulang ke Jakarta tapi masih ada kerjaan yang harus dia urus di sana. Jadi mau tidak mau dia harus menahannya sampai pekerjaannya selesai.
Drrt!
Ponselnya pun berbunyi. Dia melihat pesan singkat dari Rayhan yang memberi tahu dirinya kalau sudah menunggu di lobby.
"Rayhan! Kamu ini memang nggak ngerti suasana hati orang! Aku itu lagi malas keluar!" Arum menggerutu.
Tapi dia tidak mau mengecewakan temannya itu. Bagaimana pun Rayhan sudah sangat baik dengannya. Dengan mengenakan kaos dan celana panjang dengan rambut tergerai dia pergi ke lobby untuk menemui rekan kerjanya itu.
Dan saat dia sampai di sana. Laki-laki itu sedang duduk sambil melihat ponselnya. Dia melihat Rayhan sedang melihat foto kekasihnya.
"Hm-hm, kangen ya sama Delisa?"
Rayhan menoleh dan langsung menutup ponselnya.
"Kamu sembarangan banget deh lihat-lihat privasi orang."
"Ya ampun, Rayhan. Kebetulan aku lagi lewat dan lihat foto Delisa. Jadi nggak masalah dong."
Laki-laki itu mendengus. Dia memang jarang terbuka soal hubungannya dengan siapa pun. Bahkan semua orang kebanyakan mengira kalau hubungannya dengan Delisa sangat baik dan tidak pernah ada masalah. Padahal dibalik semua itu hubungannya terancam retak.
Arum duduk di sofa dan berhadapan dengan Rayhan. Wanita itu hanya menatap datar sambil menunggu intruksi untuk berangkat.
"Gimana kakimu? Apa sudah enakan?"
Arum menggerakan kakinya.
"Ya, seperti yang kamu lihat, aku sudah bisa berjalan seperti semula."
"Syukurlah. Kalau begitu jadi kamu nggak merepotkan aku lagi."
"Ya-ya, sudah berapa kali kamu bilang seperti itu."
"Stop! Aku nggak mau berdebat malam ini. Nanti kalau kita berdebat malah nggak jadi pergi."
Arum mengangguk. Dia setuju dengan pendapat rekan kerjanya itu. Bagaimana pun dia juga ingin mencari ketenangan untuk melupakan Bara sekejap.
Malam itu menunjukan pukul setengah delapan. Jadi wajar kalau di lobby juga lumayan ramai.
"Yuk, kita pergi sekarang," ajak Rayhan.
Mereka berdua meninggalkan hotel dan pergi ke pasar malam. Sudah lama mereka tidak pergi jalan-jalan ke pasar malam setelah menjadi orang yang super sibuk dengan pekerjaan.
Dan hanya membutuhkan waktu tujuh menit untuk sampai ke lokasi. Arum yang awalnya tidak mood pun akhirnya merasa sedikit semangat dengan suasana pasar malam.
"Gimana?"
"Ya lumayan menghibur. Aku sudah lama sekali nggak main ke pasar malam. Mungkin sudah sekitar lima tahun."
Arum menolah-noleh melihat beberapa wahana dan jajanan yang menjadi ciri khas pasar malam.
"Yuk, kita coba naik Bianglala."
Rayhan menarik tangan Arum tanpa permisi. Dia mengajaknya untuk mencoba salah satu permaian yang ada di sana.
Wanita itu tidak menolak ajakan temannya. Karena dia merasa kalau dia juga butuh hiburan untuk menghilangkan stres.
"Pak, kita mau naik, ya," kata Rayhan.
"Wah, siap, Bosku."
Bianglala yang tadinya berputar pun seketika pergi. Rayhan membantu Arum untuk naik dan setelah pintu tertutup Bianglala pun berputar kembali.
Arum tersenyum melihat keindahan pasar malam dan gemerlap kota Bandung dari atas sana yang menurutnya sangat indah.
"Gimana? Nggak nyesel kan?"
"Okay, aku akui aku nggak nyesel. Meski tadi aku malas banget mau keluar."
"Ya, aku tahu. Makanya aku paksa kamu biar mau ke sini."
Arum hanya terkekeh. Dia pun memasukan ponselnya ke dalam saku. Berharap kalau malam ini dia tidak mengingat Bara yang entah kenapa tidak memberi kabar apa pun setelah dia pergi ke luar kota.
Rayhan pun mengajak ngobrol Arum dan sesekali dia membuat wanita itu tertawa terbahak-bahak di sana. Meski laki-laki itu kadang menyebalkan tapi dia juga memiliki bakat untuk melawak.
Arum sampai terpingkal-pingkal hingga perutnya terasa kaku. Senyumnya mengukir dua lesung pipi uang membuatnya semakin terlihat sangat cantik.
Pandangan Rayhan tertuju pada kecantikan wanita itu. Meski mereka sudah sering pergi bersama tapi baru kali ini dia melihat Arum sangat cantik.
Sampai dia tidak sadar kalau Bianglala sudah berhenti dan mengharuskan mereka keluar.
"Rayhan, ayo keluar."
Laki-laki itu masih diam melamun. Sampai membuat Arum kebingungan.
"Hai, kamu nggak kesambet jin Bianglala kan?"
"Ah, nggak. Ada-ada saja kamu ini. Ya sudah ayo keluar."
Rayhan keluar terlebih dahulu dan meninggalkan Arum di dalam sana. Dia tidak mau wanita itu tahu kalau tadi dia melamunkan kecantikan Arum.
"Dih, emang nggak jelas dia." Arum menggelengkan kepala. Lalu dia keluar dari sana dan mengejar Rayhan yang sudah lebih dulu pergi.
Banyak sekali permainan di sana sampai membuat mereka berdua kebingungan untuk memilih.
"Kita coba naik komedi putar, yuk."
"Apa nggak malu kita naik komedi putar, Rayhan? Tuh lihat yang naik itu mayoritas anak-anak."
Rayhan menoleh lalu menatap Arum.
"Ngapain malu sih? Memangnya ada larangan orang dewasa nggak boleh naik komedi putar?"
"Ya nggak ada. Cuma kan-"
"Hus! Kamu diam saja. Ayo."
Lagi-lagi Rayhan menarik Arum menuju tempat pembelian tiket untuk naik komedi putar. Komedi putar pun berhenti dan mereka menaikinya. Mereka duduk bersebelahan.
"Hihi, Kakak-Kakak itu lucu ya naik kuda," ujar anak berusia sekitar tujuh tahun yang duduk di belakang mereka.
Arum menelan ludah. Tentu saja dia merasa malu setelah mendengar ucapan anak kecil itu.
"Tuh, kan, Rayhan?"
"Wah, Adik pasti belum pernah main seru-seruan main Komedi Putar sama orang dewasa," ujar Rayhan pada anak kecil itu.
"Memangnya kenapa?"
"Kita balapan."
"Ayo siapa takut!"
Arum tertawa sambil menggelengkan kepala dengan tingkah Rayhan. Setidaknya tindakan sahabatnya itu menghilangkan rasa malunya.
Tidak lama Komedi putar pun kembali beroperasi. Dan Rayhan nampak asyik sekali bermain dengan si anak kecil yang dia tantang. Arum hanya tertawa sambil menikmati permainan.
Di kamar. Marmi keluar dari kamar mandi lalu berjalan dan menaiki ranjang. Bahkan dia tidak menyapa Parjo yang sedari tadi berada di sana.
"Marmi, kok kamu menghadap ke situ sih?"
Wanita itu diam dan tidak peduli. Dia tetep berbaring dan membelakangi suaminya.
"Sayang," panggil Parjo.
Marmi malah merapatkan selimutnya. Dia sama sekali tidak ingin bercakap apa pun dengan suaminya.
"Sayang, sini dong."
"Lepaskan, Pak."
"Kamu ini kenapa?"
Marmi diam lagi. Dia berusaha untuk memejamkan mata meski sebenarnya dia belum mengantuk. Biasanya dia selalu bermesra-mesraan terlebih dahulu sebelum tidur.
Namun, Marmi masih mengingat kejadian tadi siang. Saat suaminya mengamati bokong sexy Seli secara diam-diam. Dia merasa sangat khawatir kalau Parjo juga akan tergoda dengan pesona janda sebelah.
"Sayang, ini malam jum'at, lho. Kamu nggak mau enak-enak?"
Parjo sengaja memancing istrinya. Dia tahu kalau Marmi biasanya sangat bersemangat saat malam jum'at tiba.
"Nggak ada enak-enak malam ini!" teriak Marmi.