Parjo menghela napas dalam-dalam. Kali ini istrinya benar-benar marah dengannya. Akhirnya dia memilih keluar kamar.
"Huh, apa istimewanya malam ini kalau Marmi saja tidak mau melayaniku!" Parjo membenarkan sarungnya.
Karena kecewa dia pun pergi ke ruang TV untuk menonton pertandingan bola. Dia berpikir kalau bola lebih membuatnya senang malam ini.
Di kamar Marmi merasa semakin kesal karena suaminya malah pergi keluar kamar. Padahal dia berharap Parjo akan meminta maaf soal kejadian tadi siang. Marmi bangun dari tidurnya.
"Hih! Bang Parjo ini apa-apaan? Kenapa malah keluar?"
Dan tiba-tiba dia mendengar suara televisi yang menyala. Marmi pun meremas selimut karena Parjo lebih memilih menonton pertandingan sepak bola ketimbang melakukan sunah rasul.
"Benar-benar nyebelin!"
Marmi kembali berbaring dan kali ini sekujur tubuhnya ditutupi oleh selimut. Dengan harapan dia tidak akan mendengar suara televisi yang terdengar sampai kamar.
Tapi ternyata tidak. Meski Marmi sudah berusaha untuk tidak mendengar suara apa pun ternyata dia masih mendengar suara televisi yang sengaja suaminya keraskan.
Marmi kembali terbangun. Karena geram dia pergi ke ruang TV untuk menegur suaminya.
Brak!
Marmi membanting pintu hingga membuat Parjo kaget.
"Marmi! Kenapa kamu membanting pintu? Bagaimana kalau pintunya nanti rusak?"
"Biarin! Suruh siapa kamu mengeraskan suara TV sedangkan kamu tahu, Pak, kalau aku mau tidur."
"Lho, aku kan tidak tahu kalau suaranya terdengar sampai kamar?"
Marmi berkacak pinggang dengan muka yang memerah. Rasanya dia ingin sekali marah dengan suaminya karena membuatnya kesal hari ini.
"Ya sudah, ini aku kecilkan suaranya biar kamu bisa tidur."
Parjo mengecilkan suara televisi. Lalu dia kembali menonton dan mengabaikan istrinya yang masih berdiri di sana.
Bukannya reda Marmi malah semakin merasa marah karena suaminya tidak mendekatinya untuk meminta maaf. Akhirnya dia berjalan mendekati suaminya dan mengambil remote lalu mematikan televisi itu.
"Marmi! Kenapa TVnya dimatiin?"
Kini gantian Parjo yang kesal dan tidak mengerti apa yang diinginkan istrinya. Dia menatap wajah Marmi yang terlihat sangat marah.
"Pak! Ini itu malam jum'at, kenapa kamu malah nonton pertandingan sepak bola?"
"Huh, kan kamu sendiri yang bilang tidak ada enak-enak malam ini. Ya sudah jadi aku nggak salah dong kalau aku pergi nonton bola?"
Bugh!
Marmi melempar bantal sofa ke muka Parjo.
"Dasar laki-laki nggak peka!"
Parjo mengerutkan keningnya. Dia tidak tahu mengapa istrinya bersikap sangat aneh menurutnya. Bahkan dia sama sekali tidak mengerti apa yang Marmi inginkan.
"Nggak peka gimana sih, Marmiku, Sayang?"
"Aku bersikap begitu itu cuma mau kamu peka. Minta maaf atau gimana gitu. Kamu sadar nggak sih, Pak kalau kamu itu bikin aku kesal tadi."
"Huh, lagi pula kenapa sih pake marah segala? Aku itu cuma mencintai kamu, Marmiku, Sayang."
Wanita itu memalingkan muka. Dia masih kesal dengan Parjo meski sedikit luluh setelah mendengar kata cinta yang diungkapkan suaminya.
Parjo berdiri lalu memeluk istrinya. Dia tahu kalau pelukannya akan berhasil meluluhkan hati Marmi yang sedang marah dengannya.
"Kalau kamu suka marah nanti wajahmu jadi gampang kerutan tahu?"
"Lho, Pak. Kamu doain aku biar kerutan dan cepat tua? Dengan begitu kamu bisa lebih leluasa godain janda sebelah itu? Iya kan?"
Parjo kembali mendengus lagi. Padahal dia sudah berniat untuk meredakan amarah Marmi tapi malam istrinya itu kembali marah karena dia salah berucap.
"Astaga, Sayang. Kenapa kamu terus suhudzon denganku? Aku tidak mungkin begitu, kamu tahu sendiri kalau aku sangat mencintaimu."
"Terus kenapa kamu bilang aku kerutan?"
"Hm, aku hanya bercanda saja. Sudah ah, ayo kita ke kamar saja."
Parjo menggendong istrinya tanpa permisi.
"Pak, kamu mau bawa aku kemana?"
"Ke kamar dong, ayo kita melakukan ritual malam ini."
Marmi meringis senang akhirnya mereka tidak jadi pending melakukan ritual malam jum'at yang tidak pernah terlewatkan oleh mereka. Dia pun tidak menolaknya sama sekali.
Brak!
Parjo menutup pintu kamar. Tidak lupa dia pun menyalakan lagu romantis untuk mengiringi percintaan mereka malam ini.
Di jalan. Arum dan Rayhan berjalan bersama menuju hotel yang tidak jauh dari tempat pasar malam berada. Mereka memang sengaja jalan kaki agar bisa menikmati keindahan kota Bandung.
Arum menggigit gulali besar yang dipegangnya semenjak keluar dari pasar malam. Seperti anak kecil yang tidak memiliki beban sama sekali.
Rayhan terkekeh lalu menggelengkan kepala melihat tingkah lucu Arum. Dan malam ini dia merasa kalau wanita itu lebih cantik saat tidak marah-marah dengannya seperti waktu sedang bekerja.
"Kenapa kamu tertawa?" tanya Arum.
"Nggak, nggak apa-apa."
Arum berhenti berjalan lalu menatap laki-laki itu. Dia paling tidak suka kalau dibuat penasaran.
"Jangan bohong! Pasti kamu menertawakanku, bukan?"
Rayhan menggaruk-garuk kepala. Baru saja dia memuji Arum di dalam hati wanita itu sudah mau mengajaknya berdebat lagi.
"Nggak, Arum. Huh, astaga, kapan sih kamu nggak suhudzon sama aku?"
Arum menggigit gulalinya lalu berjalan lagi.
"Aku juga heran kenapa kalau sama kamu itu bawaannya suhudzon mulu."
"Kalau begitu kamu perlu rajin minta maaf sama aku biar dosa kamu nggak kebanyakan."
Arum tertawa. Membayangkan seberapa banyak dosanya pada Rayhan selama mereka kenal. Karena hampir setiap hari mereka bedua selalu berdebat hal-hal sepele.
"Sumpah, aku jadi takut sama kamu. Kamu itu kadang baik kadang nyebelin juga sampai bikin aku gemas!"
"Hm, sebentar biar aku cek dulu."
Arum kembali berhenti dan kali ini dia menatap wajah Rayhan dengan sangat dekat. Sampai membuat jantung laki-laki itu berdegup sangat kencang.
Arum menatap mata Rayhan tanpa berkedip.
"Ngapain sih, Arum?" Rayhan memalingkan muka."
"Hih! Hadap sini!"
Tangan Arum memutar wajah Rayhan agar mentapnya kembali. Dan sentuhan tangannya membuat jantung laki-laki itu berdegub sangat kencang tiga kali lipat.
"Sudah."
Arum kembali berjalan lagi. Dan Rayhan masih berdiri di sana dengan bertanya-tanya atas sikap Arum barusan.
"Heh, Arum! Benar-benar sudah gila kamu ya?" teriak Rayhan yang merasa sudah dikerjain oleh sahabatnya itu.
Arum masih terus berjalan sambil menghabiskan gulalinya.
'Tapi ngomong-ngomong kenapa jantungku berdegup sangat kencang?' batin Rayhan dengan tangan yang memegang dadanya sendiri.
Dia merasa kalau ini tidak normal. Karena dia tidak pernah merasakan jantungnya berdegup sangat kencang bahkan dengan kekasihnya sendiri, Delisa.
Kebersamaannya dengan Arum tanpa di sadari menimbulkan rasa nyaman di antara mereka. Hanya saja mereka berdua selalu membantahnya.
Arum berhenti lalu menoleh. Dia melihat laki-laki itu yang masih dibelakang sana.
"Rayhan, ayo pulang!" teriak Arum.
"I-iya."
Rayhan berlari mengejar Arum yang sudah berada di sana. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan sampai ke hotel.
Dan saat Arum hendak masuk ke kamar tiba-tiba dia mendapat telepon.
"Mama?" ujar Arum.