Chereads / TERJERAT JANDA SEBELAH / Chapter 16 - JURUS MUJARAB MAK ENOK

Chapter 16 - JURUS MUJARAB MAK ENOK

"Dasar wanita siluman! Bisa-bisanya aku punya tetangga kayak dia?" ucap Seli.

Matanya masih tertuju pada Marmi yang sedang digeret suaminya masuk ke dalam rumah. Bahkan Parjo harus mengerahkan tenaga untuk membawa istrinya.

"Bisa gila aku lama-lama tetanggaan sama Bu Marmi!"

Di kamar Hotel. Arum sedang duduk di sofa dengan meluruskan kakinya. Sambil menatap penasaran Mak Enok yang sedang memijat kakinya.

"Rayhan, kamu beneran percaya sama tukang pijat ini?" bisik Arum.

"Ya, kalau dilihat dari informasi yang aku dapat si percaya."

Mak Enok tersenyum pada Arum dan Rayhan. Sambil mengambil minyak urut yang dia bawa di tas kecil.

Arum menelan ludah. Entah mengapa dia merasa ragu dengan Mak Enok. Tampilannya seperti orang setengah waras. Dan usianya sekitar sudah tujuh puluh tahunan.

Mak Enok mengenakan baju kebaya dengan rambut digelung hingga membuatnya mirip dengan simbah-simbah.

"Aw," teriak Arum.

"Te-tenang, Neng. Di ta-tahan dulu ya," ujar Mak Enok yang mulai mengurut kaki Arum yang kesleo.

Arum tidak tahan dengan rasa sakit di kakinya. Rasanya dia ingin sekali menangis sampai kedua tangannya meremas sofa sangat kuat.

"Pelan-pelan, Mak Enok. Kaki saya sakit banget."

"I-iya, ini saya sudah sangat pelan-pelan sekali."

Arum menatap Rayhan. Dia merasa sedikit ragu dengan Mak Enok. Tapi mau diapa lagi. Dia hanya bisa berpasrah diri.

Mak Enok mengoleskan minyak urut ke kaki Arum. Dan mulai memijatnya perlahan.

Arum pun kembali berteriak dan kali ini dia sampai meremas tangan Rayhan hingga laki-laki itu ikut teriak kesakitan.

"Arum, sakit," ujar Rayhan.

"Aduh-aduh, kakiku."

Arum berteriak sampai menangis tersedu-sedu. Kakinya seperti patah dan rasa sakit pun menjalar kemana-mana.

Rayhan yang tidak tega dengan Arum pun akhirnya memilih untuk menahan tangannya yang sakit akibat remasan dari Arum.

Krek!

Suara tulang terdengar sangat menakutkan. Sampai Rayhan nyengir dibuatnya.

"Ba-bagaimana? A-apa sudah enakan?" tanya Mak Enok.

Perlahan Arum menggerakan kakinya. Dan dia merasa sudah lebih baik bahkan kini kakinya sudah bisa digerakan.

"Gimana, Arum?"

"Kakiku sudah bisa digerakan, Rayhan."

"Alhamdulillah."

Arum langsung berdiri dan mencoba berjalan perlahan. Dia ingin memastikan kalau kakinya sudah tidak sakit lagi.

Sedangkan Mak Enok dia tersenyum dan mengekas minyak urut ke dalam tas. Dia memang seorang tukang pijat yang sudah berpuluh-puluh tahun. Jadi untuk mengatasi kaki kesleo tentu hal yang mudah baginya.

"Akhirnya kamu nggak menyusahkanku lagi," ujar Rayhan.

Arum langsung berhenti dan menoleh ke arah temannya itu sambil melipat kedua tangan.

"Jadi aku menyusahkanmu?"

"Ya nggak begitu, Arum."

"Jahat banget sih kamu, Rayhan. Kakiku begini juga gara-gara kamu!"

Arum kembali duduk di sofa dengan wajah murung karena kesal dengan teman laki-lakinya. Sedangkan Mak Enok dia hanya bisa menggelengkan melihat permasalahan anak muda.

"Ya-ya sudah kalau begitu sa-saya pergi dulu."

"Oh, iya, Mak Enok. Terima kasih banyak. Berkat Mak Enok saya sudah bisa jalan lagi."

"I-iya, sama-sama, Neng."

"Oiya, ini ada sedikit uang untuk Mak Enok."

"Terima kasih, Neng."

Mak Enok menerima uang pemberian dari Arum.

"Biar saya antar sampai depan, Mak."

Rayhan membantu Mak Enok berjalan karena jalannya pun sudah membungkuk. Dia tidak tega membiarkan Mak Enok berjalan sendiri.

Selang beberapa menit laki-laki itu kembali ke kamar Arum untuk memastikan keadaannya. Dan terlihat wanita itu sedang berlatih berjalan di kamar.

"Gimana?"

"Hm, lumayan sudah nggak sakit. Jadi aku besok bisa kerja lagi."

"Ya ampun lagi sakit aja masih sempat mikirin kerjaan?"

"Rayhan, kan kamu sendiri yang bilang kalau klien itu sukanya sama aku. Aku kan jadi berpikir kerjaan akan berantakan kalau kamu yang urus!"

Laki-laki itu hanya menggaruk kepala. Dia mengakui kalau yang dikatakan Arum memang benar.

"Iya-iya, kamu memang paling the best pokoknya."

Arum tersenyum lalu mengangguk.

"Nah, gitu dong akui kalau kamu memang nggak bisa tanpa aku."

"Duh, lama-lama kamu besar kepala deh."

Rayhan mengambil buah jeruk di meja lalu mengupasnya. Dan duduk di Sofa sambil menghadap ke arah jendela. Kamar hotel Arum berada di lantai dua puluh, jadi mereka bisa melihat pemandangan dari atas sana.

"Hm, ternyata kota Bandung memang indah."

Arum menatap keluar lewat jendela. Sudah hampir satu hari dia di sana tapi belum sempat melihat sekeliling hotel karena kepikiran dengan Bara di rumah.

Dari kamar dia bisa melihat pemandangan yang sangat indah. Bahkan kalau Rayhan tidak memberi tahunya mungkin dia akan acuh dengan hal tersebut.

"Iya kamu benar, Rayhan."

Arum kembali teringat suaminya. Meski kota Bandung banyak tempat menarik dia sedikit pun tidak tertarik untuk berkeliling. Rasanya dia ingin diganti dengan pulang ke Jakarta saja.

"Oiya, aku dengar di dekat hotel ada pasar malam. Gimana kalau nanti malam kita ke sana?"

"Ogah, ah. Aku mau istirahat saja nanti malam. Toh, kita masih punya kerjaan yang harus kita selesaikan besok."

Arum duduk di ranjang sambil melihat ponselnya dan masih tidak ada pesan atau telepon dari Bara. Padahal suaminya itu biasanya sudah mengirim banyak pesan kalau dia pergi ke luar kota.

"Hallo, Arum Natasya. Aku sudah bilang kamu jangan galau hati sekarang. Aku tahu kamu khawatir dengan suamimu dan ingin pulang. Tapi kamu harus ingat kalau galaumu ini hanya percuma saja. Karena apa? Karena kamu akan tetap di sini sampai kerjaan kita selesai."

Arum menunduk. Karena yang dikatakan Rayhan memang benar. Hanya sia-sia saja dia bermurung hati saat ini karena tidak akan merubah keadaan apa pun.

"Bukanya kamu pernah cerita sama aku kalau pekerjaan ini adalah impianmu. Iya kan?"

"Salah nggak sih kalau aku punya mimpi begitu?"

"Hm, gimana ya?"

Rayhan berdiri dan memikirkan jawaban untuk Arum. Wanita itu pun memandang setiap gerak-geriknya.

"Ya, kalau menurutku sedikit salah sih kalau kamu terlalu sibuk. Tapi ya gimana ya, nggak tahu lah aku bingung."

"Dih, pake bingung segala? Aku beneran nggak bisa menilai diriku sendiri."

"Stop! Dari pada kita bahas ini dan semakin bikin mood kamu nggak baik, mending kamu ikut saja aku nanti malam. Kita ke pasar malam untun bersenang-senang."

"Ogah, Rayhan. Aku nggak mau kemana-mana."

"Ya sudah, kalau begitu aku paksa kamu buat ikut atau aku culik kamu."

"His, apa-apaan sih? Kayak penjahat kelas kakap saja."

"Biarin! Karena aku itu nggak tega lihat muka kamu yang murung dan bikin pemandangan di dunia ini makin jelek tahu!"

"Kurang ajar kamu, Rayhan. Kamu bilang apa?"

Laki-laki itu menahan tawanya. Dia memang suka sekali menggoda Arum.

"Nggak-nggak, Bu Arum yang baik dan cantik sedunia. Gini, nanti malam aku tetap jemput kamu habis isya. Dan kamu siap-siap, okay. Tempatnya dekat kok dari sini."

Arum sebenarnya malas sekali keluar malam ini. Dia ingin di kamar saja. Tapi dia juga kasihan dengan Rayhan kalau menolak ajakannya.

"Iya-iya, nanti aku siap-siap."

"Nah, gitu dong dari tadi. Kan aku nggak perlu ngoceh."

"Memang kerjaanmu itu ngoceh mulu sampai bikin telingaku peling tahu!"

"Sudah ah, aku mau ke kamar. Mau mandi biar wangi."

"Iya-iya, kamu mending keluar dari kamuarku sekarang juga!"

Arum mendorong tubuh Rayhan keluar. Rasanya dia ingin sendiri untuk hari ini.