Chereads / Not Ordinary Love / Chapter 3 - Hukuman

Chapter 3 - Hukuman

Bel sekolah berbunyi begitu aku memasuki gerbang. Sebenarnya aku sengaja berangkat sedikit lebih lama dari biasanya.

Anak-anak yang datang bersamaan denganku berlarian menuju kelasnya masing-masing. Sedangkan aku tetap berjalan dengan santai. Sebab, selain ruang kelas yang tak jauh dari gerbang, sudah bisa dipastikan, Pak Irawan tidak akan langsung memasuki kelasku. Dan ... sebenarnya aku juga menghindari Sam.

Akan tetapi, sialnya cowok itu pun sama-sama datang terlambat. Dia menubruk bahuku dari belakang. Kemudian dia kembali mengancam.

"Urusan kita belum selesai. Tunggu tanggal mainnya," ancamnya lagi. Sementara aku hanya membalas dengan lirikan malas. Bagaimana pun aku jangan pernah memperlihatkan rasa takut ini kepadanya.

Di dalam kelas, pandanganku langsung tertuju kepada cewek berambut panjang yang duduk di belakang bangku milikku. Dia menunduk begitu Sam melewatinya dengan langkah pelan. Lalu kembali mendongak setelah cowok itu berlalu.

Aku pun berjalan santai menuju bangku seperti biasanya. Indira hanya menatapku dengan tatapan yang entah. Lalu menggigit bibir bawahnya sembari kembali menunduk.

Entahlah. Di satu sisi, rasanya aku ingin sekali mengumpatnya. Namun, di sisi lain, aku hanya ingin diam seperti tak mengetahui apa pun. Aku ingin tahu bagaimana sikapnya kepadaku selanjutnya. Apakah masih sama seperti Indira yang dulu, atau sudah berbeda.

"Nay, Indira udah masuk. Kita gak jadi ke rumahnya," ucap Vina begitu aku berada di dekat mereka.

Aku tersenyum tipis lalu bertanya, "Kamu kemana aja, Ra?"

"Aku gak enak badan, Nay," jawabnya dengan tatapan ragu. Beberapa detik kemudian, tatapan mata itu berubah jadi sendu lalu kembali menunduk.

Dulu, Indira akan bersikap seperti itu jika sedang menyembunyikan sesuatu. Entah itu kesalahan atau masalah dalam dirinya dan keluarganya.

Dulu, jika dia sudah bersikap seperti itu, aku akan bertanya terus menerus sampai cewek itu mengatakan semua yang ada di dalam hatinya. Namun, sekarang aku hanya akan diam.

"Ada Pakiijr!" teriak salah satu anak cowok. Dan seperti biasa, semua anak-anak di kelas mengambil posisi serapi mungkin.

Kumpulan anak cewek yang terlihat sedang bergosip pun bubar kembali ke bangku masing-masing. Sama dengan anak cowok yang sedari tadi tengah asyik melihat layar ponsel. Entah apa yang sedang mereka tonton, hingga raut wajah mereka terlihat sangat serius tanpa ada yang bersuara. Bahkan, ketika Pak Irawan datang pun ekspresi wajah mereka masih begitu serius. Tidak biasanya.

Aku pun bernapas lega. Setidaknya dengan kedatangan Pak Irawan, aku dapat menghindari interaksi dengan Indira.

Setelah cukup lama Pak Irawan mengajar di depan kelas, beliau pun memberikan pertanyaan untuk para muridnya. Sementara aku hanya berdoa di dalam hati agar beliau tidak menunjukku untuk menjawab. Sebab, aku sama sekali tidak menyimak apa yang guru berambut klimis itu jelaskan tadi.

"Siapa yang mau menjawab?" tanya Pak Irawan sambil memindai setiap murid di depannya yang hanya diam.

"Saya, Pak."

Aku menoleh ke arah sumber suara. Begitu pun anak yang lainnya.

"Bagus, Sam," puji Pak Irawan setelah Sam menjawab dengan benar. Aku pun kembali berbalik ke depan sambil mencebik.

"Sekarang coba kamu berikan pertanyaan lalu tunjuk siapa yang kamu pilih untuk menjawab."

Mataku membulat lalu dengan refleks melihat ke arah cowok itu. Tepat setelah aku melihatnya, Sam pun melirikku dengan tatapan puas sambil menyunggingkan satu sudut bibirnya.

Tepat dugaan! Sam melontarkan sebuah pertanyaan kepadaku. Aku pun menatap tajam sorot mata yang nampak puas menatapku.

Waktu satu bulan berpacaran denganku membuat Sam tahu kalau aku sama sekali tidak menyukai mata pelajaran Fisika. Sial! Mengapa dulu aku bisa-bisanya terlalu terbuka kepada cowok tak tahu diri itu.

"Silakan di jawab pertanyaan yang Sam berikan tadi," titah Pak Irwan. Sedangkan aku gugup setengah mati.

Aku melihat ke arah Vina yang jarinya sedang menunjuk-nunjuk sebuah kalimat pada lembar buku paket Fisik yang tebal itu. Namun, belum sempat jelas membacanya, guru berkumis tebal itu malah mendekat dan membuatku semakin gugup. Sialnya sekarang malah berdiri di sampingku.

"Ayo! Jawab," desak guru berkemeja cokelat itu.

Aku memejam lalu berkata, "Maaf, Pak." Setelah itu, kelas pun riuh oleh suara anak-anak yang menertawakan aku.

Sebagai hukuman karena terbukti tidak menyimak pelajaran, Pak Irawan akhirnya menghukumku untuk berdiri di depan tiang bendera sambil hormat menatap bendera yang berkibar di atas sana. Apes!

Matahari yang bersinar dengan cerah telah membuat bajuku basah. Bukan hanya bajuku. Rambutku pun rasanya sudah banjir oleh keringat.

Berkali-kali aku menelan ludah karena haus. Berkali-kali juga aku menatap jalan menuju kantin. Sempat berpikir untuk ke sana, tetapi kembali urung setalah membayangkan tambahan hukuman jika ketahuan.

Akhirnya aku pun menghela napas panjang sambil kembali menatap bendera di atas sana untuk mengalihkan bayangan minuman dingin yang tersedia di kantin sekolah. Mengapa rasanya bel istirahat lama sekali?

Tak tahan. Tanpa peduli lagi akan hukuman tambahan, aku pun berjalan cepat menuju kantin sekolah. Kemudian mengambil minuman dingin di dalam lemari es. Jika ketahuan, aku tinggal jawab saja kalau aku kehausan dan takut dehidrasi. Kan kalau dehidrasi aku bisa pingsan. Gampang, kan?

Nyeees ....

Air dingin dari minuman isotonik yang kuambil terasa begitu nikmat membasahi tenggorokan hingga rongga dada.

Tak lama kemudian bel istirahat pun berbunyi. Syukurlah!

Segera aku memesan mi ayam kesukaan. Lalu membawanya ke tempat duduk yang biasa aku duduki bersama Vina dan ... Indira.

"Hai."

Aku mengernyit ketika mendengar sapaan dari seseorang.

"Eh, Kak Arjuna." Aku tersenyum melihatnya.

Setelah semalam tahu berapa usianya, aku pun menyebutnya dengan sebutan kakak. Dan dia pun tidak keberatan.

"Kok, Kakak ada di sini?" tanyaku setelah dia duduk di bangku kiri.

"Kakak ke sini karena ingin memastikan kalau adik Kakak itu masuk sekolah."

Aku menatapnya penuh tanya. "Jadi kakak punya adik yang sekolah di sini?"

Kak Arjuna mengangguk. "Iya. Baru dua hari masuk dan dua hari juga bolos."

"Hah?"

Dua hari masuk dan dua hari bolos? Aku tertawa mendengarnya.

"Adik Kak Arjuna aneh, ya," ucapku yang hanya dibalas senyuman tipis olehnya. Lalu dia pun izin pamit dengan gesture yang terburu-buru.

Tak lama kemudian, Vina datang menghampiri. Aku melihat ke belakang anak itu. Barangkali Indira ada di belakangnya, tetapi ternyata tak ada.

"Tadi Indira tiba-tiba aja bilang lagi sakit perut. Padahal udah di depan kantin," ujar Vina seolah tahu apa yang sedang aku cari. Aku hanya ber-oh saja menanggapinya.

"Tapi ... tadi ada cowok yang manggil-manggil nama dia. Terus ngikutin gitu."

Aku mengernyit. Kemudian teringat akan pertanyaan Kak Arjuna tentang Indira. Sayangnya belum sempat aku bertanya balik, obrolan aku dengannya terpaksa harus terputus setelah ada seorang warga yang mengatakan kalau perempuan dan laki-laki tak baik mengobrol hingga malam hari.

Apa cowok yang Vina maksud tadi adalah Kak Arjuna?

"Nay, bukannya Sam itu pacar kamu, ya? Kok, dia tega lempar pertanyaan sama kamu, sih?

"Aku udah putus sama dia," jawabku setelah meneguk habis minuman dingin yang aku beli tadi.

"Lebih baik gitu, sih. Sam kayaknya suka juga sama Indira. Tadi mereka sempat bicara berdua gitu setelah bel bunyi. Bahkan, gak sengaja aku lihat Sam cium pipi Indira."