Pagi.
Jam enam lebih sepuluh menit Kak Arjuna sudah tiba di rumahku. Katanya biar gak terjebak macet. Memang iya, sih. Jalan menuju kantornya itu adalah jalan utama, jadi memang selalu dipadati oleh kendaraan. Apalagi pas pagi. Semua berlomba-lomba untuk cepat sampai ke tempat kerja dan sekolah.
Tapi itu semua membuat aku harus bangun lebih awal dari biasanya. Sehingga pagi ini, sudah tak terhitung berapa kali aku menguap di sela mengunyah sarapan.
Andai semalam aku gak ikut Papah ke rumah Pak Bambang, mungkin gak akan seperti ini jadinya.
Sesuai prediksiku. Kak Arjuna langsung mengenali begitu melihatku. Papah pun bertanya bagaimana bisa kami saling mengenal. Dan Kak Arjuna menceritakan semuanya. Pria itu sama sekali tidak peka dengan isyarat kedipan mata dariku agar berhenti bicara. Pria bertumbuh tinggi tegap itu terus saja bercerita tentang pertemuan kami yang diawali oleh perkelahiannya dengan Sam untuk menolongku.
Papah lantas melihatku meminta kejelasan. Akhirnya aku pun mengakui semuanya. Membenarkan semua cerita Kak Arjuna. Dan ... seperti biasa? Papah berniat mempekerjakan seseorang untuk membututiku.
Entah ide dari mana? Kali ini Papah meminta pria bermata sipit itu untuk mengantar jemput aku untuk sekolah. Sialnya Kak Arjuna dan Pak Bambang yang ternyata adalah ayahnya malah tidak keberatan sama sekali atas permintaan Papah.
Lumayan, sih. Setidaknya kali ini aku mengenali siapa yang jadi bodyguard aku sekarang.
"Udah sarapannya?" tanya Papah. "Itu Arjuna udah nunggu lama, loh."
"Lagian Papah kenapa minta dia untuk jadi bodyguard aku? Kan dia udah ada kerjaan," jawabku di sela-sela kunyahan terakhir.
"Setelah dipikir-pikir, Arjuna sepertinya orang yang baik dan bisa berkelahi. Jadi bisa jagain kamu."
"Aduh, Papah. Emangnya aku ini anak raja? Sampe-sampe mau diculik begitu. Terus nanti papah diminta tebusan."
"Bukan begitu, Naya. Papah hanya gak mau ...."
Papah menggantungkan ucapannya. Lalu malah melamun. Tapi ... kenapa kedua bola mata Papah nampak basah?
"Pah ... aku enggak apa-apa. Maafin Naya udah bikin Papah khawatir."
Aku memeluk tubuh Papah lalu menyandarkan kepala pada dadanya. Meski sudah berumur lima puluh tahun, Papah masih sedikit lebih tegap dibandingkan dengan teman-temannya.
***
"Makasih, ya, Kak," ucapku setelah mobil Kak Arjuna berhenti tak jauh dari gerbang sekolah.
"Sama-sama," balasnya. "Nanti pulangnya hubungi kakak aja, ya."
"Aku enggak ngerepotin?" tanyaku setelah melepas sabuk pengaman.
"Enggak. Santai aja. Lagian, kan, kata kamu ini semua salah Kakak karena kakak udah ceritain semuanya sama Om Heru."
Aku mengangguk-anggukkan kepala. "Emang iya, sih. Hehehe. Lagian Kakak, aku udah ngedip-ngedipin mata biar berhenti ngomong. Malah gak peka."
"Oh ... jadi itu isyarat buat kakak?" tanyanya terlihat antusias. Aku hanya mengangguk.
"Kakak pikir kamu lagi godain kakak."
"Godain apaan?"
Kami berdua pun menertawakan kejadian semalam. Kejadian saat aku mengedipkan mata kepadanya. Bahkan Kak Arjuna memperagakan kedipan matanya kepadaku. Katanya aku berkedip seperti yang dia contohkan.
"Apaan? Enak aja. Enggak gitu, kok, aku ngedipnya biasa aja."
Untuk pertama kalinya, aku merasakan kenyamanan saat bersama seorang pria. Sebenarnya, aku sudah mulai kagum ketika melihat Kak Arjuna mengalahkan Sam waktu malam itu.
"Ya udah, aku masuk kelas, ya, Kak. Capek ketawa terus."
"Iya. Belajar yang pinter. Kalau pulang, hubungi kakak, ya."
"Ok."
Aku pun bergegas memasuki kelas. Sebab, bel masuk berbunyi begitu aku melewati gerbang. Namun, sialnya aku malah bertubrukan dengan seorang cowok ketika aku berlari. Sehingga tubuh ini tersungkur dan kepalaku membentur tembok.
"Aaaw!" pekikku sembari memegang bagian kepala yang sakit.
Sementara cowok itu hanya berdiri mematung tanpa berinisiatif menolongku. Dia itu tidak peka atau menyebalkan? Ah, tapi, bukankah pria tidak peka itu memang menyebalkan.
Aku pun mencoba berdiri tegak walau merasa pusing. Ternyata benturan tadi cukup keras sehingga kepalaku terasa begitu pusing.
"Kepalamu sakit?"
Aku memicingkan mata menatap cowok itu sambil memijat bagian yang terbentur. "Kalau mau tahu rasanya sakit atau enggak, sana benturin kepala kamu ke tembok."
Cowok itu hanya menggeleng samar sambil menyunggingkan satu sudut bibirnya.
"Mau aku antar ke UKS untuk obati lukamu?"
"Enggak usah!"
"Dasar aneh," gumamnya yang masih terdengar olehku.
"Apa kamu bilang? Aneh?" sungutku.
"Kalau bukan aneh, terus apa?"
"Kamu ...!" Aku menatapnya tajam. Namun, setelah melihat dengan jelas kedua bola matanya yang kecoklatan, aku merasa pernah melihatnya. Tapi di mana?
"Rakha Abimanyu! Nayara Putri!"
Tiba-tiba sebuah suara yang terdengar tegas, menginterupsi pandangan antara aku dan cowok itu. Lantas aku pun berbalik menghadap seorang guru yang terkenal dengan ketegasannya itu.
"Iya, Pak," jawabku sambil menunduk.
"Sedang apa kalian di sini?" tanyanya setalah berada di dekat kami.
"Maaf, Pak. Tadi saya tidak sengaja menubruknya dan dia pun terjatuh. Kepalanya juga kebentur tembok, Pak," jelasnya tanpa terdengar ragu.
Aku pun melirik cowok itu. Dia menjawab tanpa menundukkan kepalanya. Apa dia tidak takut kepada guru yang satu ini?
"Benar begitu, Naya?"
"I-iya, Pak."
"Ya sudah. Segera masuk ke kelas kalian masing-masing."
"Baik, Pak," jawab kami bersamaan.
Saat cowok itu melihatku, aku pun memanyunkan bibir sebagai isyarat kalau aku masih kesal kepadanya. Tapi, dia malah menatap datar dan pergi begitu saja.
Dasar cowok menyebalkan. Dia sama sekali tidak meminta maaf.
Tapi ... kenapa tatapan mata dia ...
Aku berjalan sambil mengingat-ingat tatapan mata cowok menyebalkan tadi. Hingga tanpa terasa, aku sudah berada di depan kelas.
Tatapan itu ... tunggu! Bukankah dia ....
Tiba-tiba sebuah kejadian yang terekam oleh ingatan pun terbayang.
Aku ingat sekarang! Bukankah dia cowok yang gak sengaja aku siram dengan jus mangga, waktu itu. Waktu aku mau menyiram Sam.
Ah, iya, benar. Dia orangnya.
Pantas dia tidak meminta maaf. Mungkin sebagai bentuk balas dendam kepadaku.
"Katanya tadi kamu bakalan datang lebih awal. Kok, udah bel, kamu baru datang?" tanya Vina. Aku pun tersenyum mengingat detik-detik saat bercanda dengan Kak Arjuna saat di dalam mobil.
"Dih, malah senyum-senyum sendiri," sungutnya.
"Aku tadi emang berangkat lebih awal. Bisa dibilang pagi banget malah."
"Terus kamu tadi diem di mana? Kok, baru nongol?" tanyanya lagi. Dan aku pun sengaja hanya menjawab Vina dengan senyuman.
"Ya udah kalau kamu mau senyum terus kayak gitu." Vina mencebik. "Semoga kamu udah kerjain PR dari Bu Teti."
What! Astaga! Aku lupa kalau sekarang ada PR dari Bu Teti.
"Tuh ... tuh ... tuh, kan. Lupa lagi, kan? Kayaknya kamu tuh jadi langganan berdiri di luar, deh," ujar Vina setelah melihatku kalangan kabut mengeluarkan buku dan alat tulis.
"Ya Tuhan ... semoga Bu Teti datang terlambat." Aku berdoa sambil menengadah.
Lalu dengan cepat mengerjakan PR tersebut. Namun, sepertinya doaku kali ini benar-benar dadakan. Jadi belum sempat sampai ke langit, Bu Teti lebih dulu tiba di kelas.
"Selamat pagi, Semuanya." Seperti biasa. Bu Teti menyapa para muridnya.
"Pagi, Bu!" jawab anak-anak dengan serentak.
"Keluarkan tugas yang ibu berikan dan simpan di meja ibu."
Aku menghela napas pasrah.