Chereads / Not Ordinary Love / Chapter 9 - Bunuh diri

Chapter 9 - Bunuh diri

Ternyata dia ....

Cowok itu terdiam melihatku beberapa saat. Meski awalnya, tatapannya nampak terkejut, tetapi beberapa detik kemudian dia melanjutkan langkahnya melewatiku yang hanya mematung masih tak percaya dengan apa yang aku ketahui hari ini.

Sejak kapan Indira mengenalnya? Bukankah kata Kak Arjuna, adiknya itu adalah murid baru di SMA 1 Nusa Indah?

"Naya." Kali ini Pak Bambang yang terlihat terkejut menatapku. Detik kemudian sekilas aku melirik Kak Arjuna yang menatapku biasa saja.

Aku pun tersenyum canggung. "Ma-maaf, ta-tadi Naya masuk tanpa permisi, Om," ucapku terbata. Rasanya, saat ini aku seperti seorang maling yang ketahuan sedang mengendap-endap memasuki rumah orang tanpa izin. Memalukan, bukan?

"Ah ... tidak apa-apa, tidak apa-apa. Ayo, sini masuk! Apa kamu lapar?" tanyanya. Sepertinya Pak Bambang berusaha mencairkan suasana agar tidak canggung, tetapi semua itu malah membuat aku semakin ragu untuk melangkah menghampiri mereka berdua.

"Aku antar Naya pulang dulu, Yah." Seperti tahu apa yang aku pikirkan. Kak Arjuna pun berpamitan kepada ayahnya, lalu menarik pelan lenganku.

"Kakak yakin, kamu adalah wanita yang bisa menjaga rahasia," kata Kak Arjuna begitu kami berada di luar.

Aku tergemap. Meski, perkataan Kak Arjuna terdengar begitu yakin kepadaku, aku merasa kalimat yang dia katakan seakan-akan mengandung arti berbeda. Aku merasa kalau dia sedang meminta agar aku bisa menjaga rahasia tentang adiknya. Halus memang cara yang dia gunakan.

"Mau langsung pulang?" tanyanya begitu aku memasang self belt.

"Iya." Aku tersenyum tipis sambil menatap pria berkemeja navy di samping yang sedang memarkirkan mobilnya ke luar.

"Em ... Kak." Dengan ragu aku ingin memulai obrolan.

Kak Arjuna menoleh sesaat. "Ya?"

"Perempuan yang tadi datang ke rumah Kakak itu ...." Lagi-lagi mata ini dengan ragu menatap Kak Arjuna. Sebenarnya ada rasa tak enak menanyakan hal ini. Namun, entah mengapa jiwa kepo di dalam diri meronta-ronta ingin tahu semua lebih detail lagi.

"Oh ... ini yang sebenarnya ingin Kakak tanyakan sama kamu."

"Tanyakan? Sama aku?" tanyaku antusias. Jawaban kak Arjuna tadi telah menghilangkan rasa tak enak yang bersarang di hati.

"Iya." Dia melihatku sekilas. Lalu kembali menatap lurus ke depan.

"Tanyakan soal apa?"

"Kamu kenal sama cewek yang bernama Indira? Sebenarnya Kakak ingin tanyakan hal ini sejak mengantar kamu ke rumahnya tempo itu. Tapi gak jadi. Karena kamu waktu itu langsung nyuruh kakak untuk cepet pergi dan kelupaan, deh."

"Dia teman dekat aku, Kak."

"Oh ...."

"Aku juga gak tahu kalau dia itu pacarnya adiknya Kak Arjuna. Soalnya dia jarang curhat. Kami bertiga pun udah lumayan lama enggak kumpul bareng selain di sekolah," tuturku.

"Sebenarnya mereka baru dekat dua bulan ini. Jadi ...." Napas berat terhembus dari bibir tipis Kak Arjuna sebelum pria itu melanjutkan ucapannya.

"Kaka kurang yakin kalau Abimanyu sudah menghamili Indira," lanjutnya dengan intonasi yang rendah.

Aku terdiam. Dari kalimat yang aku dengar dari orang tua Indira dan Pak Bambang ucapkan, aku sudah tahu kalau ini adalah kasus tentang hamilnya cewek berkulit putih bersih itu. Jadi tak ada ekspresi terkejut saat mendengar kalimat yang diucapkan oleh pria di sampingku.

Kak Arjuna menepikan mobilnya. Kemudian dia menatapku serius. "Sebagai teman dekat, apa yang kamu tahu dari Indira? Apa kamu gak tahu kalau dia hamil?"

"Sebenernya aku juga gak nyangka kalau Indira hamil. Soalnya yang aku tahu, dia adalah wanita yang pendiam, penakut, dan penurut. Dia juga murid yang rajin dan cerdas," jelasku sesuai dengan apa yang aku tahu.

Ya. Seperti itu lah Indira yang aku kenal selama beberapa tahun berteman dengannya. Namun, entah mengapa, Indira yang aku dengar saat ini sangat jauh berbeda dengan sosok Indira yang aku kenal. Apakah ada masalah yang dia hadapi? Atau ... inilah sosok Indira yang sebenarnya?

Beberapa saat kemudian, tiba-tiba saja perkataan yang sempat Vina katakan kepadaku, terlintas di kepala.

Perkataan kalau Vina sempat memergoki Indira dan Sam berduaan di dalam kelas. Bahkan kata Vina, Sam mencium Indira. Namun, bayangan itu buyar seiring goyangan pelan pada lengan. Lantas aku menoleh ke samping.

"Kamu ngelamunin apa?" tanya Kak Arjuna.

"A-aku ... aku baru inget kalau aku lapar," kilahku. Meski dengan terbata, semoga Kak Arjuna percaya dengan alasan yang aku katakan tadi.

Kedua alis pria itu nampak berkerut sebelum akhirnya tersenyum tipis. "Maafin Kakak, ya. Kakak lupa kalau ini jam makan siang."

Lega. Itu artinya dia percaya.

"Mau makan siang di mana?" tanyanya.

"Gak usah, Kak. Aku makan di rumah aja," tolakku dengan halus.

"Yakin, nih?"

"Beneran gak usah, Kak. Aku langsung pulang aja."

Kak Arjuna pun kembali melajukan mobilnya.

Sepanjang perjalanan pulang, aku terus mengingat perkataan Vina. Bukan hanya itu. Aku pun mengingatkan kejadian ketika aku sendiri melihat Sam berada di rumah Indira setelah pria itu hampir menjualku kepada temannya atas bantuan cewek itu.

Aku tersenyum getir setelah kembali mengingat kejadian itu. Ternyata selain menjadi penghianat, Indira juga cewek murahan sehingga bisa hamil di luar pernikahan. Bahkan, Abimanyu saja terdengar tidak mengakui kalau janin yang dikandungnya itu bukan hasil perbuatannya.

Ternyata benar kata orang-orang kebanyakan. Tak sedikit wanita yang berwajah lugu itu memiliki sifat asli yang jauh lebih buruk.

Aku sendiri pun jadi ragu kalau apa yang menimpa Indira saat ini adalah perbuatan adiknya Kak Arjuna. Bisa saja oleh ... Sam, misalnya.

Tak terasa, mobil sudah terparkir di halaman rumah. Lantas aku pun berterima kasih lalu berpamitan kepada Kak Arjuna.

"Mau masuk dulu, gak, Kak?" tanyaku berbasa-basi. Padahal aku sudah tahu kalau setelah mengantarku pulang, Kak Arjuna akan langsung menuju ke kantornya lagi.

"Makasih tawarannya. Tapi Kakak harus segera kembali ke kantor."

"Maafin aku, ya, Kak, udah ngerepotin. Harusnya Kakak menolak saat Ayah meminta—"

"Bukan masalah. Kakak senang, kok, bisa memastikan kalau kamu pulang dengan aman," ucapnya memotong kalimatku.

Ada yang menghangat, tapi bukan terik matahari. Bahkan, pipiku pun sepertinya terlihat bersemu merah.

"Makasih, Kak."

"Sama-sama. Kakak pergi dulu, ya," pamitnya kemudian.

Kali ini bukan hanya menghangat, tetapi ada yang berdesir di dalam hati ketika Kak Arjuna mengusap lembut pucuk kepala ini. Aku pun tersenyum canggung sambil menatapnya dengan ragu.

Duh ... mata sipitnya bikin gemas ketika tersenyum. Anehnya, rasa gemas ini masih berlanjut meski mobil hitam milik Kak Arjuna sudah hilang setelah melewati perempat di depan sana.

Aku melempar tas ke meja belajar yang terletak di samping pintu kamar. Kemudian merebahkan tubuh di atas kasur.

Hukuman dari Bu Teti ternyata damage-nya masih berasa sampai sekarang. Aku pun memijat betis yang terasa pegal.

Ketika hendak mengambil krim pelega rasa pegal di laci meja belajarku, suara ponsel menginterupsi gerakan tangan ini sehingga beralih mengambil benda berlayar enam inci itu.

Ternyata panggilan dari Vina. Lekas aku pun menggeser ikon hijau lalu menempelkan benda pipih itu ke telinga.

"Nay! Indira mau bunuh diri!"