"Non, mau ke mana? Makan dulu, Non!" teriak Mbok Minah.
Tanpa menjawab pertanyaan dari Mbok Minah, aku ke luar lalu melajukan motor matik berwarna merah milikku. Bahkan, aku belum sempat mengganti seragam sekolah.
Setelah mengetahui penghianatannya, aku memang sudah tidak menganggap Indira sebagai teman dekat, tetapi setidaknya, dia adalah orang pertama yang menemaniku ketika aku menjadi murid baru di SMP dulu.
"Nay!" teriak Vina begitu aku memarkirkan motor. Cewek itu melambaikan tangan kanannya, lalu melangkah mendekati.
"Gimana?" tanyaku begitu kami berhadapan.
Kedua kelopak mata Vina terlihat sembab dengan mata yang sedikit memerah. Mungkin dia habis menangis melihat kondisi Indira.
"Dira ...." Vina terisak dengan kedua telapak tangan yang menutupi wajahnya.
"Udah ... semua pasti baik-baik aja." Aku mencoba menenangkannya. Setelah mengusap pundak Vina, aku menarik pelan tangannya memasuki rumah sakit.
Namun, tiba-tiba Vina menahan langkahnya sehingga aku pun berbalik menatapnya penuh tanya.
"Jangan masuk," pintanya yang membuat aku bingung.
"Kenapa?" tanyaku dengan kening yang berkerut.
"Tadi ayahnya Indira memarahiku. Dia mengira kalau semua yang terjadi kepada anaknya itu karena bergaul dengan kita."
"Apa?" Aku terkejut.
Salah bergaul dengan kita? Tidak salah?
Aku dan Vina, sama sekali tidak pernah mengajak Indira untuk keluar malam hari. Apalagi mengajak cewek itu untuk salah dalam pergaulan. Kami masih bisa membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik untuk dilakukan.
"Iya. Kata ayahnya, Indira hamil. Bahkan aku aja gak tahu kalau dia punya pacar. Apalagi tentang kehamilan Indira. Kita gak tahu, bukan?" Berulang kali Vina menyeka air mata di kedua pipinya. Aku pun menuntunnya untuk duduk di kursi besi di depan tempat resepsionis.
"Kamu tahu dari mana kalau Indira bunuh diri?" tanyaku setelah Vina berhenti menangis.
"Aku tadi ke rumahnya. Tapi pas sampai di sana, banyak orang di rumahnya. Pas aku tanya, mereka jawab kalau Indira tadi menyayat pergelangan tangannya. Lalu mereka pun ngasih tahu kalau dia dibawa ke sini. Tapi, begitu aku sampai di depan ruang UGD, ayahnya Indira memarahiku, bahkan memaki kalau kita lah penyebab Indira salah bergaul hingga hamil," jelas Vina.
Aku mengembuskan napas panjang. Sebenarnya kesal mendengar penjelasan dari Vina tentang tuduhan Pak Haikal, ayahnya Indira kepada kami berdua. Tapi, untuk sekarang, pulang ke rumah sepertinya adalah jalan terbaik. Daripada harus melihat kondisi Indira atau menjelaskan yang sebenarnya. Yang ada aku dan Vina akan bertambah malu. Karena sudah dapat dipastikan kalau Pak Haikal itu akan mengeluarkan perkataan yang sama kepadaku.
"Kalau begitu, mending sekarang kita pulang aja," saranku. Vina pun mengangguk pelan.
Namun, begitu aku berdiri. Tubuh ini mematung sesaat setelah melihat sosok cowok yang aku kenal melewati kami begitu saja. Dia berlari menuju ruang UGD berada.
"Mau ke mana?" tanya Vina menahan lenganku.
"Aku mau ke ruang UGD dulu sebentar."
"Ngapain?"
"Ada yang ingin aku cari tahu." Aku pun meninggalkan Vina seorang diri dengan langkah yang cukup cepat menuju ruangan di depan sana.
"Tunggu." Vina menghentikan langkahku. "Aku ikut," pintanya kemudian. Kami pun berjalan bersisian.
Setelah berada tak jauh dari ruangan Indira berada, aku menahan lengan Vina. Di depan sana terlihat Abimanyu sedang tertunduk di hadapan Pak Haikal yang terdengar memarahinya.
Kata-kata kasar untuk Abimanyu terlontar dari mulut ayahnya Indira. Namun, sesekali pria tua itu juga terlihat menghapus air matanya. Mungkin.
"Anak gadis saya satu-satunya telah hancur," ucap Pak Haikal. Kali ini dirinya terduduk lemah di kursi.
"Maafkan saya, Pak. Walaupun bukan saya orangnya, saya bersedia bertanggung jawab kepada Indira." Abimanyu bersimpuh di hadapan Pak Haikal.
Bola mataku terbuka lebar. Tidak percaya dengan apa yang aku lihat dan dengar barusan Cowok yang terlihat jutek, cuek, sangar, dan kasar itu ternyata bisa berbuat demikian.
Sebenarnya, aku curiga kepada Sam. Tidak menutup kemungkinan kalau cowok berengsek itu lah penyebabnya. Tapi ... jika dugaanku itu benar, kenapa Indira mengatakan kalau Abimanyu lah orang yang telah menghamilinya?
"Dia yang udah menghamili Indira?" tanya Vina membuatku sontak menoleh.
"Aku gak tahu. Gak kenal juga."
"Kenapa Indira gak ngomong apa pun ke kita, ya?" keluhnya seiring raut wajah kecewa dengan bibir yang mengerucut.
"Aku juga gak tahu. Mungkin biar kejutan," jawabku asal.
"Hah?"
"Udah ... mending kita pulang aja," ajakku sambil menarik kembali lengan Vina.
Setelah berada di tempat parkir, aku mengatakan kepada Vina kalau aku mau ke toko buku dulu. Untungnya cewek itu begitu mudah percaya dengan ucapan bohongku ini. Lantas dia pun berpamitan setelah mendapatkan taksi. Kemudian, aku kembali ke ruangan di mana adegan drama tadi berlangsung.
Namun, sesampainya di sana, tak ada siapa pun di depan ruang UGD. Akhirnya aku pun memberanikan diri mendekati ruangan tersebut. Lalu membuka pintunya perlahan.
Abimanyu menatap tajam begitu aku membuka pintu. Detik kemudian dia memalingkan wajahnya.
Meski ragu, aku tetap berjalan dan berdiri di samping kiri Indira yang saat ini masih belum sadarkan diri. Sementara cowok bermata bagai elang itu berada di samping kanan Indira.
Untung saja di sini tak ada Pak Haikal. Jika ada, aku gak tahu dia akan berkata apa kepadaku.
"Kamu siapanya Indira?" tanyaku berbasa-basi.
Bukan jawaban yang aku dapat. Abimanyu hanya melirikku sesaat dengan tatapan tajamnya.
"Hello ...." Aku melambaikan tangan sambil menatapnya kesal.
"Bukan urusanmu!"
Jleb!
Dua kata tapi menjengkelkan. Hampir saja aku mengucapkan kalimat yang penuh kekesalan. Kalau bukan segera sadar kalau ini rumah sakit dan di sini juga ada Indira yang tak berdaya, sudah kusobek-sobek mulutnya.
Tangan ini pun refleks meremas sedikit rok abu-abu yang kukenakan karena kesal.
"Ngapain kamu di sini?" tanyaku dengan sinis. Namun, tanpa menjawab pertanyaan dariku lagi, cowok menjengkelkan itu pergi begitu saja. Bahkan, aku merasa angin dingin ikut berhembus ketika dia melewatiku.
Dia itu semacam makhluk apa sebenarnya?
Pandangan beralih melihat wajah pucat Indira. Lalu terfokus pada pergelangan tangannya yang sudah diperban.
"Ra ... sebenarnya ada apa denganmu? Kenapa jadi gini?" Aku menyentuh lembut lengan Indira yang terasa dingin.
Tak ingin bertemu dengan Pak Haikal, aku pun bergegas ke luar ruangan. Namun, sebuah suara telah menghentikan langkahku di ambang pintu.
"Ja-jangan ... Aku mohon jangan." Terdengar begitu pilu.
Aku berbalik lalu menatap dalam Indira. Memastikan apa yang aku dengar barusan itu tidaklah salah.
"Jangan," lirihnya lagi.
Aku mendekat dan melihat air mata mengalir dari sudut matanya.
"Ra ...." Aku menyentuh lembut lengan Indira. Berharap kalau dia segera sadarkan diri.
"Tolong ...." Kali ini dia merintih.
Tunggu! Ada sesuatu yang Indira sembunyikan. Apa dia sedang mengalami trauma? Sampai-sampai dia luas menyayat pergelangan tangannya sendiri.
"Ra ...," lirihku lagi.
Tak ingin terjadi sesuatu yang tak diinginkan, aku pun segera ke luar mencari suster atau pun dokter.