Chereads / Not Ordinary Love / Chapter 7 - Siapa orangnya

Chapter 7 - Siapa orangnya

"Pusing ...."

Aku merintih sambil memegangi kepala. Tak lupa, aku pun memasang mimik wajah sebagaimana orang yang sedang sakit. Semoga dengan begini, dia khawatir. Sehingga aku tidak digeletakkan di sembarang tempat hanya demi meminta bantuan ke Pak Jono, tukang kebun di sekolah.

"Heh! Lo udah sadar?"

Dia berhenti sesaat hanya untuk memastikan aku sadar atau belum.

"Ayah ... ayah .... Naya pusing." Kali ini aku berpura-pura sedang mengigau.

Duh! Aku baru tahu. Ternyata selama ini aku memiliki bakat yang terpendam. Aku tak menyangka kalau aku sangat berbakat sekali bersandiwara seperti ini.

"Kenapa setiap kali ketemu sama lo, gue kena apes mulu, sih?"

Walau hati ini sangat kesal mendengar kalimat yang dia ucapkan barusan, tetapi aku harus tetap stay cool berpura-pura pingsan.

Cowok menyebalkan ini sepertinya mulai tak sabar ingin segera sampai di UKS. Aku bisa merasakan gerak langkah kakinya yang semakin cepat. Sepertinya dia berlari. Namun, setelah itu aku yang kena apes.

Bugh!

"Aaaww! Aduuuh!" Aku mengaduh setelah sebelumnya aku merasa tubuhku melayang lalu mendarat dengan kasar di lantai.

"Sakit tau!" bentakku sambil memegang pinggang yang sakit karena terbanting.

"Huh ...," dia menghembuskan napas, "syukurlah lo udah sadar," ucapnya dengan raut wajah yang terlihat begitu lega. Kemudian dia berdiri tanpa mengulurkan tangannya untuk menolongku.

"Heh! Lo bilang syukur? Gue kebanting dan pinggang gue sakit. Lo bilang syukur?" sungutku. Kemudian mencoba berdiri walau pinggangku rasanya sakit sekali.

"Ya ... seenggaknya, kan, lo udah sadar. Kan tadi lo pingsan dan bikin gue kesusahan."

"Kesusahan kata lo?"

"Eh, gue tadi mau nolongin elo, loh. Gue lari biar cepet sampai di UKS. Tapi emang dasarnya badan lo itu berat, jadi gue kewalahan terus jatoh."

Ketika aku kembali membuka mulut hendak membalas perkataannya itu, tidak sengaja mataku melihat Bu Teti yang sedang berjalan ke arah kami berdua. Kemudian, untuk yang ke dua kalinya, sebuah ide kembali hadir di kepala.

"Aduh sakit! Aduuuh ...! Pinggang aku sakit!"

Aku mengaduh dengan suara lantang sambil memegang pinggangku. Semoga Bu guru yang selalu necis itu melihat dan mendengar.

"Eh ... berisik!"

Cowok di hadapan pun membekap mulutku dengan tangannya. Sigap aku pun menggigit salah satu jarinya.

"Aaarg!"

Rasain.

"Sedang apa kalian di sini?"

Hatiku bahagia ketika mendengar suara lembut dari guru yang mendapat julukan 'Butet' dari anak-anak di sekolah. Lantas aku pun sedikit membalikkan badan meski harus menahan rasa sakit pada pinggang.

"Pinggang aku sakit, Bu," keluhku. Kali ini rasa sakitnya memang sungguhan. Jadi ekspresi yang keluar dari wajahku pun tanpa rekayasa.

"Pinggang kamu?"

Bu Teti menurunkan sedikit kacamata yang dia kenakan. Lalu melihat ke arah pinggang yang sedang aku pijit pelan. Kemudian menatapku penuh tanya.

"Pinggangku sakit sama dia, Bu." Sebelum bertanya, aku segera menunjuk cowok itu sebagai penyebabnya.

Spontan cowok itu melotot melihatku.

"Bukan begitu ceritanya, Bu," bantahnya sambil menggeleng cepat.

"Dia, Bu." Aku tak mau kalah. Aku kembali menunjuknya.

"Tadi dia pingsan, Bu. Terus kami jatoh pas aku mau bawa dia ke UKS." Cowok itu menjelaskan.

"Aduh ... Sakit ...."

Tak mau dia terbebas begitu saja, aku pun kembali meringis menahan sakit.

Kali ini aku bersandar pada dinding. "Sakit, Bu."

Bu Teti memegang lembut bahuku. "Kamu masih kuat jalan, gak?" tanya beliau kemudian. Aku hanya mengangguk pelan menanggapinya.

"Ya sudah. Rakha, kamu bantu Naya ke UKS."

Terdengar helaan napas panjang sebelum akhirnya cowok bernama Rakha itu memegang lenganku untuk membantuku berjalan.

***

Setelah diolesi salep pereda sakit, pinggangku sedikit lebih membaik. Walau luka memarnya masih terlihat kentara.

Apes memang. Niat hati menjahili cowok menyebalkan yang tinggi kerempeng itu, eh, malah aku yang kena sial.

"Maaf."

Aku terdiam beberapa detik, lalu menatap Rakha penuh tanya.

Maaf? Dia meminta maaf? Apa aku tidak salah dengar? Bukankah tadi pandangan matanya terlihat sekali kalau dia kesal kepadaku?

"Nih ...."

Aku menatap botol air mineral yang dia sodorkan. "Buat aku?" tanyaku kemudian.

"Jangan GR! Tadi di kantin gak ada uang kembalian. Jadi aku tukar ke minuman ini. Tapi aku udah kembung. Ya ... dari pada mubazir, mending gue kasih. Siapa tau lo lagi butuh minum yang banyak biar fokus dan kagak pingsan lagi. Nyusahin orang tau gak!"

Apa dia bilang? Aku nyusahin orang lain?

"Heh ...!" Belum sempat aku menolak atau pun mengatakan sesuatu kepada Rakha, dia sudah pergi begitu saja setelah sebelumnya menyimpan botol air mineral itu di atas meja.

"Dasar cowok aneh," gumamku. Kemudian melirik botol air mineral tersebut.

Tak dipungkiri. Berdiri di depan kelas lalu berlari mengelilingi lapangan sebanyak tiga kali putaran, telah membuat kerongkongan ini rasanya sangat kering. Meski awalnya, hatiku menolak untuk mengambil botol air itu, tetapi sayangnya, saat ini hati dan sistem saraf sedang tidak sejalan.

Lekas aku pun memutar tutup botol air itu, lalu meneguknya hingga habis setengah botol.

Ah ... rasa dingin pada air mineral itu mengalir di rongga dadaku. Segar sekali.

Tak ingin ketinggalan jam istirahat, gegas aku pun menuju kantin sekolah. Meski dengan jalan yang sedikit lambat.

Begitu sampai di kantin, aku melihat Vina melambaikan tangannya ke arahku. Aku pun mengacungkan ibu jari kepadanya, lalu berjalan menuju Bang Toyip untuk memesan mi ayam favorit.

"Kamu dari mana aja? Tumben telat ke kantin?" tanyanya begitu aku duduk di kursi sebelah kirinya.

"Aku dari UKS," jawabku singkat. Kemudian menyuapkan mi dengan lahap.

"Kamu sakit?" tanyanya lagi yang hanya aku jawab dengan gelengan.

"Terus ngapain ke UKS?"

Aku menyeruput es teh sebelum akhirnya aku menjawab, "Pinggang aku keseleo." Setelah itu, aku pun kembali melahap mi di hadapan.

Entah apa yang Vina katakan? Aku tidak terlalu mendengarkan karena fokus pada makanan di hadapan. Hanya nama Indira yang aku tangkap dari rentetan kalimat yang Vina katakan.

"Kamu lapar atau doyan, sih? Kamu tadi denger gak aku ngomong apa?" protesnya kemudian.

Aku hanya menggeleng. Sedangkan Vina menghela napas panjang.

"Tadi aku telepon Indira. Dia lagi dimarahin sama ayahnya."

"Terus?"

"Terus ... samar-samar aku dengar ucapan ayahnya."

"Terus?"

"Ayahnya marah."

Aku pun menghembuskan napas. "Iya marah kenapa?"

Vina melihat kiri dan kanan dengan raut wajah yang aneh, sehingga membuat aku mengernyit heran. Tak lama kemudian, cewek itu mendekatkan bibir tipisnya ke telingaku.

Aku tertegun mendengar bisikan dari Vina, barusan. Lantas aku pun menatapnya penuh tanya.

"Beneran?" tanyaku memastikan kalau apa yang aku dengar itu tidak salah.

Vina mengangguk cepat. "Suer," jawabnya sambil mengangkat kedua jarinya ke atas membentuk huruf V.

Jujur saja. Aku sama sekali tidak percaya dengan apa yang aku dengar barusan. Namun, tidak mungkin kalau Vina berbohong. Karena di antara aku, Vina, dan Indira, hanya Vina lah yang selalu menolak untuk berbohong dalam hal apa pun juga.

"Kamu tahu gak siapa orangnya?" tanya Vina.