Bel pulang sudah berbunyi. Semua anak-anak pun segera ke luar dari kelasnya masing-masing. Begitu pun dengan aku dan Vina. Kami berdua berjalan bersisian menuju gerbang.
"Nay." Vina menyenggol lenganku.
Sepertinya, cewek berponi depan itu mau memulai obrolan di kantin tadi yang terpaksa terputus karena bel istirahat habis.
"Hem." Aku menjawab sekenanya.
"Kenapa Indira jadi berubah begitu, ya?"
Kan, benar dugaanku.
"Aku gak tahu," jawabku sambil menaikkan kedua bahu.
"Apa kita harus ke rumah dia?"
Aku menghentikan langkah, lalu menatap Vina tanpa memberi jawaban.
Ke rumah Indira? Setelah kejadian kemarin malam, aku jadi malas untuk ke rumah cewek berlesung pipi itu. Andai saat malam itu aku tidak ke rumahnya, mungkin sampai detik ini, aku tak akan pernah tahu penghianatannya bersama Sam yang sudah dia lakukan di belakangku.
"Ada apa?" tanyanya. "Aku salah ngomong, ya?"
Bayangan ketika melihat Indira dan Sam pada malam itu pun buyar seiring tepukan pelan pada lengan. Segera aku melanjutkan langkah menuju halte bus yang tak jauh dari sekolah. Sedangkan Vina mengekor di belakang sambil terus bertanya 'kenapa' kepadaku.
Sebenarnya, aku sangat ingin mengatakan kejadian malam itu kepada Vina. Namun, setelah dipikir ulang, lebih baik aku bungkam. Mungkin, jika sudah saatnya nanti, aku akan mengatakan semuanya kepada cewek bermata sayu itu.
"Aku mau telepon Kak Arjuna dulu," kataku ketika melihat Vina hendak mengatakan sesuatu.
Lantas aku pun mengeluarkan ponsel dari tas lalu menelepon Kak Arjuna. Namun, belum sempat panggilanku dariku tersambung, mobil pria berbadan atletis itu ternyata sudah berada di depanku.
"Masuk," perintah Kak Arjuna setelah membuka jendela mobilnya.
"Mau ikut pulang bareng aku gak?" tanyaku kepada Vina.
"Enggak. Aku dijemput Pak Iman. Kayaknya dia masih di jalan."
"Ya udah, kalau begitu aku duluan, ya," pamitku yang dibalas anggukan oleh Vina.
Aku melihat raut kekecewaan pada wajah Vina. Namun, jika tidak begitu, aku pun bingung harus berkata apa kepadanya. Sementara untuk saat ini, jangankan ke rumah Indira, melihatnya saja rasanya sudah malas.
"Bye ...." Aku melambaikan tangan kepada Vina sambil tersenyum. Cewek itu pun melambaikan tangannya. Meski, raut wajahnya masih belum berubah.
Selama perjalanan, Kak Arjuna hanya diam membuat aku merasa sedikit heran. Bukankah waktu pagi tadi, dia begitu humble? Lalu kenapa sekarang tiba-tiba menjadi dingin seperti ini. Rasanya dinginnya AC di dalam mobil ini pun kalah.
"Kak ...." Aku melihatnya penuh tanya setelah Kak Arjuna membelokkan mobilnya ke kanan. Sedangkan untuk menuju ke rumahku, seharusnya kami belok ke kiri.
"Maaf, maaf. Kakak lupa gak ngomong dulu ke kamu. Kita ke rumah Kakak dulu, ya. Ada urusan mendadak," izinnya sambil sesekali melihatku.
"Oh ... aku pikir kakak lupa jalan."
"Enggak apa-apa, kan, kita ke rumah Kakak dulu?"
"Iya, enggak apa-apa, kok, Kak. Nyantai aja."
"Makasih," ucap Kak Arjuna sambil tersenyum. Kemudian kembali fokus pada jalan di depan.
***
Sesampainya di rumah Kak Arjuna, dia meminta izin untuk masuk ke rumahnya. Katanya ada sesuatu yang sangat mendesak sehingga mungkin akan membuat aku menunggu lebih lama.
Selain mengiyakan, aku bisa apa?
Sebelum Kak Arjuna pergi, dia sempat menawariku untuk menunggu di dalam rumahnya. Namun, aku menolak. Aku lebih memilih menunggunya di taman kecil yang berada di samping rumah. Setidaknya di taman, aku bisa melihat berbagai bunga yang sedang bermekaran dan berbagai ikan hias di kolam minimalis yang ada di sana.
Kak Arjuna sedikit berlari menuju pintu utama rumahnya. Melihatnya seperti itu, aku jadi sedikit kepo. Kira-kira, sesuatu yang sangat mendesak apa yang Kak Arjuna hadapi?
"Duh ... kok, aku jadi kepo, sih," gumamku "dahlah. Mending selfi di deket kolam."
Aku pun mengeluarkan ponsel dari tas. Lalu berpose seimut mungkin di depan kamera ponsel. Memanyunkan sedikit bibir sambil memiringkan kepala masih menjadi jurus andalan.
Namun, tiba-tiba aku terperangah mendengar pintu yang ditutup secara kasar. Segera aku pun mendekat ke sumber suara.
Mataku membulat sempurna melihat Indira dan kedua orang tuanya ke luar dari rumah Kak Arjuna. Dari jarak yang lumayan tak terlalu jauh, aku bisa melihat raut wajah mereka bertiga. Indira terus menundukkan wajahnya. Berkali-kali dia pun terlihat menyeka air mata dengan punggung tangannya. Sementara, kedua orang tuanya terlihat begitu marah membuat aku semakin bertanya-tanya. Apa yang terjadi?
Tak ingin keberadaanku terlihat oleh Indira, aku pun segera bersembunyi di balik pot bunga yang berukuran besar.
Setelah memastikan mereka bertiga telah pergi, tanpa berpikir panjang, aku lantas memasuki rumah Kak Arjuna.
Begitu masuk, aku mendengar suara Pak Bambang begitu menggema. Seperti sedang memarahi seseorang. Lagi-lagi. Rasa penasaran di diriku membuat kaki ini melangkah lebih dalam memasuki rumah Kak Arjuna.
"Kamu sudah mencoreng nama baik keluarga Atmawijaya!" Suara Pak Bambang terdengar lantang dan penuh penekanan.
Aku menghentikan langkah begitu melihat ketiga pria di depan sana.
Kak Arjuna terlihat duduk dengan tangan yang—mungkin—sedang memijat pangkal hidungnya. Sementara Pak Bambang berdiri sambil berkacak pinggang memarahi seorang cowok berseragam SMA sepertiku. Mungkin, itu adiknya Kak Arjuna yang waktu itu menginjak kakiku. Kalau gak salah namanya Abimanyu. Meski katanya cowok itu bersekolah di tempat yang sama denganku, tapi aku belum pernah sekalipun melihatnya.
"Yah! Bukan aku! Sungguh bukan aku orangnya!" Suara cowok berseragam SMA itu tak kalah lantang dari ayahnya. Sayangnya posisinya saat ini sedang membelakangiku. Jadi aku tak bisa melihat wajahnya.
"Lalu siapa? Wanita tadi mengaku kalau kamu lah orangnya! Mau ditaruh di mana muka Ayah kalau kabar ini sampai di dengar orang lain? Hah!"
Aku terdiam melihat ekspresi Pak Bambang. Sepertinya ini masalah yang serius, tetapi apa? Ada masalah apa dengan Indira dan keluarganya?
"Seharusnya kamu contoh kakak kamu! Arjuna! Dia selalu membuat ayah bangga. Tidak seperti kamu yang hanya bisa membuat onar dan membuat malu orang tua!"
"Terus aja bandingin aku sama dia, Yah. Anak Ayah memang hanya dia. Sedangkan aku. Bahkan untuk percaya kepadaku saja itu sangat sulit bagi Ayah."
Plak!
Suara tamparan terdengar jelas. Aku pun tergemap melihat adegan yang terjadi antara ayah dan anak itu.
"Yah, sudah cukup, Yah." Kali ini Kak Arjuna berdiri di antara ayah dan adiknya.
"Kita dengar dulu penjelasan dari Abimanyu. Lebih baik kita cari tahu semuanya dulu." Pria maskulin itu terdengar mencoba menenangkan suasana.
Namun, sepertinya cowok bernama Abimanyu itu sudah emosi tingkat dewa. "Jangan sok jadi pahlawan bagi gue," geramnya. Dia menghempaskan tangan kakaknya dengan kasar. Kemudian berbalik dan berjalan menuju aku.
Ternyata ... Dia!
Aku kembali tertegun setelah melihat siapa sosok Abimanyu.