mungkin saat ini wajahku sudah pucat pasi seperti mayat. Bayangkan saja. Semua murid mengeluarkan tugas mereka masing-masing, lalu menyimpannya di meja guru. Sementara aku hanya diam dengan gelisah menatap buku-buku tugas yang tersusun rapi di meja
"Siapa yang tidak mengerjakan tugas?" tanya Bu Teti. Namun, dari cara beliau melihatku, sepertinya kalimat yang beliau ucapkan bukanlah sekadar pertanyaan saja, tetapi sindiran halus untukku, murid yang langganan tidak mengerjakan tugas.
"Naya ...." Bu Teti memanggil namaku. Sontak semuanya pun melihat ke arahku.
"Iya, Bu," jawabku lirih.
"Kenapa hanya duduk saja? Ibu tidak melihat kamu menyimpan tugasmu."
Sesak. Kali ini bukan sesak karena sakit hati seperti yang Sam lakukan kepadaku. Melainkan sesak karena jantung terus saja berdebar begitu cepat. Anehnya, meski jantung berdebar-debar, tanganku dingin sekali, seolah jantung telah berhenti berdetak.
"A-aku ... aku lupa, Bu," gumamku.
"Apa? Kamu bicara apa? Ibu tidak bisa mendengarnya."
Duh! Aku melirik kiri dan kanan. Sialnya, hal itu malah membuat aku semakin grogi bercampur malu. Sebab, hampir semua anak-anak di dalam kelas melihatku. Bahkan, ada yang saling berbisik.
Perlahan aku menatap malu Ibu guru yang rambutnya selalu disanggul itu. Kemudian mengulangi kalimat yang aku ucapkan barusan dengan intonasi yang sedikit lebih dinaikan.
"Aku lupa, Bu. Maaf." Setelah itu aku kembali menunduk malu sembari mencuri-curi pandang ibu guru di depan, hanya untuk melihat reaksinya.
Bu Teti menghela napas sambil menggeleng pelan. Mungkin, beliau sudah bosan mendengar alasan yang selalu aku berikan ketika tidak mengerjakan tugas darinya.
"Kalau begitu berdiri di samping papan tulis. Dan simak baik-baik ketika ibu menerangkan, karena kamu harus menjawab semua soal yang ibu berikan di akhir pelajaran."
Aku menghela napas seiring bahu yang bergerak turun. Apes lagi, deh, aku. Huft ....
Aku pun berjalan meski kaki rasanya berat sekali untuk digerakkan. Lalu berdiri di tempat yang ditunjuk oleh Ibu Teti. Sungguh, jika bisa menawar, lebih baik aku berdiri di lapangan. Meski panas, setidaknya di sana tidak ada yang melihat atau pun menertawakan.
Di depan sini, aku bisa melihat semuanya. Stefi dan Amel nampak saling berbisik sambil melihatku, lalu menutup mulut mereka sambil tertawa tanpa suara. Aku yakin. Pasti mereka berdua sedang menertawakan aku. Lantas mata ini pun melotot begitu tatapan kami bertemu. Namun, duo cewek tercentil di kelas itu pun malah semakin mengataiku lewat gerakan mulut mereka. Meski tanpa suara, aku paham apa yang mereka katakan. Akhirnya, aku pun mengepalkan tangan lalu menunjukkannya kepada mereka. Pastinya setelah memastikan kalau Bu Teti sedang membelakangiku.
Aneh memang. Kenapa stefi dan Amel masih usil kepadaku. Padahal, kan, aku udah putus sama Sam.
Sedangkan pada barisan kanan, ada Sam yang duduk di bangku yang paling pojok. Dia menyeringai puas dengan tatapan yang seolah penuh kemenangan.
Tak mau terlihat lebih menderita di hadapan cowok berkulit bersih itu, aku pun cepat-cepat mengalihkan pandangan. Memindai seisi kelas yang bercat putih ini.
Namun, aku baru sadar, ternyata Indira tak ada di kelas. Mungkinkah dia sakit? Ah, sudahlah. Untuk apa juga aku peduli. Bukankah dia sudah menghianatiku.
"Naya!"
Aku terkesiap ketika Bu Teti memegang bahuku.
"Ah ... i-iya, Bu," jawabku dengan gugup.
"Kamu enggak mendengarkan saat Ibu menerangkan, tadi?"
Aduh! Naya ... kenapa kamu ceroboh sekali? Kenapa tadi kamu malah sibuk memperhatikan seisi kelas? Kan, begini jadinya.
Aku hanya bisa menunduk pasrah sambil memainkan kedua ibu jari.
"Coba Kamu rangkum. Tadi Ibu menjelaskan tentang apa?"
"Maaf, Bu," lirihku. Namun, sepertinya aku kurang lirih ketika mengatakan itu. Sebab, anak-anak langsung menertawakan aku.
"Berhenti! Diam semuanya!" tegas Bu Teti. Kelas pun langsung hening. Kemudian terdengar helaan napas kasar seiring buku yang disimpan oleh beliau ke meja.
"Kenapa kamu tidak bisa menghargai Ibu saat menerangkan?"
"Maaf, Bu." Aku semakin merasa bersalah. Perlahan aku melirik beliau yang saat ini sedang memijat pangkal hidungnya. Mungkin, Bu Teti sudah pusing oleh tingkahku sekarang.
"Sudah. Apa kamu sudah sarapan?"
Aku mengernyit. "Udah, Bu."
"Kamu sedang tidak pusing, kan?" tanya beliau lagi.
Aku menggeleng pelan. "Enggak, Bu."
"Kamu juga gak punya riwayat penyakit apa pun, kan?"
Aku semakin mengernyit heran. Kenapa Bu Teti begitu perhatian?
"Enggak, Bu. Aku sehat." Aku tersenyum karena ternyata Bu Teti begitu perhatiannya kepadaku.
"Ya sudah. Sekarang kamu keliling lapangan 5 kali putaran."
Hah? Asem! Senyum yang tadi mengembang pun, menghilang begitu saja.
"Sekarang, Bu?" tanyaku dengan wajah yang memelas. Berharap bu guru di hadapanku menjadi iba.
"Iya. Sekarang."
Aku pun mengembuskan napas pasrah. Kemudian berjalan menuju lapangan.
Sekarang, doaku berganti. Semoga pagi ini turun hujan saat ini juga.
Ketika hampir sampai di lapangan, kaki ini berhenti melangkah ketika melihat cowok yang tadi pagi menubrukku. Ternyata dia juga sedang berlari mengelilingi lapangan.
Ya nasib. Mengapa harus bertemu dengan cowok menyebalkan itu lagi?
Terpaksa, aku pun kembali melanjutkan langkah. Kemudian mulai berlari mengelilingi lapangan dan mengacuhkan cowok itu seakan dia tak ada di sini.
Tadinya aku merasa salah dan berpikir akan meminta maaf jika bertemu dengannya karena telah menyiramnya dengan jus mangga tempo itu. Meski tidak sengaja. Namun, setelah kejadian tadi pagi, rasanya semuanya sudah impas. Jadi untuk apa aku meminta maaf lagi. Toh, dia juga tadi sama sekali tidak ada inisiatif menolong atau pun meminta maaf.
Satu putaran, dua putaran, masih aman. Kaki masih belum terasa pegal. Tetapi, saat putaran ke tiga, napas mulai ngos-ngosan dan betisku sangat pegal. Bahkan, baju yang kukenakan sudah basah oleh keringat.
Aku menyerah. Lelah sekali rasanya. Akhirnya, aku pun berhenti lalu duduk begitu saja di pinggir lapangan sambil mengatur napas yang terengah-engah.
"Ya Tuhan ... capek banget, sumpah," keluhku dengan lirih sambil menyeka keringat pada dahi.
Ketika melihat cowok menyebalkan itu masih berlari mengelilingi lapangan, tiba-tiba saja timbul ide di kepalaku. Setelah memastikan posisinya, segera aku pun melancarkan aksi ketika dia tepat tak jauh di bulakangku.
"Aduh! Kepalaku ...." Aku memejam sambil memegangi kepala layaknya seseorang yang sedang pusing.
"Heh. Lo kenapa?"
Yes. Cowok menyebalkan itu berhenti di sampingku. Meski hanya menyenggol, tetapi seenggaknya dia sudah masuk jebakanku.
"Aduh ... pusing." Tanpa menjawab, aku kembali mengaduh seperti orang kesakitan. Kemudian berpura-pura pingsan.
"Heh! Bangun!" Dia menepuk-nepuk kedua pipiku.
"Aduh ... pake pingsan segala lagih."
Aku hanya tersenyum di dalam hati. Apalagi saat cowok berambut ikal itu mulai menggendongku ala bridal style dan membawaku ke UKS yang jaraknya lumayan jauh dari lapangan ini.
"Ni cewek badannya doang yang mungil. Tapi berat banget."
Kali ini, aku bisa merasakan kalau dia mulai kesusahan menggendongku. Untung saja bel istirahat belum berbunyi. Jadi aku bisa puas mengerjainya.
"Heh! Berat banget, sih, lo. Apes banget gue hari ini."
Rasain. Emang enak! Ternyata selain menyebalkan, dia juga cerewet. Gaya doang yang sok cool dan sok jutek.
"Apa gue geletakin di sini aja dulu kali, ya. Terus gue minta bantuan Pak Jono."
What?