Apa? Sam mencium pipi Indira?
"Terus Indira diem aja?" tanyaku.
Vina terlihat ragu untuk menjawab. Dia menggigit bibir bawahnya dan terdiam beberapa detik sambil menatapku seperti sedang merasa bersalah.
"Tenang aja ... aku enggak cemburu. Malah aku khawatir sama dia. Harusnya dia hati-hati sama si Sam," kataku, setelah meneguk habis air isotonik di genggaman. Namun, Vina tetap saja bungkam sampai dia menghabiskan makan siangnya.
***
"Kamu dari mana, Ra? Gak makan?" tanyaku setelah kembali memasuki kelas
Meski malas, aku mencoba bertanya kepada Indira. Aku hanya ingin tahu, anak itu akan menjawab apa? Dan bagaimana ekspresi wajahnya sekarang?
"Ah? A-aku ... aku gak lapar, kok. Tadi aku habis dari toilet terus minta obat sakit perut ke UKS," jawabnya terbata dengan raut wajah yang terlihat gugup.
"Oh," jawabku. "Eh, iya. Maaf, ya, semalam aku gak jadi ke rumah kamu. Ada insiden dikit," lanjutku sesantai mungkin. Indira langsung mendongak menatapku. Kemudian dia tersenyum. Aku melihat ada kelegaan pada raut wajahnya setelah cewek itu mengeluarkan napas panjang.
Tidak adakah niat untuk dia mengatakan semuanya kepadaku? Sungguh. Sejujurnya aku sangat berharap kalau Indira mengatakan semuanya lalu meminta maaf. Namun, setelah melihat raut wajahnya yang seperti itu, sepertinya aku harus benar-benar menjauh darinya.
Sepulang sekolah, aku dikejutkan oleh kepulangan Papah dari Jogjakarta. Pria yang kini rambutnya hampir dipenuhi oleh uban itu, memeluk erat lalu mengeluarkan beberapa oleh-oleh untukku.
"Makasih, Pah," ucapku lalu kembali memeluk satu-satunya orang yang aku miliki di dunia ini.
Cukup lama aku dan Papah bercengkerama. Papah banyak menanyakan hal yang aku lalui selama dirinya tidak ada di rumah. Meski begitu, aku tak mungkin mengatakan masalahku dengan Sam. Sebab, aku tak mau Papah menyuruh seseorang untuk membututiku setiap waktu seperti dulu.
"Nanti sore, kamu dandan yang cantik, ya. Papah mau ajak kamu ke rumah teman Papah. Dia mengundang kita untuk makan malam di rumahnya."
"Teman Papah?"
"Iya. Ada urusan bisnis yang akan di bahas."
"Bahas bisnis, kok, ajak aku, sih, Pah?"
Papah hanya tertawa kecil sambil mengusap lembut kepalaku. Kemudian berlalu ke kamarnya setelah menghabiskan sisa kopi di cangkirnya.
***
Pukul tujuh malam, aku sudah bersiap dengan gaun berwarna merah muda. Dress yang panjangnya di bawah lutut itu menjadi pilihan karena warnanya senada dengan tas oleh-oleh dari Papah. Rambut yang aku biarkan terurai pun hanya dipasangi jepitan hitam polos di dekat telinga. Meski berdandan sederhana seperti ini, aku tetap merasa percaya diri. Aku kan cantik.
"Anak Papah ternyata makin besar makin cantik. Mirip almarhumah mamahmu." Kedua mata Papah terlihat basah. Beliau terdiam sesaat sambil menatapku lekat.
"Aku kan emang cantik dari lahir, Pah." Aku mencebik manja agar mengalihkan pembicaraan. Aku tau Papah saat ini sedang teringat kepada almarhumah Mamah. Mungkin, bukan kata 'saat ini' yang tepat, tetapi kata 'setiap saat'. Ya. Setiap saat Papah selalu teringat akan sosok wanita yang kecantikan wajahnya diturunkan kepadaku.
Papah tersenyum tipis sambil mengusap rambutku dengan lembut.
Jalanan yang lumayan sepi dari kendaraan, membuat kami cepat sampai di tempat tujuan.
Rumah berlantai dua dengan arsitektur yang modern. Dinding yang bercat putih semakin menambah kesan mewah pada rumah yang sekarang ada di depanku. Sepertinya ini bukan rumah, tapi gedung. Lihat saja, gerbang saja tinggi dan kokoh. Bahkan, pintu di depanku pun tak kalah tingginya.
Di ujung gerbang, ada sebuah pos satpam. Namun, malam ini aku gak melihat satu pun satpam di sini.
Sesuai instruksi dari Papah, aku memencet bel. Tetapi meski sudah beberapa menit, tak ada orang yang membukakan pintu. Aku pun saling pandang dengan Papah beberapa saat. Lalu aku kembali memencet bel lagi.
Namun, aku dikejutkan oleh sosok cowok yang berdiri di hadapanku, setelah dia membuka pintu dengan kasar.
Beberapa saat, aku mematung sambil menatapnya. Tatapan itu ... aku merasa pernah melihatnya, tapi di mana?
"Aaaw!" pekikku lalu meringis menahan sakit sambil memegang bagian kaki.
Namun, cowok itu malah berlalu begitu saja tanpa permisi atau pun meminta maaf karena telah menginjak kakiku. Dasar cowok gak sopan!
"Hey! Sakit tau!" teriakku, tetapi cowok itu tetap cuek. Dia hanya melihatku sekilas setelah dia duduk di atas motornya.
Akhirnya Papah pun menenangkan agar aku tidak kembali berteriak atau menghampiri cowok bermata elang itu.
"Gak sopan," desisku sambil menatap tajam cowok yang sedang menstater motornya itu. Andai dia tidak menggunakan masker, sudah aku tandai dia kalau suatu saat bertemu di jalan.
"Sudah ... tenang, ya." Papah terus membujuk. Tak lama kemudian, datang seorang pria setengah baya menyapa Papah dengan ramah.
"Ini nak Nayara Putri?"
"Iya, Pak," jawabku sambil memperlihatkan senyum yang dipaksakan. Soalnya rasa sakit pada kaki begitu terasa cenat-cenut.
"Ayo, masuk. Makan malamnya udah siap dari tadi, loh, Pak Heru."
Aku pun berjalan di belakang Papah. Namun, sepertinya temannya Papah itu memperhatikanku.
"Loh, nak Naya kenapa? Kakinya sakit?" tanyanya sembari mengamati kakiku.
"Iya, Om. Tadi keinjek sama cowok aneh," jawabku sambil meringis. Sementara pria di hadapanku seperti sedang kebingungan. Kedua alisnya nampak berkerut, kemudian mengalihkan pandangannya kepada Papah.
"Ah ... itu tadi mungkin anaknya Pak Bambang yang bungsu," ucap Papah.
"Oh ... Abimanyu."
Abimanyu? Oh ... jadi nama cowok tadi itu Abimanyu. Awas! Aku tandain namanya. Walau aku tidak terlalu jelas saat melihat wajahnya.
Pak Bambang pun meminta maaf kepadaku atas nama anak bungsunya itu. Aku pun menjawab iya, meski dalam hati punya niat lain. Pokoknya suatu saat nanti, dia harus minta maaf sama aku. Titik. Kalau tidak, aku akan menginjak kakinya dengan keras. Biar tahu rasa!
Papah dan Pak Bambang makan sambil membahas rencana bisnis mereka. Sesekali diselingi gurauan. Sedangkan aku yang duduk di samping kanan Papah hanya bisa diam sambil menikmati makan malam yang lumayan enak. Entahlah, aku tidak terlalu mendengarkan karena aku tidak mengerti dan tertarik tentang apa yang mereka berdua bahas.
"Juna pulang."
Aku tergemap melihat kedatangan seorang pria. Dia mencium punggung tangan Pak Bambang dengan takzim.
"Eh, ada Om Heru juga ternyata. Gimana kabarnya, Om?" sapanya setelah melihat Papah. Lalu dia pun melakukan hal yang sama kepada Papah. Sementara aku malah semakin menunduk, lalu sedikit memiringkan badan sambil berpura-pura memainkan hape.
Ya Tuhan ... jangan sampai Kak Arjuna melihatku, meskipun itu mustahil.
Aku takut Papah akan bertanya dari mana aku bisa mengenal Kak Arjuna. Pastilah pria berambut klimis itu akan menceritakan semua. Sedangkan tadi siang aku bilang sama Papah kalau semuanya baik-baik saja.
"Alhamdulillah, Baik. Gimana dengan kamu? Om dengar sekarang kamu lagi memulai bisnis, ya?"
Duh ... Papah malah ngajak Kak Arjuna ngobrol lagih. Harus gimana, nih? Langsung pergi, tapi jelas itu gak sopan. Terus mau sampai kapan aku menghadap ke samping kiri seperti ini? Lama-lama pasti Papah akan mengenalkan aku kepada Kak Arjuna.
"Itu siapa, Om?"
Gawat! Gawat! Gawat!
Kak Arjuna malah nanya.
"Oh, iya, kenalin ini anak Om satu-satunya."
Ya Tuhan ....