Chereads / Not Ordinary Love / Chapter 2 - Ancaman

Chapter 2 - Ancaman

Berkali-kali aku menoleh ke belakang dan kiri kanan. Jalanan yang sepi membuat malam ini terasa menakutkan. Padahal, jam analog di pergelangan tangan masih menunjukkan angka sembilan. Namun, rasanya seperti sudah tengah malam.

Sebenarnya, sejak awal pun aku merasa malas untuk pergi memenuhi permintaan Indira. Selain jarak yang lumayan jauh dari rumahku, gang menuju rumahnya pun sama sekali tak dilalui oleh angkutan umum. Paling ojek pas perempatan di depan gang, tapi itu juga jika ada.

Terpaksa aku menjawab iya kepada Indira karena merasa tidak enak kepadanya yang seperti memohon. Apalagi, dia sudah tiga hari tidak masuk sekolah. Meski sekarang aku terpaksa harus berjalan kaki karena di depan gang sana sama sekali tak ada ojek.

Mataku berbinar bahagia ketika melihat sorot lampu kendaraan. Di depan sana terlihat sebuah motor dan di belakangnya ada sebuah mobil. Semoga yang di depan itu tukang ojek.

Namun, setelah motor itu mendekat, mataku terbelalak seiring napas yang tertahan.

Sam menyeringai sambil menatapku dengan tatapan yang membuat hati ini sedikit takut. Dari tatapannya itu, aku jadi teringat akan ancamannya pagi tadi. Sehingga aku pun langsung berlari sekuat tenaga untuk menjauhinya.

Namun, apalah daya. Sam yang menggunakan motor pun bisa dengan cepat menyusul. Dia memberhentikan motornya di depanku. Kemudian dengan cepat dia menarik tangan ini menuju mobil yang tadi berada di belakangnya.

Bau alkohol menyeruak begitu pintu mobil dibuka oleh salah satu teman Sam. Sangat jelas. Di dalam sana ada empat orang teman satu gengnya di sekolah. Dasar berandal.

"Wuuuiiihh ... kita pesta, nih. Gak usah jajan yang bekasan lagi. Thank's, ya, Bro." Reno yang duduk di kursi kemudi pun memberikan sejumlah uang kepada Sam.

Apa? Maksudnya Sam menjual aku kepada mereka?

Tidak!

Ini pasti mimpi!

"Tolooooong!"

Aku berteriak sekuat-kuatnya. Berharap akan ada seseorang yang mendengar teriakanku. Namun, Sam menampar pipiku. Perih dan terasa panas sekali rasanya pipiku ini.

"Diam!" bentaknya.

Aku pun menatapnya dengan tajam. "Dasar kurang ajar! Berani sekali kamu menamparku!" sungutku berusaha menunjukkan kalau aku tidak takut kepadanya. Walau sesungguhnya hati ini berbanding terbalik.

"Masih punya nyali juga, lo," sengitnya. Kemudian dengan cepat dia mendorong tubuhku ke dalam mobil.

"Tolooooong." Aku berteriak lagi hingga berkali-kali sambil menahan agar tubuhku tidak berhasil masuk ke dalam mobil hitam menyeramkan dan bau itu.

Bugh!

Aku mendengar suara pukulan keras dari sebuah benda seiring dorongan Sam yang lepas dari punggungku. Lekas aku pun membalikkan badan.

Seorang pria berbadan tinggi tegap sedang melayangkan kepalan tangannya kepada Sam. Tak lama kemudian, Reno kembali bersuara.

"Gawat! Gue cabut, Sam! Lo urus masalah lo!"

Mobil Reno pun melaju dengan cepat.

Pria itu selalu bisa menghindar bahkan menangkis pukulan Sam. Hingga akhirnya Sam pun memilih untuk pergi menggunakan motornya. Lebih tepatnya dia kabur.

Aku pun menghela napas lega. Terima kasih Tuhan. Setidaknya aku terlepas dari Sam, meski pria di depanku pun belum tentu pria baik-baik.

Aku sontak menunduk ketika pria tinggi itu menghampiri. Kedua tanganku menggenggam tali tas slempang dengan kuat. Entah mengapa dada ini berdetak dengan cepat.

"Tenang saja, aku bukan penjahat."

Perlahan aku menatapnya dengan ragu. Lalu tersenyum canggung. "Te-terima kasih sudah menolongku," ucapku sedikit terbata.

Pria itu tersenyum. "Tidak baik seorang wanita berada di luar malam-malam."

Aku kembali menunduk, tetapi mata ini berkali-kali meliriknya sekilas. "Aku tadi mau ke rumah temanku," jawabku kemudian.

Pria itu terlihat mengangguk-anggukkan kepala. "Sekarang masih mau ke rumah teman kamu?"

Aku sedikit bingung. Antara pulang atau melanjutkan perjalanan ke rumah Indira? Sebenarnya, aku ingin pulang, tetapi entah mengapa ada perasaan aneh yang membuat aku berpikir untuk ke rumah Indira terlebih dahulu.

"Aku mau ke rumah temanku dulu lalu pulang. Takutnya dia menunggu," jawabku.

"Jika dibolehkan, boleh aku antar kamu ke rumah temanmu lalu aku antar kamu pulang sampe rumah?" tanyanya meminta izin kepadaku.

Aku menatapnya beberapa detik. Dari sorot matanya, sepertinya dia pria baik-baik. Tetapi ... tiba-tiba saja ucapan Papah kembali teringat, kalau aku jangan sembarang percaya kepada seseorang yang belum dikenal. Apalagi kepada seorang laki-laki.

"Tenang saja. Aku bukan penjahat seperti mereka tadi," ucapnya seolah-olah dia tahu apa yang aku pikirkan.

Aku masih diam. Berpikir sejenak. Namun, suasana malam yang sepi membuat aku semakin merasa takut. bagaimana jika Sam kembali datang lalu melanjutkan aksinya tadi.

"Baiklah. Tapi aku enggak merepotkan, kan?" tanyaku yang dibalas gelengan kepala oleh pria itu. Kemudian dia mengulurkan tangannya.

"Arjuna."

Sesaat aku menatap uluran tangannya sebelum akhirnya aku menyambut uluran tangan itu.

"Nayara Putri."

"Nama yang indah."

Aku sedikit tersenyum mendengar pujian dari pria berhidung mancung yang sekarang berdiri di hadapanku . Kemudian kami berdua pun pergi ke rumah Indira menggunakan motornya.

***

Aku langsung masuk melewati gerbang rumah yang terbuka sebagian. Mungkin Indira sudah lama menunggu. Aku pun gegas berjalan menuju rumahnya. Namun, langkahku terhenti ketika mendengar suara seseorang yang sangat aku kenal berada di dalam rumah Indira. Lantas aku pun mengendap-endap menuju pintu utama yang kebetulan dalam keadaan sedikit terbuka.

Mataku membulat ketika melihat seseorang di dalam sana. Tepatnya setelah melihat cowok yang baru saja hampir menjualku kepada teman-temannya.

Sedang apa dia di sini? Lalu di mana kedua orang tua Indira?

Indira tampak tertunduk sembari duduk di kursi yang kulitnya sudah mulai terkelupas di beberapa bagian. Sesekali kedua tangan wanita itu terlihat mengusap sudut mata atau pipinya.

"Aku kan udah meminta Naya untuk ke sini. Masalah kamu berhasil atau engga dengan niat kamu kepadanya, itu bukan salahku, Sam."

Napasku terhenti sesaat setelah mendengar kalimat yang diucapkan Indira, sahabat sedari SMP. Lalu menarik napas dalam-dalam untuk memberi ruang pada dada yang terasa sesak ini.

Andai bukan Indira lah orang yang bersekongkol dengan Sam dan membuat aku hampir saja kehilangan harga diri, mungkin aku sudah meluapkan emosiku kepadanya. Tidak mematung seperti ini dengan dada yang bergemuruh. Bahkan rasanya sulit sekali walau untuk menelan ludah.

Segera aku berjalan cepat menuju Arjuna yang sedang menunggu di pinggir jalan, setelah mendengar kalau Sam akan meninggalkan rumah itu.

"Ayo pergi," ajakku kepada Arjuna. Sedangkan pria itu menatapku penuh tanya, meski akhirnya dia segera melajukan motornya sesuai perintahku.

"Rumahmu di mana?" tanya Arjuna setelah berada di jalan perkotaan.

Dengan lemas aku pun menyebutkan alamat rumahku.

Entahlah. Tubuhku rasanya lemas sekali setelah mendengar ucapan Indira kepada Sam. Mengapa dia tega sekali kepadaku? Apa salahku kepadanya hingga dia menusukku dari belakang seperti ini.

Tak terasa aku sudah sampai di depan gerbang rumah. Kalau bukan Arjuna yang menepuk pundak, mungkin aku masih melamunkan kejadian tadi.

"Kamu kenal dengan pemilik rumah tadi?"

"Hah?" tanyaku sedikit kebingungan.

"Maksudku, apa gadis yang bernama Indira itu temanmu?"

Aku tersenyum kecut setelah mendengar pertanyaan dari Arjuna. Masihkah pantas aku menganggap Indira sebagai teman? Tapi ... beberapa detik kemudian aku mengernyit.

"Kamu kenal sama Indira?"