STAB!
Jantungnya serasa berhenti menonton adegan menyeramkan itu. Bukan di dalam televisi seperti hal yang biasanya ia lakukan, melainkan di sebuah gang berbayang hitam dan sepi. Tak ada orang lain selain dua pria di sana.
Salah satunya ... memegang senjata tajam mematikan. Satunya lagi ..., sudah tersungkur berselimutkan warna merah darah. Yang tak lain dipastikan adalah milik pria di tanah lembab dan basah sehabis hujan.
Sayup-sayup pria bergagang senjata runcing itu berdiri. Menggumamkan hal tipis yang memantul sampai ke gendang telinga Lentera Kanaya. "Itu balasan yang kamu dapatkan karena menolak turun, Devan."
Sebelum sempat memproses, pria itu berbalik tajam. Melangkah begitu tipis layaknya melayang. Tiada suara derapan berat, tiada suara bercak sehabis menendang air menggenang.
Pokoknya tidak ada. Dan itulah yang membuat Lentera was-was untuk bersembunyi ke bayangan pohon lainnya. Berkamuflase layaknya tidak ada orang.
Sekian menit berlalu walau Lentera tak akan bisa bernafas lega. Orang tersungkur yang didekatinya itu masih bergerak, walaupun sangat kecil. Bibirnya menggumamkan sebuah permohonan tulus, "Bantu saya."
Takut-takut Lentera bersimbuh di sebelahnya. "Kamu nggak akan selamat kalau dibawa ke rumah sakit."
Tanpa disangka pria itu mengukir senyum lembutnya. Kepada seseorang yang baru ditemuinya. Pandangannya mulai mengabur dan menggelap. "Berarti ini hari terakhir saya."
Napas Lentera ikut tercekat. Tak bisa dipungkiri hati nuraninya cukup terusik. Ia tidak memiliki cukup waktu untuk berpikir dan mengulur waktu.
Yang jelas, sekarang atau tidak sama sekali. Rambut panjangnya diselipkan ke belakang telinga. "Jangan tidur!"
Bagaimanapun sakit menjalar ke anggota tubuh lainnya, membuatnya mati rasa, tak ada yang mengalahkan Devan mengeluarkan kekehan tipisnya. "Toh saya akan mati."
"Pokoknya jangan tidur!" sentak Lentera mengguncang pipi Devan. "Jangan tidur. Itu peringatan terakhir saya. Mengerti?"
Devan nyaris tak bisa mengangguk lagi. Tapi apa boleh buat? Mungkin saja ini keinginan terakhir yang bisa ia kabulkan. Siapa tahu?
Tas selempang melingkari bahu kiri Lentera dibuang ke tanah. Sekali embusan panjang dikeluarkannya, gadis itu sudah memejamkan matanya. Manik yang tak bisa dipandangi jelas oleh Devan menghilang.
Setelah terpejam sempurna, giliran mulutnya yang terbuka berkomat-kamit dengan bahasa absurdnya. Kurang lebih yang dipahami hanya sebagian kecil seperti, "Sembuhkan."
Sembuhkan? Sembuhkan apa?
Belum lama Devan berpikir, sesuatu mengoyak bagian dalam tubuhnya. Anehnya, tak ada campur tangan siapa pun, membuat Devan mengerang kencang dan kesusahan bernapas. Keringat mengucur bercampur dengan kaus biru yang telah berubah menjadi gelap.
Ada sesuatu yang menembus perutnya. Devan menyadari itu, tapi ia sama sekali tidak tahu apa itu. Lentera di sana dalam diam, memejamkan mata dengan mulut yang berbicara sendiri, dan Devan yang berteriak dalam kegelapan malam.
Kesadarannya yang sudah semakin tipis, mulai menghilang seluruhnya akibat rasa sakit baru yang ia rasakan. Sebelum menggelap semuanya, Lentera membuka kedua manik cerah namun resahnya.
Tidak sampai satu menit terbuka, Lentera memejamkan lagi kedua matanya, kemudian ambruk ke dada Devan yang pingsan.
***
"Kamu sudah bangun ternyata."
Lentera sudah tidak bisa terkejut mengingat sekujur tubuhnya yang lemas. Luluh lantak persendiannya. Masih bersyukur ia hanya bisa bernapas, ataupun memindai acak ke beberapa arah sekaligus.
Yang jelas ini bukan rumahnya. Lentera ingat tempat kumuh itu. Jamur yang tumbuh di sela-sela tembok retaknya, juga wallpaper kusam yang terlepas sebagian.
Bukan di sini. Harum floral tercium pekat, kamar luas tak terhingga, juga suara berat yang merasuk ke gendang telinganya.
Sudah ia duga. Kalau menyelamatkan orang lain, cepat atau lambat ia akan terseret kesialan lagi. "Ini di mana?"
"Rumah saya-"
"Bukan," sela Lentera menenggak kasar salivanya sendiri. Matanya berkejaran ke luar jendela. Berusaha menilik apa pun di luar sana. "Di jalan mana?"
"Asal kamu tahu, saya nggak punya rencana buruk mengenai kamu," ujar Devan berpindah tempat. Dari yang di luar kasur Lentera jadi duduk di kasurnya. "Saya cuman mau bertanya sedikit."
"Di mana?" desak Lentera mendelik tajam. Mulai tidak menyukai pembicaraan berputar ini. "Kalau kamu nggak punya niat buruk, hal mudah kayak gitu bakal gampang kamu jawab."
"Kota sebelah," tutur Devan menghela napas singkat. "Jalan Hanggia. Kurang lebih tujuh kilometer dari posisi awal kita. Begitu kamu sembuh dan sehat, saya akan mengantar kamu pulang."
Lentera menggeleng menolak. Tubuh tak berdayanya dipaksa menyeret ke belakang guna bersandar. Infus tajam itu hendak dilepasnya, sebelum tangan lain ikut campur.
"Nggak boleh," tolak Devan serius. "Saya nggak kasih kamu untuk keluar dari kamar ini, Lentera."
"Tahu nama saya dari mana?" tanya Lentera menghunus dalam. "Lihat, benar kan saya? Semakin lama saya di sini, kamu akan memanfaatkan saya untuk kepentingan kamu sendiri."
Giliran Devan yang menggeleng. Memaksa Lentera untuk melepaskan jangkauannya dari infusnya sendiri. "Kamu bawa tas selempang. Di dalamnya ada ID kamu. Nama kamu, kelahiran kamu, semuanya."
Devan meraih dompet di samping nakas Lentera. Mengeluarkan sebuah kartu yang diketahui Lentera sebagai ID milik Devan. Kartu biru itu diletakkan di atas kasur Lentera. "Kamu boleh lihat punya saya."
Segera kartu yang terbengkalai itu dirampas Lentera sebelum Devan menariknya lagi. Tatapannya masih enggan terlepas curiga ke Devan. Takut jika Devan akan melakukan hal aneh saat Lentera mengalihkan pandangannya.
Devan Gaswari.
18 November 1989.
Sisanya tak begitu diperhatikan Lentera kecuali wajah Devan. Menaikkan lagi pandangnya, benar. Ini adalah ID miliknya. Devan Gaswari.
"Sudah percaya sekarang?" tanya Devan tenang. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Sempat-sempatnya menaikkan sebelah alisnya ringan. "Atau masih ada yang mau kamu curigain dari saya?"
"Siapa yang tusuk kamu itu?" semprot Lentera menolak untuk berbasa-basi.
"Kakak saya," jawab Devan kalem. Sorot matanya misterius. Tak ada kesenangan, kesedihan, maupun kebencian. "Sekarang saya percaya cara kotor nggak akan bisa menang setelah saya ketemu sama kamu."
"Terus maksud kamu apa?"
"Nggak ada maksud apa-apa," ungkap Devan jujur. "Kamu nggak sadar baju kita berdua sama? Baju pasien. Kamu pingsan, saya juga. Saya nggak tahu bagaimana cara kamu melakukan hal ajaib begitu, tapi saya cuman mau berterima kasih sama kamu."
Lentera memalingkan wajahnya tak acuh. "Saya tetap mau pulang."
"Setelah kamu sembuh dan saya fit kembali," tutur Devan mendahului Lentera. "Dokter bilang kamu kelelahan. Mungkin karena menolong saya?"
"Memang," jawab Lentera mendengus sedikit. "Itu pertama dan terakhir kalinya kamu menolong dan terlibat sama saya. Saya tidak mau melakukannya lagi untuk siapa pun."
Devan nampak mengangguk-angguk mengerti. "Kesehatan kamu lebih utama. Saya mengerti."
"Bukan," jawab Lentera memelankan suaranya. Tak sadar kebiasaannya memilin jarinya keluar lagi saat gugup. "Saya nggak mau mendapat masalah lagi."