Temani dalam kesunyian. Mungkin itu lebih tepatnya. Devan bukan tipikal seseorang yang suka menyantap makanan sambil terdistraksi. Tak ada ponsel, tak ada televisi, tak ada juga pembicaraan yang bisa mengisi keterdiaman pekat ini.
Sejujurnya apa fungsinya Devan makan di sini?
"Mau?" tawar Devan menyodorkan sendoknya sendiri. "Bukan beracun."
Lentera menggeleng sekali. "Kenyang."
Pria itu mengangkat kedua bahunya tidak peduli. Sibuk menghabiskan makanan berminyak itu sekali suap. Mulut besarnya mengunyah nikmat tak peduli ada orang yang memandangnya begitu aneh.
Satu lagi karakter Devan terbaca. Selain lembut, pria itu juga cuek terhadap anggapan dan tatapan orang. Pria mencurigakan yang tak mengizinkannya ke mana-mana. Keluar dari kamar ini pun tidak.
Jangan bilang Lentera tidak mencobanya. Ia sudah, percuma. Ia ditahan oleh banyaknya orang yang mengharuskannya untuk berdiam di sini sampai tiga hari ke depan. Memuakkan.
"Jangan begitu," ujar Devan usai mencerna habis makanannya sendiri. "Nanti kalau kamu mau keliling rumah ini, biar saya yang bawa kamu."
"Saya. Mau. Pulang!" sentak Lentera frustrasi. "Saya nggak peduli tentang rumah kamu! Tentang kamu! Saya cuman mau pulang tapi kamu menjebak saya di sini!"
Dengan santainya Devan menggulung dus styrofoam itu ke dalam kantung plastik hitam yang dibawanya. "Bukan menjebak. Saya cuman mau kamu sehat."
"Saya bisa istirahat di rumah saya!"
"Kenapa kamu begitu takut sama saya?" Devan bertanya lagi, sekaligus memandangi wajah berkerut Lentera. Kalut. Gadis itu menciut di ujung kamar. "Saya bukan pria yang buruk. Tenanglah. Kalau kamu terus-terusan menolak seperti ini, yang ada saya akan berhutang budi dan lama kelamaan kita akan terjalin lagi. Kamu mau selesai sampai di sini atau terhubung lagi dengan saya?"
Manik Lentera menyorot marah. Sisi kanan bebas Lentera mulai mengepal kesal. Namun, efeknya mengarah lagi pada Devan yang menatapnya santai.
Sekejap kemudian, Devan kehabisan napas. Terbatuk kencang karena tak adanya oksigen yang bisa dihirupnya. Tenggorokannya tercekik meskipun tak ada yang menyentuhnya. "L-Lentera ... tolong ...."
"Berjanji kamu nggak akan memanfaatkan saya," peringat Lentera tajam. "Mengerti?"
Devan mengangguk lemah. Sudah terjatuh dari kursinya sembari memegang lehernya yang menegang. Pucat pasi menghiasi wajah normalnya. Layaknya kemarin, Devan tidak berdaya seperti itu.
Tangan kanan Lentera membebaskan kepalan tangannya sendiri. Sedetik kemudian Devan langsung terbatuk kencang. Meraup kasar oksigen yang tak didapatkannya lebih dari semenit.
Sementara Lentera yang menyaksikan semua itu memalingkan lagi wajahnya. Tak sanggup juga melihat orang lain tersiksa ... lagi karenanya. "Balik ke kamar kamu. Saya nggak mau lihat kamu lagi."
"Lentera."
"Pergi," usir Lentera telak. "Atau mau saya lakukan yang lebih dari itu? Kamu mau saya buka lagi jahitan kamu itu?"
Seharusnya Lentera tidak perlu sekasar ini. Ia menyadarinya. Ia juga tahu bagaimana raut wajah Devan yang berubah drastis. Dari yang lembut, jadi yang tercengang, bingung, dan sebagainya.
Devan juga seharusnya tahu ancaman Lentera bukan candaan belaka. Lentera sungguh bisa melakukan yang lebih parah. Bisa jadi membuat Devan meninggal kehabisan napas.
Tapi untuk apa Lentera menyelamatkannya untuk membunuhnya sendiri? Sia-sia saja. "Kenapa masih di sana? Perlu saya usir lagi?"
Pergerakan Devan mundur selangkah. Sudah seperti yang diduganya. Seperti kala orang lain melihat dirinya ini.
Ia pasti bisa dibebaskan. Pasti setelah apa yang terjadi tadi.
"Besok saya akan datang lagi. Semoga saat itu emosi kamu sudah lebih stabil," ungkap Devan pelan sembari berlalu. "Semoga cepat membaik."
Blam!
Tadi Devan bilang apa?
***
Kening Lentera tak bisa menahan kerutannya mendapati di pagi hari terik ini sudah ada orang yang bertengger di jendela kamar tidurnya. Orang itu lagi, orang itu lagi. Tidak ada kapok-kapoknya dia mendatangi Lentera.
Beberapa detik Lentera menyipitkan matanya. Megamati tapi tak ingin ketahuan kalau sudah bangun. Memindai tanpa bersuara.
Seketika buku yang dipegang oleh Devan terkatup. Paras datarnya mendongak ke arah pintu. Derit pintu terpaksa memaksa Lentera untuk memejam lagi. Telinga runcingnya mencari-cari asal-usul suara dua orang itu.
"Bisa cek keadaan dia?"
Derap langkah orang di ujung pintu itu mendekat. Entah apa yang dilakukannya, tapi ia menanggapi cukup cepat. "Dia baik. Lebih baik dari kemarin. Kamu harus menahan dia di sini sampai dua hari kedepan? Dia protes mau pulang."
Embusan keras kembali terdengar. "Hari ini saya baru mau ke rumahnya. Setelah saya lihat situasi dan kondisi saya baru memutuskan."
Sontak bibir bawahnya tergigit menahan nyeri. Tangannya sudah menegang sempurna. Apakah menyelamatkan Devan adalah sebuah kesalahan? Jadi dari awal Devan memang tidak berniat memulangkan dia?
"Terus rencana kamu setelah ini? Kamu tahu berbahaya untuk dia kalau terus ada di sini. Di sini bukan tempatnya." Kali ini Nanda yang berbicara mewakili isi hati Lentera.
Bayangan senyum tipis misterius Devan membayangi benak Lentera. Pasti itu yang pria itu lakukan sebelum berucap, "Lihat nanti saja. Lagipula siapa yang bilang dia nggak bisa bertahan di sini?"
***
Ini gila.
Sangat-sangat gila.
Sudah berulang kali kata-kata peringatan terlintas di dalam kepalanya tapi masih saja ia keras kepala bahwa ia bisa mempercayai Devan. Yang namanya manusia adalah manusia. Seharusnya ia tidak perlu mengulur waktu lagi hanya untuk ....
Entahlah. Seharusnya ia bisa memaksa untuk pergi.
Kenapa ia tidak berusaha?
Was-was Lentera melongo keluar koridor kamar tidurnya. Sepi, tidak berpenghuni. Jam dua belas malam begini tidak ada yang berpatroli bukan?
Remang-remang pencahayaan setidaknya dapat terlihat dengan jelas. Berusaha mati-matian kakinya meminimalisir suara dengan berjinjit-jinjit tipis. Dinding dirabanya perlahan agar tak menubruk satu pun barang antik yang menghiasi kiri dan kanan lorong lebar ini.
"Mau ke mana?"
Tubuhnya serasa tersengat aliran listrik bervoltase rendah. Padahal ia tidak bersalah, namun layaknya orang yang terciduk. Membeku tak bersuara sebelum mendapatkan lagi keberaniannya. "Pergi. Saya nggak punya tempat di sini."
"Siapa yang bilang begitu sama kamu?" Sekalipun keberatan, Devan sama sekali tak beralih ke depannya. "Kasih tahu ke saya. Ada yang membuat kamu tersinggung?"
"Nggak," sahut Lentera cepat. "Saya nggak ada urusan lagi di sini. Saya tahu saya sudah baik-baik saja. Saya mau pergi sekarang."
"Harus berapa kali saya bilang sama kamu?"
Gaun malam yang melekat di tubuh Lentera berkibar indah, meskipun mencekam. Kedua tangannya kembali bersiap di depan tubuhnya. "Jangan hentikan saya lagi. Please. Saya nggak mau melukai orang yang saya selamatkan."
"Kalau begitu jangan," desak Devan kukuh pendirian. Satu langkah mendekati Lentera yang membuat wajahnya dipancari cahaya keremangan dengan jelas. "Kamu mau kabur? Kenapa?"
Devan belajar dari pengalaman. Sebelum kedua tangan Lentera terkepal penuh, Devan telah mengambilnya duluan. Menyelipkan jari-jari besarnya di antara jari Lentera.
Tapi yang dirasakan Devan malah keremukan luar biasa di jemarinya. "L-Lentera!"