Siku kiri Lentera dibebat kain kasa. Sebagai gantinya, lengan kanannya yang mendapatkan infusan jarum tajam itu. Digerakkan sedikit saja, sudah memberikan sensasi tak kalah menyakitkan dari saat infus itu tercabut.
Setidaknya, peningnya lambat laun berkurang. Tenaganya sedikit banyak terisi lebih baik.
Pria sialan itu ada benarnya juga saat memberikan obat bius ... yang diyakini Lentera dituangkan ke dalam minumannya.
Delikan kedua tangannya diiringi belalakan paniknya. Tali panjang mengikat pergelangan tangannya. Pergerakan bola matanya menangkap bahwa ujung simpul tali itu ada di headboard.
Meskipun tali karet itu cukup panjang ..., tapi Lentera tidak bisa lagi kabur seperti tadi.
Satu kesimpulan yang Lentera buat.
Pria ini gila.
Intensitas detak jantungnya ikut-ikutan menggila juga. Lupakan rasa sakit yang menderanya. Ini semua sudah mulai di luar nalar.
Ada satu informasi yang disampaikan Nanda tapi hampir dilupakannya. Interkom itu tersambung pada mereka berdua, kan?
"Tapi yang mana?" gumam Lentera panik. Angka satu dan dua itu membuatnya tak bisa berpikir dengan jernih. "Satu siapa, dua siapa?"
Dada Lentera kian menyempit. Kalau yang mengangkat Devan, Lentera tinggal mematikannya.
Seharusnya bisa jadi semudah itu, 'kan?
"Halo?"
Sapaan berat itu hendak membuatnya menangis sekarang juga. Itu Nanda. "Nanda? Saya butuh bantuan kamu sekarang. Saya mohon. Saya-"
"Tunggu, biar saya alihkan pada Devan dulu," potong Nanda ringkas. "Ini interkom Devan. Saya kebetulan berada di sini. Tunggu."
"Nanda!" pekik Lentera panik. "Nanda! Tunggu!"
"Len?"
Darah Lentera berdesir lebih kuat lagi. Desiran memilukan. "Saya mau bicara dengan Nanda!"
Sekian detik terlewat, Devan barulah menjawab, "Nanda bilang ke saya kalau kamu butuh bantuan. Kamu butuh saya? Kenapa?"
"Saya butuh Nanda," jawab Lentera rendah. Mengingat tenggorokannya serat, ia tidak berani mengencangkan suaranya lagi. "Bukan kamu. Saya butuh Nanda. Nanda Aberio."
"Ada masalah dengan kesehatan kamu?" balas Devan menjawab tenang. Tidak terganggu dengan kata-kata menyakitkan Lentera barusan.
"Ada masalah dengan mental kamu," cetus Lentera menusuk. "Saya meminta diselamatkan bukan untuk dikurung di sini. Saya mau keluar dari sini. Kenapa kamu terus membawa saya ke sini lagi dan lagi? Kalau dari awal kamu memang berniat untuk memanfaatkan saya, katakan dari awal!"
"Oke, saya segera ke sana."
"Devan! Dev-"
Gigi putihnya memperdalam gigitan bibirnya sendiri. Gagang interkom itu sudah terlepas dari genggamannya yang melemah.
Ia mengira pada akhirnya ada orang yang benar-benar ingin membantunya.
Nyatanya tidak ada. Manusia adalah manusia. Jika salah seorang di antara manusia itu tidak sepenuhnya normal ....
Rasanya seberapa banyak tangisan yang tumpah ruah tidak ada yang berarti. Ia masih di sini, terkurung, dengan jalinan tali yang tak mengizinkannya pergi.
"Len?"
Suara itu terus merasuk ke dalam telinganya. Kapan pun, di mana pun itu. Sekalipun Lentera merapatkan tangannya di telinganya, suara Devan masih merecokinya.
"Lentera?" Devan menjatuhkan tangannya di pundak Lentera. Ibu jarinya bergerak kecil layaknya menenangkan Lentera. "Sudah siap bicara sekarang?"
Wajah keji namun berlinang air mata itu menengadah. Sontak bersitatap dengan Devan yang masih mengerjap bingung. "Siap bicara? Dengan memberi saya obat bius, mengikat tangan saya, lalu mengurung saya?"
Mulut terkunci dari lawan bicaranya memberi Lentera kesempatan untuk melemparkan kalimat menyakitkan lainnya. "Menyelamatkan? Kamu menjerumuskan saya! Apa bedanya kamu dengan ayah saya kalau begitu?"
Pria itu kembali tenang memposisikan tempat duduknya merapat kepada Lentera. Menghentikan tindakan menghindar yang ingin diambil Lentera. "Sekarang giliran saya bicara dan kamu mendengarkan. Tidak boleh menyela, seperti saya tadi. Oke?"
Sikunya terlalu sakit untuk mengusir Devan sendirinya. Sentakan bahu sesekalinya tidak berpengaruh. Sudah jelas Devan yang lebih berkuasa di sini. "Minggir."
"Oke." Devan menarik napas panjangnya, berembus pelan melalui mulut beraroma mint-nya. "Saya akan melepaskan kalau kamu janji tenang."
"Saya akan-"
"Tidak boleh menyela." Hitam misteriusnya tenggelam pada lapisan kaca yang siap jatuh itu. "Atau perjanjian kita batal."
Keduanya sama-sama menggali ke dalam pancaran sinar gelap. Mencoba mengulik apa yang bisa mereka ketahui, walaupun mustahil bagi Lentera mengetahuinya.
Belum apa-apa, Lentera sudah buang muka. Antara tidak sanggup berhadapan, atau ia gagal melaksanakan apa yang ingin ia ketahui. Yang ada, sebaliknya, Devan malah mengetahui semuanya.
Pria itu memegang janjinya dengan baik. Tali kekang Lentera dilepasnya dengan lembut. Bahkan semburat kemerahannya diusap Devan. "Apa saya mengikatnya terlalu kencang? Sakit?"
"Kamu tahu itu sakit untuk saya tapi masih melakukannya." Lentera menarik tangannya segera dari jangkauan Devan. "Satu lagi."
Sekali Devan mengangguk, simpul kedua juga berhasil dilepasnya. "Perlu saya ambilkan obat untuk kamu?"
"Yang saya butuhkan jawaban," seloroh Lentera berterus terang. "Bukan obat. Apalagi obat bius."
Lentera sedang menyindirnya. Siapa yang tidak memahami kata-kata sinis itu? "Kamu tidak bisa berbicara dengan kepala dingin kalau kamu tidak istirahat. Kamu butuh, kamu tahu itu. Dan kamu tidak akan istirahat kalau kamu masih kesal dengan saya."
"Buat saya tidak kesal kalau begitu!"
Dalam sekejap sebuah jawaban sudah bisa dibentuk dari gesture Devan. "Tidak bisa. Saya tidak pernah bisa mendebat orang lain. Maka saya menggunakan cara saya."
Separuh mulutnya terbuka, mulai meragukan indra pendengarannya sendiri. Jelas dia tahu Devan orang yang jujur, tapi apa dari awal Devan adalah orang yang seenaknya begini? "Sifat kamu baru keluar yang asli, ya."
"Itu sifat asli saya juga. Termasuk yang ini." Devan mengangkat sudut bibirnya, cukup tulus. Berlainan dengan kata-kata jujurnya tadi. "Saya tidak akan mengambil keputusan yang buruk untuk kamu. Kamu bisa tenang."
Tenang dari mananya? "Penjelasan kamu tadi tidak membuat saya memaafkan kamu."
"Kamu tidak harus memaafkan saya. Kamu hanya perlu hidup dengan baik saja," jawab Devan lugas. "Saya juga takut kamu kabur. Makanya saya menggunakan tali itu, karena saya tidak di sini tadi."
Entah mengapa semua kata-kata Devan bersifat persuasif. Walaupun sulit diterima oleh nalar, tapi semuanya terasa seperti ... tidak ada masalah.
"Saya tidak memiliki kekuatan seperti yang ada di dalam pikiran kamu," sahut Devan datar, diselipi nada candaan di dalamnya. "Saya hanya tidak membalas setiap kamu kesal, itu saja. Dengan begitu kamu juga tidak punya alasan untuk kesal lagi sama saya. Problem solved."
Ah, itu bukan kekuatan. Itu kecerdikan dari seorang Devan Gaswari.
Baru melamun sedikit, sosos Devan sudah pergi ke arah sebaliknya. Melaju menuju tiang infus Lentera untuk memeriksa kantung bening yang tergantung di ujung atasnya. "Seminggu ini kamu hanya mendekam di sini. Tidak ada niatan untuk berkeliling rumah saya?"
"Tidak."
"Oke, kalau begitu ayo," balas Devan meninggikan alis kirinya. Tiang infus diseretnya bergulir menjauh. "Biar saya yang memandu kamu."
"Saya bilang tidak." Lentera mulai mengerutkan alisnya gondok. "Saya curiga kamu tuli."
"Tapi nyatanya saya tidak." Devan merentangkan tangannya untuk digapai Lentera, sementara yang satu lagi tersimpan dalam saku jaket hitamnya. "Ayo."