Berkali-kali tangan basahnya berusaha disembunyikan. Gagal juga saat Devan sudah melebarkan mulutnya memulai percakapan. "Kenapa? Kamu gugup?"
Siapa yang tidak? Di depannya sudah tersaji selembar kertas yang menunggu untuk dibubuhi tanda tangannya.
Harus tanda tangannya, karena data dirinya sudah berada di tangan Devan. Salinan ID Devan yang tidak penting juga berada di tangannya. Mereka berdua bertukar atas kesepakatan yang diajukan Devan.
Agar kertas ini bisa ditandatangani atas dasar kepercayaan. Begitu katanya, tapi entahlah. Mungkin Devan hanya ingin jaminan agar Lentera tidak bisa kabur di sini.
"Atau kamu tidak mau menandatanganinya?" Devan berkicau lagi kala membaca keraguan telak Lentera. Pena hitam pun bahkan belum digenggamnya. "Kenapa?"
Akhirnya Lentera berani mengambil selamgkah lebih maju. Pulpen bertinta itu telah ada di genggamannya. Namun, tetap saja belum berani menorehkannya membuat bercak di atas kertas putih itu. "Saya hanya merasa ini bukan keputusan yang tepat."
"Di bagian?"
Lentera kembali menggeleng. Menunjuk pena, salinan ID mereka, juga kertas putih yang tergolek rapi belum tersentuh. "Ini. Semua ini terasa tidak benar."
Devan melempar pandangnya ke arah lain. "Saya nggak bisa maksa kamu kalau kamu nggak mau, Len. Saya pikir kamu akhirnya rela, atas kemauan diri kamu sendiri."
"Dev, saya memang rela .... Tapi kalau semuanya didasarkan pada perjanjian tertulis begini ...." Lentera mengecilkan suaranya di ujung. Haruskah ia mengaku bahwa ia tidak punya apa-apa selain dirinya sendiri? "Dengar, Dev. Ini berlebihan."
"Ini sebagai bukti kalau kamu serius dengan ucapan kamu. Dan saya serius dengan ucapan saya." Dengusan keras dan lelah keluar darinya. "Kamu mau atau tidak?"
"Saya mau, tapi ...."
"Mau adalah mau, Len." Devan telah membuang pena itu asal kembali ke mejanya. "Tidak adalah tidak. Tidak ada yang namanya mau, ditambahi dengan perkataan tapi."
"Saya butuh waktu-"
"Dua hari dan kamu setuju hari ini juga. Apa ucapan saya salah?" Mata gelap itu memincing runcing. "Kamu membuat saya merasa seperti saya sangat membutuhkan kamu. Padahal kita sama-sama untung dalam hal ini, Len."
Rasanya Lentera tidak punya muka lagi. Dirinya memang merasa demikian, kalau Devan tidak bisa apa-apa tanpanya. Ralat, tanpa kekuatannya. Dengan dirinya, Devan bisa menjadi seseorang yang immortal, tak terpengaruh oleh ancaman eksternal maupun internal.
Dan itu yang dicari Devan darinya. Itu yang dicari ayahnya dari dirinya. Mereka berdua tidak berbeda. Hanya saja yang satu ingin untuk kekayaan dan terjerumus dalam hal-hal buruk, sementara yang satu ingin kesehatan untuk melakukan hal-hal buruk lainnya.
Itu juga yang menjadi pertimbangannya. Ia sungguh akan mematahkan prinsipnya untuk menyelamatkan orang kalau ia terus-menerus menyelamatkan Devan demi membunuh orang lain.
Yang mana menjadikannya tangan kanan seorang pembunuh.
Memikirannya saja membuat bulu kuduknya bergidik kedua kalinya. Geli yang tak mengenakan. Sadar bahwa keputusannya salah dan ia hampir menorehkan tanda tangan. "Dev .... Apa saya boleh meminta waktu sampai besok?"
"Asal kamu jangan berubah pikiran lagi," terang Devan serius. Kertas putih yang ada di kedua belah pihak itu dijadikan satu, disingkirkannya ke tepi. "Isi dari kertas itu mudah, Len. Saya minta kamu tidak kabur dan terus berada di sisi saya. Sementara tanggung jawab kamu semua ada di saya. Ayah kamu, pembiayaan kehidupan kamu, semuanya. Minus kehidupan pribadi."
Sebelum Lentera menyela, Devan menambahi lagi. "Kalau kamu jujur dan saya jujur, tidak ada yang harus ditakutkan kita punya salinan ID masing-masing, Len."
Dengan demikian, sempurna semua kegundahan di benak Lentera menghilang. Ternyata yang bermasalah bukan di Devan, tapi di dirinya yang memang tidak mempercayai Devan. Permasalahannya yang harus ia tangani sendiri. Itu dia.
Lentera kembali tertunduk dalam. "Maaf saya terlalu tergesa hari ini."
"Atau begini saja?" Devan mencondongkan tubuhnya kala berbicara. "Kamu lihat dulu bagaimana saya bekerja, dan apa yang harus kamu lakukan. Setelahnya, kamu boleh memutuskan. Ingin tetap di sini atau pergi."
"Melihat bagaimana cara-"
"Saya, bekerja," potong Devan ringkas. Kekalutan di wajah Lentera dimengertinya. "Saya berjanji akan melindungi kamu, Len. Saya tidak akan membahayakan orang yang saya pekerjakan. Sebaliknya, kamu harus membantu saya jika terjadi sesuatu pada saya."
"Dan jangan kabur," lanjut Devan seakan membaca ketakutan bibir bergetar Lentera. "Timbal balik harus ada."
***
Maka itu yang terjadi keesokan harinya. Berupa dress mini yang membaluti postur rampingnya, juga luaran rompi hitam yang terkancing sampai ke leher.
Yang diyakini Lentera berbahan anti peluru. Hanya saja rompi ini dimodifikasi dengan bentuk modis masa kininya. Sama sekali tidak terlihat unsur berperangnya.
Kalau saja Lentera tidak tahu pekerjaan Devan, bisa jadi ia hanya mengira ini hanya hiasan biasa.
Sangat disayangkan waktu itu Devan memilih untuk jujur ketimbang merahasiakannya. Sekali lagi, Lentera merasa ada keganjilan apakah semua ini harus masuk ke dalam hidupnya atau tidak.
Bingung mengizinkan atau menyisihkan. Lentera belum bisa mengambil keputusan sama sekali.
"Len?"
Hampir seminggu ini, panggilan itu yang terus digaungkan Devan. Lentera sampai hafal nada kebingungan Devan setiap mencarinya dan bagaimana ucapan kaku itu disebutkan Devan.
Manik Lentera berputar kebosanan. "Iya, sebentar. Saya menyusul ke depan nanti."
Di ambang pintu itu kepala yang terjulur mengangguk serius. "Saya tunggu di depan. Kalau butuh sesuatu beritahu saya. Jangan menggunakan perhiasan apa pun itu. Tinggalkan di rumah saja."
"Oke," sahut Lentera menanggapi. "Sekarang bisa kamu keluar?"
Devan terdiam lagi. Matanya menyorot datar ke Lentera, tapi tak dipungkiri mengiyakan lagi perintah Lentera. "Saya tunggu."
Dengusan Lentera tercipta kuat-kuat. Tangannya kembali mendingin tanpa alasan yang jelas.
Sebenarnya apa yang tengah ia lakukan? Bersiap-siap ke jurang kematian?
"Len? Kamu bisa denger suara saya, kan?"
"Kamu pikir saya tuli?" tanya Lentera sinis, tapi jujurnya menyembunyikan getaran dalam suaranya. "Dan kenapa kamu masih di sana?"
Tak ada sosok pria berparas datar namun lembut itu. Hanya suaranya yang terdengar sayup-sayup menggelitik telinga Lentera. Suara berat berwibawa, tapi di saat yang bersamaan tidak terkesan seperti memerintah.
Sudah pernah ia bilang, kan, jika suara pria itu bersifat persuasif? Seperti sekarang, layaknya tengah memberi angin segar kepada Lentera.
Tapi tampaknya, sekarang bukan waktunya membujuk.
"Dengar. Kalau kamu tidak siap, lebih baik lain kali saja, Len. Jangan paksakan diri," terang Devan sekali ucap. Dalam tarikan napas selanjutnya, hal lain diungkapkan lagi. "Saya tidak punya waktu untuk mengurus orang yang shock. Dengan suara tembakan, dengan darah, kamu tahu semua itu akan terjadi."
"Sekarang atau nanti sama saja, Dev," tutur Lentera tertawa getir. Sebab, ia memang tidak memiliki pilihan lain. "Toh cepat atau lambat kita berdua membutuhkan satu sama lain. Kalau kamu kembali hampir merenggang nyawa lagi, kamu pasti butuh saya. Kalau ayah saya dalam bahaya, saya butuh kamu. Dalam hal ini kita sama."
Sama-sama butuh. Sebagai manusia.