Lentera masih mengunci rapat pendapatnya kala mobil dilajukan ke pertigaan di kirinya. Bisa dibilang, ia mengenal tempat ini.
Ini daerah tempatnya dulu bekerja.
Toko-toko yang berjejer di sepanjang jalan lurus ini bukan familiar lagi. Malah, Lentera sudah hafal jajaran harum manis yang menguar dari setiap sela dapur toko minimalis berpadu modern itu.
Yang Lentera heran, untuk apa mereka di sini? Jangan bilang bahwa mereka di sini untuk bersenang-senang dan melupakan hal buruk yang dipikirkan Lentera.
Hampir Lentera mengeluarkan sumringahannya, kalau saja Devan tidak menghancurkan imajinasinya itu. "Di dekat sini. Apa pun yang terjadi, turuti perkataan saya. Kalau saya meminta kamu untuk di samping saya, maka tetap di sana jangan ke mana-mana. Jika kabur, maka kamu harus kabur."
"Devan ... kita beneran ... jadi?"
"Kamu berubah pikiran?" Raut itu lagi. Perubahan setipe yang lelah mendengar kata-kata ababil dari Lentera.
Dan cukup membuatnya kepikiran. Apa ia memang selalu menyulitkan semua orang? "Nggak. Cuman saya nggak kira kalau kita di tempat ramai begini."
Devan bergumam nyaris tak terdengar. Roda kemudi diputar ke kanan, sampai deru mesin mobil benar-benar berhenti. Seatbelt yang tersampir di tubuh Lentera terlebih dulu dilepaskannya. "Jangan keluar sebelum saya keluar."
Tapi malah Lentera melajukan pandangannya, kemudian terdiam tanpa suara lagi. Tak henti-hentinya matanya memelototi seakan tak percaya apa yang dilihatnya sekarang.
Pria itu melirik sekilas padanya. "Sekali kamu melamun, nyawa kamu berada dalam bahaya, Len. Di sini nggak ada waktu untuk kita melamun. Paham?"
"Dev," panggil Lentera kecil. Jari mungilnya menunjuk papan nama besar depan toko yang mereka diami bersama. "Bake Cake?"
"Iya," sahut Devan tanpa dosa. "Kenapa?"
Keduanya saling bersitatap lama tanpa makna. Layaknya mengikuti pertandingan siapa yang berkedip, ia yang kalah.
Perbedaannya, semakin banyak berkedip, kepala Lentera semakin nyeri. Terlalu banyak pertanyaan yang berlalu lalang di dalam kepalanya.
Sakit, sampai tak sengaja tawa canggungnya keluar. "Bercanda, ya?"
"Oke, sekarang kita keluar."
"DEV-"
Klak!
Terlambat. Sisi kanan pintu Devan sudah terbentang lebar, yang mana berarti tak ada kesempatan untuk Lentera menyatakan kebingungannya atas semua ini.
Mau tak mau Lentera segera menyapa udara luar. Surai lembutnya tersibak angin panas. Pelupuknya menyipit mendapati sinar matahari sedang terik-teriknya begini.
Cuaca dan hari yang cocok untuk dinikmati kencan, atau bersantai dengan segelas iced coffee yang menggoda.
Bukan untuk melaksanakan misi seperti ini.
"Hey." Devan melingkarkan lengan kanannya melewati bahu Lentera. "Tunggu, jangan berontak dulu."
Kemudian, sebuah benda berlaras pendek disembunyikan melalui tangan lainnya. Diyakini Lentera bahwa mata kelam itu awas memandang sekitar mereka. "Pegang, sembunyikan di balik rompi kamu. Saya lupa memberikannya di mobil tadi."
"Dev, saya-"
"Tidak ada bantahan," tutur Devan tegas. "Saya butuh kamu untuk hal ini dan kamu tidak bisa kembali lagi. Cepat ambil dan simpan."
Dirasakannya tubuh Devan semakin menghimpit ke arahnya. Berbisik penuh penekanan yang membuat bulu kuduk siapa pun bereaksi. "Satu ...."
Hitungan ke satu saja sudah membuat Lentera bereaksi cepat. Cukup sekali ia mendengarkan suara ancaman itu. Tidak untuk kedua kalinya. Benda itu dirampas, kemudian disembunyikannya sesuai perintah Devan. Sementara itu, tubuh Devan tetap terjaga berhimpit layaknya memeluk.
"Sudah!" Lentera berseru tidak suka. Menengguk sekali salivanya meralat nada bicaranya. "Maaf, sudah. Bisa lepas saya?"
Jauh sekali dari kata melepas. Embusan napas Devan menyapu leher Lentera. "Bersikap seperti milik saya. Orang yang berada di mabuk asmara, Len. Bisa, kan?"
"Hah?" Lentera terperangah lebar, namun juga tak bisa menjauh karena pinggulnya ditahan tangan besar itu. "Devan! Jangan kejauhan!"
"Saya tanya, mengerti?" ulang Devan lebih bengis. "Jawab dan saya akan bersikap biasa saja."
Seharusnya ia bisa membaca situasi ini. Kalau Devan menjadi orang lain kala ia bekerja. Kalau kehangatan dan kelembutan itu sirna. Kalau semua perlakuan Devan kemarin tak berarti menjadi lebih mudah untuknya sekarang.
Tiada lagi Devan yang memanggil ulang untuk memastikan. Bibir lembab itu menyapu kulit leher Lentera. Menyentuhnya selembut mungkin, sampai Lentera menyerah. "Okay, okay! Minggir sekarang."
"Nah." Devan pun demikian cepatnya memisahkan diri. Merangkul pinggang Lentera seraya membubuhi kecupan di kening Lentera. "Saya punya tugas kecil untuk kamu. Saya jelaskan itu setelah di dalam."
***
Tubuhnya kegerahan karena rompi tebal ini. Musim panas begini hanya dirinya yang memakai pakaian aneh. Tidak heran beberapa pasang mata tertuju pada, dengan bisik-bisik yang sama sekali tak mengganggu Lentera.
Ya, Lentera sadar kalau ucapan remeh itu tidak sebanding dengan resikonya bersama senjata api ini. Yang dihadapinya lebih besar dari apa yang dipikirkan mereka semua.
Orang hanya melihat apa yang ingin mereka lihat, bukan?
Buku menu itu membentang lebar di tengah meja melingkar pink. "Kamu yang pesan atau saya yang pesan?"
Lentera susah payah menjaga sinismenya, percuma saja. Pikiran kalutnya tidak bisa dikeluarkan untuk menahan suara pekikan tak percayanya. "Di saat seperti ini kamu masih bisa memikirkan makanan?"
Pria itu selalu memberikan tanggapan yang mengecewakan. "Saya simpulkan kalau saya yang memesan saja. Permisi, saya ingin pesan."
Sejurus kemudian jari itu bergerak lincah membolak-balik halaman buku menu sembari menunjuk empat tipe makanan berbeda. Ucapannya luwes mengucapkan beragam pesanan yang berbeda. Dua makanan dan dua minuman yang tidak sama. "Itu saja, terima kasih."
Berganti tatapan itu berubah. Kesekian kalinya untuk hari ini. "Kamu harus bertingkah seperti biasa, Len. Berbaur seperti mereka. Jangan mengacaukan hari ini."
"Kamu yang mengacaukan hari ini."
Dengan cepat Devan meraih satu tangan Lentera untuk diletakkan di atas pahanya. "Sebenarnya cara bekerja saya bukan dengan berakting. Saya lebih suka semua yang langsung, Len."
"Maksud-"
"Tapi saya tidak bisa menghilangkan sifat perencana saya." Devan membiarkan Lentera mengambil tangannya sendiri. Ia juga merasakan panas tangan itu nyaris terbakar. Maka, biarlah. "Karena itu saya membuat yang baru. Yang melibatkan kamu di dalamnya. Seterusnya juga akan begitu kalau kamu setuju. Kamu, kaki tangan saya."
Pupil Lentera melebar besar. "Jangan bercanda."
"Saya tidak. Kamu, saya, tidak punya waktu untuk bercanda. Hubungan kita tidak terbentuk secara normal, Len. Dan saya tidak suka menyia-nyiakan waktu untuk menjadi normal," jelas Devan ringkas.
Makanan harum itu merasuk indra penciuman Lentera. Empat makanan manis mereka tersaji selagi waitress menyebutkan nama makanan mereka. "Blueberry cake, vanilla eclair, strawberry smoothies, juga cookies and cream milkshake. Semua sudah, ya?"
"Terima kasih." Sebelah alis Devan terangkat. "Dimakan, Sayang."
Bibir Lentera merapat kencang sampai memutih. Ia tidak bisa tergabung dalam hal ini lebih lama lagi. Perutnya bergejolak. "Saya ke toilet dulu."
"Ah, sekalian kalau begitu." Devan mengukir senyum pelitnya. "Bawa atasan kamu keluar. Saya tunggu di luar."