Gelitik menguasai pinggang Lentera yang direngkuh Devan. Ia tahu makna rengkuhan Devan, takut jika ia terjatuh atau apa ..., tapi memangnya harus seperti ini, ya?
Risi, alih-alih terlindungi yang dirinya rasakan. Berkali-kali berusaha rangkulan dekat itu dilepasnya, Devan tetap keras kepala. Akhirnya bertengger lagi di pinggang kanannya selagi menyeret tiang infus itu melaju di sampingnya.
Keduanya berhenti tepat di ujung lain dari rumah. Bergeraknya jari Devan diikuti Lentera. "Di sana perpustakaan, yang mana juga ruang kerja saya. Kalau kamu mau mencari saya, cari di sana. Saya paling sering ada di sana."
Pintu itu berukir sepasang burung merak yang berhadapan. Tak ada warna lain selain warna asli dari kayunya. Corak yang indah. Tanpa sadar ukiran itu sudah mengundang tangan Lentera untuk menelusurinya.
Benar-benar penggoda. Kayu gelap, tua, namun berkualitas. "Cantik."
Devan mengumbarkan senyum tulusnya. "Suka merak?"
Lentera menggeleng tipis. "Saya belum pernah lihat merak. Juga ..., ukiran seperti ini. Ini terlalu cantik."
Burung merak memang suka memamerkan pesonanya. Dan setidaknya, hal itu berhasil walau hanya melihat ukiran ekornya yang melebar sombong. Berhasil membuat Lentera terpesona untuk menghabiskan waktu yang cukup lama di sini.
"Saya tidak mengira kamu akan menyukai pintunya tanpa melihat isi di dalamnya." Devan tampak meredakan tawanya yang membuncah, kemudian membentangkan daun pintu itu. Isi di dalamnya yang ingin ditunjukkan pada Lentera. "Bagaimana?"
Di dalamnya lebih menakjubkan lagi. Definisi tua berkelas yang modern. Perabotan jadul tertata di beberapa sisinya, tapi justru hal itu yang menambah keestetikan ruangan ini.
"Kamu punya ekspresi yang jujur, ya." Devan menggiring Lentera membelah udara hangat di ruangan itu. Ruangan yang seringnya menjadi tempat privasinya, kini ia buka untuk Lentera. "Mau di sini, atau mau saya ajak ke tempat lainnya?"
Mutahil kalau di tempat sebesar ini hanya ada dua ruangan. Pasti ada banyak ruangan lainnya dengan fungsinya masing-masing.
Tapi satu saja sudah membuat kepala Lentera pening bukan main. Ruangan lainnya pasti lebih mengejutkan dari ini.
Semua dari Devan membuatnya tidak siap. "Kamu keberatan kalau saya mau di sini?"
"Nggak," sahut Devan ringan. Kembali menuntun Lentera di sofa panjang agar Lentera nyaman. "Saya ambilkan makanan dulu untuk kamu. Sebentar."
"Langsung saja."
Devan berhenti melangkah. Kepalanya berpaling separuh keheranan dengan perkataan Lentera barusan. "Maksud kamu?"
"Maksud tertentu kamu bawa saya ke sini, Dev." Lentera mengembus tipis. Pilihan yang buruk membicarakan masalah berat sebelum ia mendapatkan asupan gizi yang sebenarnya. Tangannya sedikit bergetar, yang disembunyikan ke dalam kantung bajunya. "Saya nggak mau kamu mengulur waktu. Secepatnya."
"Kamu tahu?"
"Nggak juga." Pandangannya dijatuhkan pada ujung jarinya yang saling bersentuhan. "Saya menebak, dan ternyata benar. Kamu ada maksud tertentu."
"Dan kamu kecewa, karena ternyata kamu benar." Pria itu ikut-ikutan mengembuskan napasnya, seolah lelah. Juga, membenarkan kalau siapa pun akan merasakan demikian kalau kecewa. "Maaf."
Satu yang ada di pikiran Lentera. Untuk apa minta maaf kalau akhirnya Devan akan mengatur semuanya sesuai kemauannya? "Dipercepat saja."
Tempat duduk berhadapan dari Lentera ditempati Devan. Jaket hijaunya disampirkan ke belakang sofa, begitu pula punggungnya yang beristirahat di sandaran sofa.
Kelopak matanya menurun bertahap. Aroma ruangan ini tidak berubah, tapi dalam sekejap mata Lentera sudah bisa mengubah atmosfernya.
Mengubah suasana hati Devan menjadi memburuk. Tatanan kata yang dipersiapkannya hancur lebur. Yang tersisa hanyalah kejujuran agar Lentera tahu maksud Devan yang sebenarnya. "Saya mau kamu menjadi bagian dari saya, Len."
Lentera tertunduk semakin dalam. Melukai, membunuh, atau kabur, pilihan mana yang bisa ia ambil dengan resiko paling sedikit?
"Kamu tahu pekerjaan saya buruk. Saya melukai, resiko saya dilukai semakin besar. Musuh saya semakin banyak. Setiap saat, nyawa saya bisa terancam kapan saja. Karena itu ..., saya butuh kamu di sisi saya sebagai teman ..., yang mana ...."
"Yang mana bisa kamu manfaatkan," lanjut Lentera mantap. Kepalanya menengadah tanpa sopan santun. "Manusia tidak pernah puas, ya? Kamu meminta saya membantu pekerjaan kotor kamu?"
"Lebih tepatnya menjadi sekutu, Len," terang Devan tanpa keraguan. "Kamu membantu saya, saya pastikan kamu mendapat imbalan yang setimpal. Salah satunya tinggal di sini, uang yang jumlahnya lebih banyak dari pekerjaan biasa mana pun, kehidupan kamu juga dijamin aman. Apa yang kamu butuhkan lagi?"
"Yang saya butuhkan adalah saya tidak menggunakan kekuatan ini, Devan!" sentak Lentera murka. "Di saat kamu sudah mendengar kemauan saya, kamu memilih mengabaikannya. Kamu juga bilang tidak akan membuat saya celaka. Nyatanya dengan pekerjaan ini saya lebih beresiko, Dev! Kamu sendiri yang menempatkan diri saya dalam bahaya!"
Dibiarkannya Lentera kembali tenang dari napas naik turunnya menjadi konstan. Tak butuh waktu lama, karena Devan sudah berbicara lagi. "Lalu apa kembali ke masyarakat kamu akan diterima, Len?"
"Apa?"
"Apa kamu akan diterima oleh masyarakat lainnya?" tanya Devan tajam. "Selain saya yang memberikan kamu imbalan, apa ayah kamu akan memberikan hal yang sama?"
"Jangan bawa ayah saya ke dalam pembicaraan ini!"
"Saya harus!" Devan berseru tegas. Rahangnya mengetat dan berurat. Devan serius bahwa ia harus membawanya ke sini. "Satu, saya tidak pernah memanfaatkan perempuan. Saya akan selalu memberikan timbal balik yang sesuai. Itu kenapa saya tidak bilang bahwa saya memanfaatkan. Untuk saya, memanfaatkan hanya ketika salah satu pihak timpang. Mengerti?"
Dan sekarang Devan menjadi seperti orang lain. Pembawaannya yang tenang itu, tampak sekali muskil mengeluarkan amarah sedemikian rupa.
Dia tidak seperti dirinya sendiri.
Selanjutnya diisi dengan dengkusan kasar Devan karena Lentera terbelalak ngeri. "Maaf. Saya hanya tidak suka ketika ada orang yang memanfaatkan orang lain. Itu tindakan pengecut, untuk saya. Terserah kamu mau berpikir apa tentang saya. Saya sudah mengutarakan semua yang saya inginkan. Kalau kamu keberatan saya berada di sini, saya juga akan pergi. Dua hari, itu waktu kamu untuk berpikir."
"Dev ...," panggil Lentera kecil. "Apa ... yang terjadi pada saya kalau saya menolak?"
"Kembali ke ayah kamu, kalau itu yang kamu mau." Devan berkata kembali datar. Terselip perkataan ketusnya di dalamnya.
"Apa yang saya dapatkan kalau saya menerimanya?"
Devan tersenyum sinis. "Kamu masih peduli dengan ayah kamu, ya? Walaupun kamu hampir dihabisinya? Hampir jadi budaknya?"
Separuh mulutnya terbuka. Namun, suaranya tercekat di ujung lidah. Berakhir Lentera mengatupkan lagi, melipat bibirnya ke dalam. "Hanya saya yang dia punya, Dev. Ibu saya sudah meninggal. Saya adalah anaknya, saya harus apa memangnya?"
Bahu Devan terangkat tak acuh. "Membunuhnya kalau itu memang yang kamu mau." Menyumpal perkataan protes dari Lentera, jawaban lebih baik dikeluarkannya. Bukan untuk menenangkan saja, melainkan turun sebagai sebuah janji. "Atau mengurusnya tanpa kamu turun tangan. Kamu bisa tenang."