"Pa ... Papa ... PAPA!"
Teriakan itu disusul batuk kencang akan sensasi sakit dan gatal di lehernya.
Ini pertama kalinya Lentera sanggup terbangun setelah pingsan yang diyakininya selama berhari-hari. Entahlah detail pastinya. Yang jelas, Lentera seakan dipaksa bangun untuk berteriak sekencang itu.
Kamar bernuansa vintage ini yang menguasai pandangannya pertama kali.
Apa dia berhasil menelepon Devan sebelum semuanya menggelap?
Ia tidak mengingat apa yang terjadi. Isi kepalanya kosong. Seakan kejadian kemarin hanyalah mimpi belaka.
Andaikan semua bisa semudah itu. Lentera menyadari dari rangkanya yang tak bergerak sebagaimana mestinya, bahwa kemarin memang terjadi sesuatu.
Dan semua itu sudah di luar kendalinya kalau ia sudah jatuh ke dalam kegelapan.
Jarum infus di sikunya dikeluarkan paksa. Mengucurkan dengan sedikit erangan yang tak dipedulikan Lentera. Racauan yang sama terus diulangi berkali-kali layaknya kaset rusak. "Papa ... Papa ...."
Langkahnya terseret-seret dalam setiap pengambilannya. Kelumpuhan yang dialaminya tak dipedulikan lagi. Sekalipun harus merangkak, ia harus kembali ke rumahnya.
Ke tempat di mana ayahnya berada. Bagaimana kalau Devan membunuhnya?
Bruk!
"Hei, hei!" Sigapnya ketangkasannya patut diacungkan jempol. Keda tangannya menopang siku Lentera sebelum jatuh tersungkur kala bertabrakan dengan bahu tegapnya. "Mau ke mana? Sebelum saya memastikan kondisi kamu baik-baik saja, kamu belum diizinkan keluar oleh Devan."
Rona kosong matanya bergulir naik, menatap penuh permohonan menyelip ke dalam setiap kerjapan mata Nanda. "Tolong saya."
"Hm?"
"Tolong saya!" sentak Lentera serak. Sekali lagi berdeham meredakan nyeri yang semakin menjadi. "Tolong saya ..., Nanda. Saya tidak mau berada di sini. Tolong bawa saya kabur?"
"Tapi kenapa?" Nanda bertanya menyelidik. "Devan yang membawa kamu ke sini. Dia menyelamatkan kamu. Kenapa kamu mau kabur?"
Lentera tak bisa mengatakan lebih banyak. Kali ini tenggorokannya tercekat dengan sensasi terbakarnya. Terbatuk seakan ingin mengeluarkan sesuatu, tapi hasilnya ia malah meluruh ke lantai. "Tolong ...."
"Len?"
Pemanggil namanya itu dihadiahi tatapan membunuh oleh Lentera. Bibirnya terbuka hendak berteriak, namun yang keluar dari mulutnya hanyalah sayup-sayup tertiup angin. Tapi gesture-nya tak gagal membentuk kata demi kata mematikan. "Di mana ayah saya?"
Devan diam sejenak, dilanjutkan aksinya meraup tubuh kurus itu mudah ke dalam gendongannya. Tak peduli Lentera yang meronta, terus saja Devan melanjutkan langkahnya dalam kata-katanya yang tak berarti banyak. "Kamu lelah sendiri nanti."
"Lepas-hk!"
Pria itu memang tidak berhenti untuk sekadar mendengarkan atau menanggapi. Tapi, dari caranya mengeratkan rengkuhannya menyatakan kepeduliannya.
Hanya saja Devan tidak bisa meladeni orang yang histeris ini sekarang. Tidak untuk sekarang. "Nan, tolong ambilin air untuk Lentera."
"Nanda ...," panggil Lentera melirih disertai tangisnya yang timbul lagi. "Bantu saya ...."
"Nan." Kali ini Devan yang bersuara tegas penuh wibawa. "Tolong lakuin apa yang saya minta. Sekarang."
Nanda sempat melirik keduanya kebingungan. Permintaan mereka berdua tidak sejalan. Berlawanan arah, pun bertubrukan.
Namun, Nanda tetap menuruti perintah Devan untuk menuangkan segelas air untuk wanita yang menggeleng lemah. Benar kata Devan, tenaganya sudah terkuras setelah berteriak dan berjalan tadi. "Dev."
Devan mengangguk sekilas. Gelas air itu diantarkan pada Lentera yang masih berbaring memalingkan wajahnya. "Len, minum dulu."
Sesegukkan Lentera kian menjadi-jadi. Suara parau itu keluar dengan cara yang menyakitkan. "Saya mau pulang ... kenapa kamu bawa saya ke sini lagi?"
"Di sana tidak aman, Len," jawab Devan pelan. "Minum, Len."
"Saya mau pulang!" Lentera menyentak sekali lagi tangan Devan yang terulur kepadanya. Menyorot penuh kemurkaan berisi kematian.
Kalau saja tidak ada Nanda di sini, Devan pasti hancur lebur akibat amukannya. Panas yang menggelora ini entah kapan surutnya. Rintik hujan di pelupuknya tidak tahu kapan bisa berhenti.
Devan menyelamatkannya, itu sudah pasti. Ia yang berusaha menghubungi kontak Devan, tapi setelah ia berhasil menghubungi dan Devan menyelamatkannya, ia malah berusaha untuk kabur.
Lentera itu kurang ajar. Sangat jelas ia kurang ajar.
"Len." Devan melapisi tangan berselimut hangat Lentera. "Minum dulu."
"Devan bener, Lentera," timpal Nanda mengerling datar pada Devan. Namun, tak urung memberi keyakinan pada tepukannya di pundak Devan. "Kalau ada yang mau dibicarakan, kamu harus minum dulu. Suara kamu habis kalau kamu nangis tanpa alasan."
Sekian menit berjalan nyaris tanpa hasil. Baik Devan dan Nanda kembali lagi dalam kebisuannya. Mereka hampir menyerah jika saja Lentera tidak tiba-tiba menimbulkan gemerisik yang mengganggu.
Mulut Nanda terkatup lagi memperhatikan pergerakan acak Lentera, sampai ketika wanita itu membalik tubuhnya yang berselimutkan peluh cukup banyak.
Antara ruangan ini yang tidak dingin, atau Lentera yang di ambang batas kesadarannya. "Minum."
Devan tersenyum kecil. Tidak tahu apa yang ada di pikirannya, tapi kelakuannya menyatakan ketulusannya membantu Lentera. Teguk demi teguk yang dihabiskan Lentera memberikan kecerahan di wajah Devan.
Tapi tak banyak yang menyadari. Beberapa di antaranya adalah Nanda dan Lentera. Mereka berdua tidak sadar pada perubahan yang terjadi.
"Sudah?" tanya Devan begitu gelas kedua tandas juga. Ibu jarinya bergerak menyapu air yang turun ke dagu Lentera. "Mau lagi?"
Lentera menggeleng. Suasana hatinya tak bisa dibilang baik, tapi juga tidak seburuk tadi. Ini jauh lebih baik. Emosinya sudah bisa dikepalnya di telapak tangan.
Dibilang aman terkendali ..., juga tidak terlalu. "Saya mau bicara sekarang."
"Tidak." Sunggingan mencurigakan itu timbul lagi. Ujung benda hangat menyelimuti hingga batas leher Lentera. Sekali Devan menepuknya perlahan. "Sekarang kamu tidur."
"Tapi kamu berjanji."
"Saya tidak bilang setelah kamu minum, Len. Saya berjanji akan mendengarkannya setelah kondisi kamu membaik ..., dan setelah kamu tidur."
Ratapannya bergulir pada Nanda. "Kalau ada apa-apa pada dia, kabari saya. Saya ada sedikit urusan di luar."
"Saya pikir semuanya sudah selesai tadi?" Nanda menelengkan kepalanya kikuk. "Atau belum?"
"Sudah, tapi saya pikir saya harus cari aktivitas lain karena Lentera belum mau bertemu dengan saya untuk beberapa hari," cetus Devan menguraikan nada candanya.
Dalam kedataran. Pria itu sama sekali tidak bisa bercanda dengan tertawa atau tersenyum lebar. "Tolong, ya."
"Saya belum bilang apa pun." Lentera akhirnya buka suara selang beberapa ucapan Devan yang melantur. Atau malah dirinya yang berbicara acak adul? "Saya juga belum bilang ... mau tidur."
Tapi kantuknya merayap sekarang. Sekelilingnya terasa lebih ringan dari yang seharusnya. Bobotnya berkurang drastis. Lentera merasa ... ingin mendapatkan mimpi yang indah.
"Well, sekarang kamu mau." Devan menduduki lagi kursi kosongnya. Hangatnya telapak tangan besar itu hinggap di kelopak mata Lentera. "Saya akan mengunjungi kamu lagi saat kamu bangun."
"Kamu ... kasih saya obat bius?" Terselip ketidakpercayaan besar di dalam kalimatnya yang mengambang. "Kejam. Padahal ... saya mau berbicara banyak. Kamu sengaja."
Devan menyungging simpul. Tidak berkata-kata lagi sebab tahu apa pun yang dikatakannya tak akan diterima baik. Ya ..., untuk sekarang. "Tidurlah. Saat bangun nanti kamu akan merasa lebih baik."