Ringisan Devan dibalas kerjapan mata tak paham Lentera. Barulah kemudian Lentera menyadarinya.
Ini kedua kalinya Lentera menyakiti Devan. "S-sorry ... saya nggak sengaja ...." Beberapa detik lagi Lentera tak melepaskan tangan Devan, bisa dipastikan tulang jemarinya remuk tak berdaya. "S-saya beneran ... nggak sadar. Maaf ...."
Penampilan Devan jauh dari kata baik. Rautnya terus mengerut dengan bibir yang mengeluarkan celah desisan nyeri. Dadanya naik turun meraup oksigen demi meredakan sakit di tangannya.
Walaupun Lentera tahu Devan tak akan bisa. Sakit itu ada di bawah kulitnya. Tak terjangkau oleh manusia biasa seperti Devan.
Namun anehnya, Devan tidak bersedia menyampaikan perpisahan pada telapak tangan yang meremukkannya ini. Malah mempersempit jarak hingga Lentera terdesak antara Devan dan tembok di belakangnya.
"Jangan ... berpikir kabur lagi," desis Devan penuh peringatan. "Sekarang kamu berhutang sama saya. Kamu nggak berpikir mau kabur dari tanggung jawab kamu, 'kan?"
"Devan-"
Detak kencang Devan sampai terasa ke dirinya. Pasti sangat sakit bertubi-tubi menerima kecelakaan sengaja yang diciptakan Lentera.
Walau tak sampai membunuh, tapi menyiksa juga tak kalah sakit. Hanya orang aneh seperti Devan yang masih mau menerima dan menahannya di sini. Alasannya ... apa?
Napas mendalam diambil Lentera. Padahal ia sudah bilang kemarin ada yang terakhir, nyatanya ia yang tak bisa menepati ikrarnya terhadap diri sendiri.
Apa boleh buat? Ia yang menciptakan, ia juga yang bisa memperbaiki.
Mulutnya terbuka separuh. Kini ia berbisik, tak berbicara terang-terangan layaknya awal pertemuan mereka. Pandangannya berubah menghitam, sementara dapat ia rasakan tangannya memanas. Menyalurkan kedua kalinya kekuatannya kepada Devan.
"Lentera ... jangan," larang Devan terlanjur lemah. Sakit di tangannya bertambah, tapi tak urung ia merasakan ada yang bergerak di bawah kulitnya.
Itu yang masih mengherankan. Bagaimana bisa? "Len ... tera. Kamu pingsan lagi nanti."
Tapi tak ada yang bisa mengganggu Lentera kala proses itu dimulai. Bahkan gangguan sebesar apa pun tidak bisa menghentikan Lentera.
Ucapan ucapan aneh di telinga Devan tak berhenti dikeluarkannya. Satu demi satu kalimat berupa pengulangan, yang diketahui Devan lain dari bahasa yang pernah didengarnya.
Hingga akhirnya Devan bisa mengembus napas lega karena tangannya sudah bisa dirasakan lagi, Lentera sudah jatuh tak berdaya ke pelukan Devan.
***
"Kamu aneh."
Kalimat pertama itu yang bisa terserap ke dalam otaknya. Bukan ucapan terima kasih setelah menyelamatkan orang itu.
Namun saat Lentera meluaskan pandangnya, yang ia tangkap bukan Devan, melainkan Nanda. Orang yang merawatnya dua belakangan. Lengkap dengan jas putih yang membalut tubuhnya lagi. Oh, kini ada kacamata persegi yang menghiasi matanya.
Menambah kesan manis oriental padanya. Menarik.
Nanda mengempaskan lagi tubuhnya di kursi yang setia menemani samping kasur Lentera. "Sampai kemarin kamu sudah baik-baik saja. Kamu bahkan sudah boleh dipulangkan, kalau Devan mengizinkan. Tapi hari ini kamu kurang gizi lagi, dehidrasi lagi, kelelahan."
"Devan bilang apa?" Lentera berdeham kecil menyadari suaranya pecah. "Dia bilang apa tentang saya?"
"Katanya kamu jatuh di halaman depan," dengus Nanda sedikit tidak mempercayai apa yang didengarkannya. "Peduli apa kamu tentang apa yang dia pikirkan?"
"Saya cuman takut merepotkan," cetus Lentera susah payah. "Bisa tolong ambilkan minum? Saya haus."
Nanda langsung memenuhi permintaan Lentera walaupun terlihat sedikit keheranan di dalamnya. Kondisi Lentera yang layaknya roller coaster pasti aneh untuknya. Sudah pasti. Karena ia jauh dari kata malaikat, tapi juga tidak bisa dibilang iblis.
"Sepertinya keputusan Devan menahan kamu di sini tepat. Kamu terlalu lemah untuk pergi-pergi. Walaupun saya belum tahu alasan yang cocok untuk kondisi kamu, yang jelas kamu sering drop tiba-tiba." Nanda mengulurkan gelas bening berisi air putih yang dipinta Lentera. "Bisa pegang?"
Lentera ingin sekali meraih gelas itu sendiri. Tapi untuk bersandar saja ia butuh bantuan. Setiap kali bangun sehabis ambruk, kejadiannya selalu sama. Otot-ototnya serasa berurai menjauh. Tak memiliki tenaga sama sekali. "Tolong."
Pria itu tanpa berkata memegang tengkuk belakang Lentera. Duduk di tepian sembari mengulurkan lambat-lambat air mengaliri tenggorokan kering Lentera.
"Lentera giman-"
Fokus dua orang itu berubah arah. Tertuju seorang pada Devan yang melirik keduanya bingung. Kalau Lentera tidak salah baca. Ditambah juga kikuk?
"Dia susah untuk minum," jawab Nanda datar. "Saya yang bantu."
Devan tentu saja mengangguk dalam diam. Kali ini ia tidak datang dalam keadaan tangan kosong. Kantung kertas cokelat yang sama persis seperti kemarin dibawanya ke ruangan ini. Ranum makanan mengingatkannya kalau ia belum menyantap makanan apa pun.
Ia kelaparan, dan kebetulan saja Devan membawa makanan. Pun, pria itu sepertinya tahu apa yang dipikirkan Lentera. Kantung itu tergeletak di atas selimut tebal Lentera. "Untuk kamu. Saya pikir kamu bosan makan di sini."
"Saya bahkan baru bangun." Lentera menolak halus kala Nanda ingin menawarkan air lagi. "Berapa lama?"
"Satu hari," celetuk Nanda mendahului bibir terbuka Devan. "Buat saya mana?"
"Kamu bukan bekerja di sini saja, Nan." Devan menaikkan alisnya seakan menantang. "Lagipula satu jam yang lalu kamu sudah makan. Kamu mau ambil bagian saya dan Lentera?"
Kerutan tercipta di kening Lentera. Mereka berdua ini kenapa? Bukannya sebelumnya berlagak baik-baik saja saat Lentera pura-pura tertidur?
Atau mereka berdua memang begini hanya saja Lentera belum tahu? "Nanda, saya sudah baik-baik saja. Kalau kamu terdesak untuk pergi, saya nggak mempermasalahkan itu. Ada Devan juga."
Sepersekian detik Nanda dikuasai kesenyapan. Sampai ketika Nanda berucap, seulas senyum terbit. "Oke. Kalau ada apa-apa sama dia, kasih tahu saya Devan. Saya pamit dulu, Lentera. Selamat beristirahat."
Lentera ikut menganggukan lehernya yang kaku setengah mati. Demi kesopanan. "Hati-hati di jalan."
Devan terus menelisik Lentera sepeninggalan Nanda. Membuatnya risi juga tidak nyaman, terus mengalihkan pandang dari mana saja asalkan bukan kepada Devan.
Ingin bertanya, tapi yang jelas akan terjadi perdebatan. Lentera sudah mencium persengitan dari kejauhan beberapa senti. Devan jelas tak menyukai interaksi mereka berdua. Tapi kenapa?
"Jangan terlalu dekat dengan dia," usul Devan santai. Menata meja lipat kecil itu dikasur Lentera dengan baik. Bergerak seolah itu adalah saran yang sepele. "Dia teman saya, tapi bukan berarti dia baik."
"Maksud kamu?" tanya Lentera yang tak segera mendapat balasan.
Sebuah kotak makan dikeluarkan Devan di atas meja. Dibuka pula tutupnya yang menguarkan aroma mentega pekat dan manis. Perut Lentera siap tak siap meronta lebih keras lagi.
"Kamu lapar," sahut Devan tak nyambung. Menebarkan senyum menawannya yang memikat lagi dan lagi. "Bisa makan sendiri?"
"Bisa." Tergesa, Lentera menjawabnya sedikit ketus. Matanya mendelik serius pada Devan. "Kamu mau makan sama saya?"
Lengkungan bibir Devan masih menolak pergi. "Kamu bohong, dan iya, saya mau makan sama kamu."