"Kami nggak ajak saya masuk ke dalam?"
Detik itu juga Lentera mendelik tajam pada orang yang nampak kontras dengan kisaran bangunan di sini. Terlihat nyata bahwa level Devan jauh di atasnya.
Tapi jika semua itu hasil membunuh, untuk apa? Sia-sia saja. Lebih baik Lentera hidup seadanya ketimbang terikat dengan orang seperti Devan. Orang yang paling dibencinya di dunia. Memiliki pilihan untuk tidak melukai tapi melukai. Berbeda seratus delapan puluh derajat darinya.
"Tidak?" tanya Devan kala beberapa detik angin mengisi percakapan satu arah ini. "Saya pikir saya harus memastikan kamu baik-baik saja sebelum saya pergi."
"Kamu bukannya sudah pernah ke sini?" Sisa keberaniannya digunakan habis. Menatap dalam-dalam untuk yang terakhir kalinya sebelum hubungan mereka terputus.
"Kamu juga dengar bagian itu." Devan menyunggingkan senyumnya yang pelit itu lagi. "Saya ke sini tapi saya tidak menerobos masuk ke tempat tinggal kamu. Tenang saja."
"Tenang setelah kamu mencari tahu alamat saya?"
"ID kamu tertera alamat rumah kamu, Lentera. Jangan salah sangka," ungkap Devan memotong kecurigaan di benak Lentera. "Apa pun yang kamu pikirkan tentang saya adalah salah."
Bagian mana yang salah?
Ingin sekali Lentera mengeluarkannya namun sekali lagi harus ditahannya rapat-rapat. Setelah apa yang dikatakan Devan, sekali salah bicara atau membuatnya kesal, Devan bisa jadi orang yang mudah melukai. Entahlah.
Sekali orang tidak merasa keberatan untuk melukai, selamanya akan mudah menodongkan senjata. Hukumnya sedari dulu sama baik kejahatan atau kebaikan. "Lebih baik kamu pulang."
"Sungguh?"
"Ya."
Devan kehilangan kata. Sama sekali tak mengira ada penegasan di ujung kalimat Lentera.
Rupanya pernyataan Devan mempengaruhi lebih banyak dari yang ia kira sebelumnya. Malah, sebagian besar keputusan mutlak Lentera tak akan berubah lagi. "Len, boleh saya memanggil kamu begitu?"
"Untuk apa?"
"Hanya ingin." Pria itu mendekat lembut. Hanya satu langkah lebih dekat walaupun jarak mereka lebih dari satu meter. "Len, dengar. Saya tidak melukai anak-anak dan perempuan. Begitu ada orang yang meminta saya melakukannya tapi termasuk kedua kategori itu, saya selalu menolaknya."
"Orang tua?"
"Itu saya mengkategorikannya sendiri. Hanya yang benar-benar tidak sanggup melawan saja. Saya tidak mematok umur untuk- Len!"
Lentera melengos pergi tanpa mendengar kelanjutan dari ucapan Devan. Dia sadar bahwa ia yang bertanya, pun sekarang tindakannya kurang sopan.
Tapi terserahlah. Semakin mendengarkan telinga Lentera terasa semakin geli. Kategori apalah itu, persetan.
"Len!" Devan berhasil menyentak Lentera berhenti tepat sebelum ia naik lift. Agaknya tak memaksa Lentera untuk berbalik menghadapnya. "Itu pekerjaan! Bukan untuk kesenangan!"
"Nggak ada bedanya untuk saya, Dev." Tanpa sadar panggilan singkat juga sudah ditetapkan Lentera sambil menepis cengkraman pelan Devan. "Saya berusaha menyembuhkan, kamu berusaha membunuh. Saya sudah bilang saya tidak peduli terhadap kamu. Kenapa kamu masih susah payah menjelaskan pada saya?"
"Saya nggak mau kamu punya pandangan buruk ke saya," jelas Devan hati-hati. "Len, tolong dengarkan saya."
"Mungkin sebaiknya kamu saya tinggalkan di gang waktu itu sebelum menghilangkan lebih banyak nyawa lagi," ujar Lentera membalik tubuhnya ringkas.
Dapat dirasakannya bahwa cekalan Devan mengendur. Kata-kata itu menusuk, Lentera tahu itu.
Tapi kalau ini adalah cara termudah untuk mengusir Devan dari kawasan ini, kawasan tempat tinggalnya, apa boleh buat? Hanya satu yang ada di pikirannya, pergi dari Devan secepatnya.
Ting!
Denting lift menyatakan bahwa lift itu sudah sampai di lantainya. Tanpa menunggu jawaban Devan, Lentera menjejak masuk kala pintu besi itu terbelah dua.
Sebagian orang melirik ngeri ke belakangnya. Tepat ke belakang Lentera yang mana di sana ada Devan.
Rupanya hanya ia orang bodoh yang tidak mengenali Devan.
"Kalau butuh bantuan, nomor saya sudah tersimpan di dalam ponsel kamu," kata Devan sebelum berbalik pergi. Menyempatkan diri untuk menoleh separuh wajah dengan raut yang tak lagi tersenyum. "Jaga diri. Saya pergi."
***
Devan Gaswari.
Pria itu benar-benar mengorek isi ponselnya demi menaruh nomor teleponnya di sini. Di ponsel lusuh yang beberapa bagiannya tak lagi sempurna.
Dari tiga kontak yang tersedia, salah satunya sudah diisi oleh Devan. Yang jelas tak akan lagi ia menghubungi Devan.
Kontak itu ditekannya cukup lama. Beberapa pilihan menutupi kontak itu. Salah satunya pilihan menghapus.
Ibu jari Lentera masih melayang di udara kala cerek air panasnya menjerit memanggil dirinya.
Ponsel itu digeletakkannya ringan di atas meja bundar tempat makannya. Mendesah cukup kuat karena kini ia mendapatkan distraksi yang menyelamatkan kontak itu tetap berada di ponselnya.
Diliriknya sinis kontak yang mengambang melayang itu. "Kamu selamat kali ini, tapi bisa jadi tidak selamat setelah makan."
Tok! Tok!
Cerek itu masih berbunyi kencang. Meminta perhatian. Tapi begitu juga orang di balik pintu yang tak mengatakan identitas dirinya.
Lentera bergerak ke mana kakinya membawanya pergi. Menuju ke pintu kayu mengabaikan tiupan nyaring air matangnya itu. "Siapa?"
Sunyi senyap. Kala Lentera mendekatkan telinganya ke ambang pintu, ketukan itu terdengar memprotes lebih dari yang pertama kali.
"Siapa?" ulang Lentera kesal. "Siapa di sana?"
Masih saja hening. Mungkin itu Devan yang tak ingin melepaskan orang sepertinya.
Klak!
"Saya sudah bilang kalau saya tidak mau bertemu kam-"
"Lentera."
Dalam setiap bagian tubuhnya tak ada yang bisa digerakkan. Ia mati dalam beku. Tak dapat bergeming untuk menampilkan reaksi yang diinginkannya.
"Lentera Kanaya, anak papa," panggilnya terdengar lirih. "Sayang, tolong jangan sembunyi lagi dari Papa. Hanya kamu yang Papa miliki."
Spontan satu langkah mundur diambilnya waswas. Wajah renta yang kelihatan jauh lebih tua dibandingkan umurnya akibat alkohol. Bagian bibirnya yang terlihat hitam karena rokok, juga andil benda terlarang lainnya.
Kepalanya berputar seketika tanpa harus menyembuhkan orang lain. Hampir terhuyung kalau saja ia tak sigap memegang dinding kirinya. "Papa kenapa ... ada di sini? Uang yang Lentera kirim belum cukup?"
"Sayang-"
Usaha ayah Lentera untuk menggapai bahu anaknya digagalkan. Gadis itu lebih cerdik untuk menyempitkan jarak antar pintu dan dindingnya. Tak akan ia biarkan cerita lama berulang kembali. "Papa tahu dari mana alamat Lentera?"
"Papa cari tahu sendiri Sayang."
Tangan tua yang terjulur ke depannya akan diapit Lentera kalau saja pria paruh baya itu tak menariknya kembali. "Bohong."
"Bohong dari mana, Sayang?" tanyanya penuh kegetiran.
"Untuk jalan saja Papa mustahil," ujar Lentera bergetar. Matanya mengabur parah menahan sesak tangisnya sendiri. "Cari tahu? Papa cari tahu sendiri?"
"Len-"
"Jangan masuk!" Dua tetes air mata langsung terjatuh membasahi pipi tembamnya. "Jangan beraninya Papa masuk ke sini. Jangan manfaatin Lentera lagi untuk kesenangan Papa sendiri. Lentera tidak bersedia lagi. Untuk sekarang dan sampai kapan pun itu."