Chereads / Not a Gift / Chapter 2 - Tanggung Jawab

Chapter 2 - Tanggung Jawab

"Pria itu ...." Lentera mencicit getar. Setelah berurusan dengan Devan, adalagi pria berjas putih yang mengurusnya. Katanya tanggung jawab, tapi malah kebutuhan Lentera dialihtangankan pada pria ini.

Inilah mengapa ia meragukan Devan tadi. Pasti pria itu memiliki sedikit banyak urusan-padahal itu adalah alasan saja.

Dari orang terjujur sekalipun, sedikitnya pasti memiliki hal yang patut dicurigai. "Devan Gas ...."

"Gaswari." Pria itu menimpali ujaran Lentera lembut. Kantung infus kedua digantung ke tiang infus di sebelah kasur Lentera. "Devan Gaswari namanya. Kenapa?"

"Dia ke mana?"

"Ada urusan."

Sudah ia duga sebelumnya. Kenapa ia menelan mentah-mentah apa yang disodorkan Devan begitu saja? "Ke mana?"

"Keluar," jawabnya kalem. Lebih damai kala dia yang menjawab ketimbang Devan. "Saya dengar dari Devan kalau kamu bukan berasal dari daerah sini. Kamu pasti belum kenal daerah sini. Untuk apa tanya?"

"Urusan saya dan Devan," sahut Lentera agak ketus. Jujurnya ia tidak suka orang lain mencampuri urusan pribadinya. "Dia ada bilang kapan saya bisa keluar dari sini?"

"Tiga hari dari sekarang." Pria itu mendengus lebih lelah. Pudar sudah kelembutannya mendengar banyak pertanyaan dan keketusan yang tak semestinya. Bangku di sebelah Lentera berganti dari Devan menjadi dirinya. "Nanda Aberio nama saya. Saya teman Devan yang ditugaskan untuk membantu kamu menjawab semua kebingungan kamu sekarang."

"Termasuk ...." Pangkal lidahnya terasa pahit. Jangan bilang Devan menceritakannya kepada orang lain?

"Termasuk ...?" ulang Nanda tak mengerti.

"Bagaimana cara saya bertemu dengan Devan?" tanya Lentera lebih ke arah pertanyaan retorik. "Dia cerita tentang apa saja?"

Kini Nanda bereaksi lebih rileks. Punggungnya bersandar ke belakang sandaran, sementara salah satu kakunya ditumpangkan di atas kaki lainnya. Jari-jarinya saling tertaut dengan mata yang menelisik santai ke mata penasaran Lentera.

Lentera bisa merasakan kalau Nanda tidak akan tanggung-tanggung dalam berbicara. Seperti itulah tabiat yang bisa Lentera baca sekali pandang.

"Dia ditusuk, dan kebetulan ada kamu di sana," ujar Nanda lancar menjelaskan. "Kamu membawanya ke rumah sakit dan untungnya luka Devan tidak parah. Padahal kalau dilihat dari dimensi pisau itu ... Devan bisa sekarat. Beruntung sekali dia kamu temukan."

Lentera membuang muka kedua kalinya. Jadi Devan tidak menceritakan dirinya kepada Nanda? Setidaknya ada secercah harapan yang bisa ia taruh selama tiga hari berada di sini.

Jadi di cerita Devan, ia adalah malaikat manusia padahal dirinya bukan? Ia membawa Devan ke rumah sakit padahal setelah menyembuhkan Devan, ia malah jatuh pingsan? Pria itu pandai juga mengarang-ngarang alasan. "Terus dia bagaimana?"

"Penyembuhan," sahut Nanda lugas. "Sama seperti kamu. Malah menurut saya kamu lebih parah dari dia. Kamu dehidrasi, kurang gizi, dan kurang istirahat. Entah bagaimana kamu membawa dia ke sana, tapi akhirnya kamu yang ambruk sampai diopname beberapa waktu sebelum dipindahkan ke sini."

Oh, sial. Ini berarti kondisinya lebih mirip koma ketimbang pingsan biasa. "Saya pingsan berapa hari?"

"Dua."

Jawaban mengejutkan yang tidak lagi membuatnya jantungan seperti pertama kali. Percayalah, ia pernah pingsan lebih lama dari itu. "Oke."

"Nggak ada pertanyaan lagi?" Nanda tersenyum tipis. "Seperti pekerjaan dia, umurnya, keluarganya, atau hal lain?"

"Saya hanya orang yang kebetulan lewat dan kami akan kembali layaknya orang yang tidak pernah saling mengenal. Jadi sudah cukup," tukas Lentera tak kalah malas.

Pria berjas putih itu-yang diyakini Lentera berprofesi sebagai dokter itu-akhirnya berdiri dari tempat duduknya. Mungkin saja sebentar lagi akan angkat kaki dari kamar bernuansa beige hangat dan nyaman ini.

Mungkin saja. Karena sebelum itu ia malah mematenkan langkahnya. "Kalau saya jadi kamu lebih baik saya tidak akan melepaskan kesempatan ini."

"Oh, sayangnya kamu sama sekali bukan saya." Sekali Lentera mengibaskan tangannya, menganggap lalu apa yang dibicarakan Nanda. "Malah mungkin dia yang harus bersujud di kaki saya karena saya mengambil resiko sebesar itu untuk menolongnya."

Siapa yang menyangka seringai Nanda melebar? Bukan seringai tampan, tapi lebih menuju mengejek Lentera. Bahwa Lentera adalah orang terbodoh di dunia ini. "Kamu belum tahu saja siapa dia."

"Saya tidak perlu tahu bahwa ada perseteruan serius antara dia dan kakaknya. Saya menolak diikut campurkan lebih dalam." Lama kelamaan suasana ini memanas. Kenapa pria itu tidak keluar-keluar dari kamarnya, sih?

"Oke kalau begitu. Kalau ada apa-apa, tekan angka 1 di interkom itu." Jari pria itu bergerak mengarah ke benda menyerupai telepon. "Itu terhubung ke Devan. Kalau dua ke saya."

"Boleh saya tekan nomor satu sekarang?" tanya Lentera sedikit gusar. "Saya mulai muak berada di sini."

Nanda mengangkat kedua bahunya mudah. Mengerling jengah menghadapi Lentera yang tak mau ditangani. "Terserah. Tapi kalau tidak tersambung bukan salah saya."

***

Baru sekarang Lentera mendapat kesempatan memindai habis sambil bekeliling ke ruangan luas ini. Warna warm-nya disukai Lentera. Menenangkan, tapi tidak menyesakkan. Aroma floral mengelilingi ruangan ini tanpa habis. Itu membuat isi kepalanya setidaknya tidak lagi berisik.

Makanan yang disuguhkan juga sudah tandas. Untuk membersihkan diri juga dibantu oleh orang lain, pakaian pun dipersiapkan.

Pantas Nanda berbicara demikian. Di sini diperlakukan sebagai ratu. Banyak orang yang mengincar posisinya ini, pasti. Apalagi status perkawinan di sana tertulis belum menikah. Cukup mengherankan walaupun usianya cukup matang.

Tapi untuk Lentera yang sudah mengetahui buruk dan kelamnya kehidupan Devan, jawabannya sudah pasti tidak. Tidak mau. Kebebasannya ditukar dengan rasa terancam setiap saat. Ogah. Lagipula Lentera bukan pengemis.

Ia tinggal mencari pekerjaan lain dan ....

Entahlah. Tidak ada rencana yang terlintas di kepalanya.

"Saya dengar dari Nanda kamu mencari saya." Devan lambat-lambat menutup daun pintu agar tidak berisik. Jam sepuluh malam ia baru bertemu lagi dengan Lentera. "Ada masalah?"

"Nggak. Cuman coba peruntungan telepon kamu doank." Lentera ikut mendelik ke arah Devan yang memeriksa ponselnya. "Ternyata bener kamu nggak angkat telepon. Saya kira bercanda."

"Oh, sorry. Saya kalau di luar jarang pegang ponsel," balas Devan walau tak ada tampang-tampang bersalahnya itu. "Sudah merasa lebih baik?"

"Katanya recover." Lentera berlipat tangan di ujung kamar. Bersandar angkuh di dinding berusaha agar tak terintimidasi. "Recover apa yang di luar?"

"Lagi ada urusan." Jawaban yang persis dikeluarkan saat Lentera bertanya pada Devan. "Kalau nggak mendadak saya juga malas keluar rumah."

Lentera diam-diam berdecak sinis. "Urusan kerja?"

"Kurang lebih." Devan beranjak maju menenteng paperbag cokelat berisikan makanan harum. "Sudah makan?"

"Ini jam sepuluh." Lentera menunjuk ke jam dinding di atas mereka. "Bukan katanya jam makan kalian itu jam tujuh?"

"Ya, di rumah. Nggak kalau di luar." Kursi di samping Lentera lagi-lagi diseretnya mengarah langsung pada Lentera. "Mau makan nggak?"

"Nggak." Lentera mengerling lemas.

"Kalau begitu temani saya makan."