Mendengar hal itu, Siena sontak berdiri dan berkata, "Tidak mungkin! Ayah tidak mungkin tidak memberiku apa-apa." Ia menatap ke arah Sony dengan serius.
"Maaf, Nona. Ini memang surat wasiat yang Mr.Kev tuliskan sebelum kematiannya," jawab Sony.
Flo menyahut, "Siena! Wajar jika kau tidak mendapat apapun. Sebab, tidak ada yang dibanggakan dari dirimu. Tidak ada pencapaian yang kau dapatkan. Itu makanya Ayah tidak memberimu apapun."
"Betul. Kau hanya merepotkannya saja selama ini. Lihatlah aku dan Flo, kami berdua adalah anak Ayah yang paling sukses. Kami memiliki pencapaian masing-masing yang dapat membuat Ayah dan ibu bangga. Sedangkan kau tidak ada. Pencapaianmu hanya bisa menikah dengan pria penyapu jalanan! HAHA." Hera tertawa terbahak-bahak diujung kalimat yang ia ucapkan. Semuanya pun juga ikut menertawakan Siena termasuk ibunya, Mrs.Kev.
"Jadi, kau ingin mendapat apa? Bukankah mendapat izin untuk tinggal dirumah ini sudah cukup? Dengan begitu aku tidak jadi mengusirmu dan juga suamimu. Sebab, tinggal disini adalah hak kalian menurut surat wasiat yang dituliskan ayahmu, Siena." Mrs.Kev ikut bersuara menjelaskan kepada puteri bungsunya.
Dari kamarnya, Maks mendengar suara gelak tawa di ruang tamu itu. Ia juga samar-samar mendengar nama istrinya disebut oleh mereka. Maks takut terjadi sesuatu, ia memutuskan untuk pergi ke ruang tamu melihat istrinya.
Paman Brew melihat Maks berdiri di sudut ruang tamu. "Hei, Maks? Mengapa kau berdiri disitu? Apakah kau ingin mendapatkan bagian warisan juga?"
Pertanyaan Paman Brew mencuri perhatian semua orang yang berada disitu. Sorot mata mereka berpindah ke arah Maks yang sedang berdiri. Maks tergagap karena semua orang kini memperhatikannya. Ia menggelengkan kepalanya dengan pelan.
"Istrimu saja tidak dapat bagian, bagaimana denganmu," ujar Bibi Brew.
"Jika kau ingin mendapat bagian harta warisan, kau harus bertelanjang bulat mengelilingi rumah ini selama sehari. HAHA!" ujar saudara iparnya yang bernama Kenan. Lagi-lagi, semua orang ikut tertawa mendengar ucapan Kenan pada Maks. Caranya merendahkan Maks selalu dianggap lucu oleh mereka. Sementara bagi Maks, itu merupakan suatu bentuk penghinaan dan harga dirinya sudah diinjak-injak.
Di sela-sela tawa mereka, Siena bergegas pergi untuk masuk ke dalam kamarnya. Maks segera datang untuk mengikuti istrinya itu.
"Siena, ada apa? Mengapa mereka menyudutkanmu juga?" Maks bertanya pada istrinya yang telah duduk disisi ranjang tempat tidur mereka.
Air mata Siena tidak henti-hentinya jatuh membasahi pipinya. Ia merasa sangat sakit hati mendengar ucapan yang diucapkan kedua kakak kandung dan juga ibunya.
Siena segera memeluk Maks dan menangis pelukan suaminya dengan puas. Maks terdiam sembari terus membelai pelan kepala Siena. Ia bisa menebak bagaima sakitnya hati istrinya itu. Sebab, jika dia menangis maka sakit hatinya tidak bisa terbendung lagi.
"Kau bisa bercerita padaku, Siena." Galen mengucapkan itu dengan lembut.
Dengan suara yang sedikit terputus-putus, Siena menjelaskan pada suaminya. "Ayah tidak memberiku bagian warisan sedikitpun. Ia hanya memberiku izin tinggal dirumah ini. Begitu isi surat wasiat itu."
"Sudah, tidak apa-apa. Bukankah itu jauh lebih cukup untuk bisa tinggal disini? Aku berjanji akan bekerja keras demi keluarga kecil kita, Honey." Maks berusaha untuk menenangkan istrinya yang masih menangis.
"Bukan itu masalahnya. Tapi, aku tahu bahwa mereka sudah mengganti surat wasiat itu. Ayah tidak mungkin dengan tega seperti itu, Maks." Siena mengungkapkan keyakinannya.
Mulutnya bergerak lagi untuk melanjutkan kalimatnya. "Ada yang tidak beres, Honey. Aku tahu. Mereka semua picik dan licik!"
Maks membawa Siena kedalam pelukannya lagi. Ia mengelus punggung istrinya berulang kali untuk membantu menenangkannya. "Sabar. Keadilan akan berpihak pada kita suatu hari nanti. Saat ini, biarkan mereka melakukan sesukanya. Roda kehidupan mereka sedang berada diatas. Dan kita dibawah. Namun, ada saatnya kita berada diatas dan menginjak mereka."
Siena mulai berhenti menangis. Ia percaya dengan yang diucapkan suaminya itu. Ia menyeka air matanya sendiri. Dan tangannya mulai mencari sesuatu didalam tas miliknya.
Maks menunggu apa yang akan dilakukan istrinya itu.
Siena memberi secarik kertas yang berisikan alamat dan nomor ponsel seseorang. "Ayahmu memberikan ini padaku. Katanya jika kau butuh sesuatu, kau bisa memghubunginya dan datanglah ke alamat ini."
Maks mengambil secarik kertas yang dipegang istrinya dengan ragu. Ia melihat bahwa alamatnya masih sama seperti dulu. Kemudian, ia meremas kertas tersebut dam membuangnya ke lantai.
Sontak Siena terkejut melihat apa yang dilakukan suaminya itu.
"Mengapa kau buang, Honey?" tanya Siena terkejut.
"Aku sudah berjanji tidak akan menemuinya lagi," jawab Maks dengan penuh emosi.
"M-mengapa? Kau harus menceritakannya padaku," kata Siena memaksa suaminya untuk memberitahu padanya apa yang sebenarnya terjadi.
"Aku diusir dari rumahnya dan tidak dianggap menjadi anaknya lagi. Sebelum aku bertemu denganmu," jawab Maks. Ia menatap lurus kedepan. Mengingat semua yang terjadi 5 tahun yang lalu.
"Waktu itu, ibuku baru saja meninggal. Aku sangat frustasi. Lalu, aku terjun ke dunia pergaulan bebas dan sempat memakai obat terlarang. Ayahku mengetahuinya. Aku langsung diusir dan ia mengatakan bahwa aku tidak dianggap anaknya lagi."
"Aku pergi dari rumah tanpa membawa apapun. Hanya pakaian yang kukenakan saja. Aku kira ayahku akan berusaha mencariku lagi. Namun, ternyata tidak. Aku sempat mendengar kabar bahwa dia menikah dengan seorang janda yang juga mempunyai satu anak laki-laki seusiaku," jelas Maks kepada istrinya.
"Aku sempat kembali ke rumah dan mengintip melalui gerbang. Aku melihat ayahku sangat bahagia hidup dengan keluarga barunya. Melihat itu, hatiku sangat sakit sekali. Sejak saat itu, aku hidup mandiri sendiri tanpanya," imbuh Maks.
Maks masih menatap ke arah depan dengan tatapan seriusnya. Sementara Siena tercengang. Ia tidak menyangka jika suaminya itu memiliki cerita masa lalu seperti ini.
"Mengapa kau tidak pernah menceritakannya padaku?" tanya Siena dengan sangat hati-hati.
"Karena aku sudah berjanji tidak akan mengingatnya lagi termasuk menceritakannya pada siapapun," jawab Maks. Ia menatap mata istrinya.
"Honey, apakah kau tidak merindukan ayahmu? Apakah kau tidak bisa memaafkannya?" Siena bertanya pada Maks.
Maks terdiam sejenak. Ia masih terus menatap mata Siena.
"Aku merasa iba melihat ayahmu. Usianya sudah sangat senja. Ia bercerita padaku bahwa ia sangat merindukanmu. Lalu, air matanya menitih. Apalagi ketika melihat bayi kita. Dia berkata mirip sekali denganmu waktu kau bayi," jelas Siena. Ia berharap hati suaminya luluh ketika mendengar cerita ini.
Maks masih saja terdiam mematung.
"Siena!" Suara Flo berteriak memanggilnya.
Sadar dengan panggilan tersebut, Siena segera bergegas untuk keluar kamar.
"Ibu menyuruhmu ke ruang tamu. Ada tamu yang hendak bertemu denganmu," ujar Flo memberitahu adik bungsunya tersebut.
Dari dalam kamar, Maks mendengar. Ia menoleh ke arah istrinya. Begitu juga dengan Siena yang menoleh ke arah Maks.
Maks menganggukkan kepalanya. Ia memberi izin Siena untuk menemui tamu tersebut.