Setelah membalikkan badannya ke arah Maks, Hera menatap adik iparnya itu dengan tatapan tajam. "Berani sekali kau meminjam mobilku?"
Maks tertunduk. Ia hanya mencoba meminjam mobil kepada kakak ipar keduanya itu. "M-maaf, Kak Hera. Tapi bayi kami harus segera dibawa ke Rumah Sakit sekarang juga."
"Itu bukan urusanku. Kau bisa membawanya menggunakan taksi diluar." Hera menjawab dengan ketus. Ia langsung membalikkan badannya dan berjalan kembali menuju kamarnya.
Sementara Maks bingung harus bagaimana. Malam sudah semakin larut. Jelas tidak akan ada taksi yang ada dijalan luar mengingat rumah mertuanya ini sedikit masuk ke dalam atau jauh dari jalanan raya.
Maks berjalan lagi, kali ini tujuannya adalah Paman Brew. Ia berniat untuk mendatangi kamar Paman Brew dan mencoba untuk meminjamkan mobil.
Tok! Tok! Tok!
Maks mengetuk pintu kamar Paman Brew.
"Paman Brew?" sapa Maks dengan pelan. Meskipun ia ragu. Sebenarnya Maks tidak biasa meminta tolong pada keluarga istrinya seperti ini. Namun, karena keadaan yang mendesak. Terpaksa Maks lakukan.
Tidak lama setelah itu pintu pun terbuka.
Ceklek!
Dari balik pintu Bibi Brew muncul hanya mengenakan baju piyama yang memperlihatkan belahan dadanya. Wajahnya polos tanpa polesan make up.
"Ada apa?" tanya Bibi Brew dengan ketus.
"A-apakah Paman Brew ada, Bi?" tanya Maks. Pria ini berusaha untuk menundukkan pandangannya. Maks tahu batasan dan sopan santun. Matanya tidak akan ia biarkan untuk melihat keterbukaan belahan dada dari Bibi istrinya sendiri.
Bibi Brew yang merupakan istri dari Paman Brew itu menganggukkan kepalanya. "Suamiku sedang tidur. Ada apa kau mencarinya tengah malam begini?" Bibi Brew memandang Maks dengan serius. Penasaran dengan jawaban Maks. Pria yang berdiri di depannya. Yang ia akui bahwa Maks memang tampan.
"Begini, Bi. Aku ingin meminjam mobil Paman Brew sebentar saja untuk mengantarkan bayiku ke Rumah Sakit. Dia sedang demam tinggi, Bi." Maks memohon dengan wajahnya yang memelas.
Bibi Brew memandang dengan sinis ke arah Maks. "Berani sekali kau meminjam mobil kami. Bagaimana jika mobil itu rusak? Apakah kau bisa menggantinya? Lagi pula, memangnya kau bisa menyetir mobil?" Bibi Brew merendahkan Maks. Ia mengatakan hal itu penuh jumawa.
"B-bisa, Bi. Aku bisa menyetir mobil. Jika ada yang rusak aku akan menggantinya," ujar Maks terbata. Ia mencoba untuk meyakinkan Bibi Brew.
"Tidak. Aku tidak percaya dengan pria miskin sepertimu." Bibi Brew tetap tidak memberikannya pinjaman mobil.
Maks terus memohon. "Bi, tolonglah kami." Wajah Maks memelas.
"Aku bilang tidak, ya tidak. Mengerti kan bahasa manusia?" Kedua mata Bibi Brew membulat ke arah Maks. Ia kesal dengan suami dari keponakan bungsunya ini.
Mendengar suara keributan dipintu kamarnya, Paman Brew terbangun. Ia bertanya kepada istrinya. "Ada apa, Sayang? Kau sedang berbicara pada siapa?"
Bibi Brew menoleh ke arah suaminya yang sudah terduduk diatas ranjang. "Sayang, Maks memaksaku."
"Dia memaksamu apa?" tanya Paman Brew mengerutkan dahinya. Pria paruh baya itu segera turun dari ranjang untuk mendatangi istrinya dan juga Maks diambang pintu kamar.
Bibi Brew sengaja membuka belahan piyamanya sampai benar-benar terbuka. Ia mengambil kesempatan itu untuk memfitnah Maks. Melihat suaminya mendatanginya, Bibi Brew pura-pura menangis. "Sayang, Maks memaksaku untuk tidur bersamanya dikamar tamu malam ini juga. Katanya, dia nafsu melihat belahan dadaku ini. Aku tidak mau, tapi dia terus memaksaku."
Wajah Paman Brew memerah seketika. Kedua matanya menghitam. Serta rahangnya tampak mengeras. Sementara Maks terkejut Bibi Brew tidak memberitahu yang sebenarnya kepada suaminya itu.
Kedua tangan Paman Brew mengepal sempurna. Ia dengan gigi yang begermertak melangkahkan kaki untuk mendekati Maks.
"B-bukan begitu, Paman. Bibi Brew berbohong. Aku hanya ingin meminjam mobil." Maks berusaha menjelaskan kepada Paman Brew. Ia berharap dapat dipercaya.
"Bohong, Sayang. Aku tidak mungkin mengada-ngada." Bibi Brew pura-pura menangis terisak.
BUKK! BUK! BUK!
Paman Brew memukul kedua pipi Maks hingga pria itu terjatuh ke lantai.
Maks menjerit dan memegang pipinya dengan kesakitan. Sementara itu Paman Brew terus berjalan mendekati Maks masih dengan amarahnya yang menggebu-gebu. Ia terus menatap wajah Maks dengan tatapan tajamnya.
"P-paman, bukan begitu yang sebenarnya terjadi," ujar Maks. Ia masih berusaha untuk menjelaskannya kepada Paman Brew.
Namun, pria yang memiliki nama Brew itu sudah terlanjur dikuasai oleh emosinya. Ia tidak mendengarkan penjelasan dari Maks. Pria paruh baya itu mendekati Maks lagi dan kali ini menaiki tubuh Maks. Ia memukuli wajah Maks hingga babak belur.
Suara teriakan Maks membuat Siena penasaran apa yang sedang terjadi dengan suaminya tersebut. Dengan wajah yang bercampur panik dan lelah sembari menggendong bayinya yang masih saja menangis, ia segera berlari ke luar kamar. Di lorong kamar tepatnya didepan kamar Bibi Brew, Siena melihat suaminya sedang dihajar habis-habisan oleh Paman Brew tanpa ampun.
Siena segera mendatangi mereka dan berteriak dari jauh. "Hentikan, Paman! Apa yang kau lakukan pada suamiku?"
Siena mendorong tubuh Paman Brew yang menindih suaminya. Akhirnya, dengan sekuat tenaga Siena, Pamannya bisa turun dari tubuh Maka. Siena segera mendudukkan suaminya dan bersandar didinding.
"Apa yang terjadi, Honey? Apakah pipimu terasa sakit?" tanya Siena panik. Ia merasa iba melihat kedua pipi suaminya yang sudah membiru karena pukulan dari Paman Brew.
Maks hanya terdiam karena ia menahan sakit.
Tidak mendapat jawaban dari suaminya, Siena langsung memandang ke arah paman Brew dan bertanya langsung padanya. "Apa yang Paman lakukan? Mengapa memukulinya?" Siena bertanya dengan nada bicara yang tinggi. Ia terlihat kesal dengan perlakuan suami dari bibinya itu kepada Maks.
Dengan napas yang masih menderu, Paman Brew menjawab pertanyaan Siena. "Kau tahu yang suamimu ini lakukan? Dia mendatangi kamar kami dan menemui istriku. Dia menggodanya dan mengajak bibimu untuk tidur bersamanya, tentunya memuaskan nafsunya!"
"T-tidak, Honey. Aku hanya ingin meminjam mobil." Maks membela dirinya. Ia mencoba untuk menjelaskan kepada Siena yang sebenarnya terjadi.
Mendengar suara keributan, semua keluarga Kev keluar dari kamar untuk menyaksikan mereka. Terutama Mrs.Kev. Ternyata ia sudah lebih dulu mendengar pengakuan yang diutarakan adik iparnya itu bahwa Maks mencoba menggoda adik kandungnya, Bibi Brew.
"Benarkah begitu, Maks? Kau mencoba untuk menggoda adikku?" tanya Mrs.Kev memastikan. Ia sudah berdiri dibelakang Maks sembari berkacak pinggang.