Melihat ayahnya sudah tergeletak tidak sadarkan diri dipangkuan Bernard, Maks terkejut. Ia merasa terpanggil hatinya untuk segera mendatangi ayahnya itu, Tuan Baltasar. Maks segera berlari ke arah Bernard dan Tuan Baltasar. Ia memang masih menyimpan kekesalan kepada ayahnya itu karena dirinya sempat diusir. Namun, sebagai anak ia tetap tidak tega jika melihat ayahnya jatuh sakit secara mendadak.
Setelah sampai ke hadapan ayahnya, ia jongkok untuk mensejajarkan posisinya. Kedua tangannya memegang pipi ayahnya dan menepuknya dengan pelan. "A-ayah! Ayah!"
Maks dengan panik menatap ke arah Bernard. "Ayo kita bawa ke Rumah Sakit!" Suara Maks terdengar berteriak.
Kemudian Bernard membantu Maks untuk menggendong Tuan Baltasar dan masuk ke dalam mobil. Bernard menyupir mobil tersebut untuk membawa bosnya ke Rumah Sakit.
Disepanjang perjalanan, Maks terus memegang erat tangan ayahnya yang saat ini berada diatas pangkuannya. "Bertahanlah! Aku mohon!" Maks selalu mengucapkan kalimat itu kepada ayahnya.
Sementara ayahnya tetap tidak sadarkan diri.
"Tolong, melajulah dengan cepat. Kita harus segera sampai ke Rumah Sakit!" Maks mendesak Bernars untuk melajukan mobilnya.
"B-baik, Tuan," jawab Bernard sambil fokus menyetir.
Akhirnya, mereka sampai ke Rumah Sakit. Tuan Baltasar dengan cepat dibawa ke Ruang Gawat Darurat. Maks dan Bernard menunggu di kursi tunggu yang letaknya tidak jauh dari ruang Tuan Baltasar dirawat.
Bisa terlihat dengan jelas bagaimana raut wajah Maks yang panik menunggu ayahnya. Dalam hati kecilnya, ia berharap jika tidak terjadi apa-apa pada ayahnya itu.
Sementara itu, pada waktu yang bersamaan di ruang makan keluarga Kev, suasana sedang hening karena semuanya menikmati sarapan pagi itu. Tapi, tidak dengan Siena. Istri dari Maks itu gelisah karena pria yang kini duduk disebelahnya selalu mencuri pandang ke arahnya. Sesekali ia tersenyum kepada Siena.
Siena sangat risih dengan tatapan dari pria yang bernama Gaston itu. Ia membalasnya dengan tatapan yang sangat tajam dan menandakan bahwa dirinya tidak menyukai kehadiran Gaston hari ini. Nyonya Kev menyadari Siena yang tidak memperlakukan Gaston sebagai tamu dengan baik. Ia segera bertindak. "Maafkan puteri bungsuku ya, Gaston. Awalnya dia memang seperti itu, terlihat tidak ramah. Tapi, sebenarnya ia adalah anak yang baik ketika kau sudah mengenalnya lebih jauh." Nyonya Kev tersenyum manis ke arah Gaston.
Pria itu menanggapi ucapan Nyonya Kev dengan senyuman ramahnya. "Iya. Tidak apa-apa, Nyonya. Aku mengerti. Itu tidak menjadi masalah untukku."
"Gaston, saat ini kau sudah bisa mendekatinya. Suaminya tidak ada dirumah ini sejak hari ini," ujar Hera sambil mengunyah sarapannya.
Siena membulatkan kedua matanya ke arah kakak keduanya itu. Ia sangat kesal Hera dapat mengatakan hal itu kepada Gaston.
"Benar yang dikatakan puteri keduaku. Hari ini aku sudah mengusir suaminya Siena karena dia telah melanggar aturan keluarga ini. Dia hampir saja melakukan aib yang memalukan. Jadi, sebagai pencegahan awal, aku mengusirnya agar ia tidak melakukan hal itu lagi," tambah Nyonya Kev. Sesekali matanya melirik ke arah Siena yang sudah mengambil napas untuk menyangkal ibunya.
"Ibu!!" Hentikan!" ujar Siena. Suaranya sedikit berteriak.
"Kau bisa diam? Ingat bayimu!" ancam Nyonya Kev kepada Seina. Sontak Siena terdiam. Ia mengingat ancaman yang diberikan ibnunya tadi sebelum ia bergabung pada sarapan pagi ini.
"M-maaf. Apa yang dia lakukan hingga kau mengusirnya, Nyonya?" Gaston bertanya kepada Nyonya Kev.
"Karena ia sudah melakukan pelecehan seksual kepada adik kandungku sendiri," jelas Nyonya Kev sembari melirik ke arah Bibi Brew dengan tatapan iba.
"Tidak, Ibu! Suamiku tidak melakukan hal hina seperti itu. Ia hanya ingin meminjam mobil untuk membawa bayi kami ke rumah sakit," jawab Siena dengan suara paraunya karena menahan tangis. Ia tetap percaya dan membela suaminya meskipun ia tahu tidak akan ada yang memercayainya.
"Jadi, maksudmu Bibimu telah memfitnahnya? Begitu? Dengar Siena! Dia itu adik kandungku. Aku tahu betul sifatnya. Ia tidak akan berbohong." Nyonya Kev membela adik kandungnya.
"Bisa saja Bibi Brew memfitnah suamiku," jawab Siena singkat.
"Astaga, Siena! Aku tidak memfitnah suamimu. Apa yang aku alami itu adalah memang nyata," sahut Bibi Brew sembari memperlihatkan mimik muka yang sedih. Lebih tepatnya hanya berpura-pura sedih.
"Dengar, Siena! Bibimu tidak akan berbohong," kata Nyonya Kev.
"Kau memang sudah diguna-guna oleh pria miskin itu. Sehingga cintamu telah dibutakannya. Kau sampai tetap membelanya meskipun ia jelas-jelas salah," ujar Flo. Kata 'guna-guna' yang diucapkannya mencuri perhatian semua orang yang tengah berada disitu. Mereka tercengang dan percaya dengan ucapan anak sulung dari Nyonya Kev tersebut.
Semuanya masih terdiam. Siena memandang ke arah kakak pertamanya dengan mata yang berkaca-kaca. Ia tidak menduga bahwa kakaknya itu dapat berbicara seperti itu.
"Maka dari itu, kami setuju sekali jika kau mendekati adik bungsu kami ini yang sudah dibutakan oleh cinta karena diguna-guna suaminya. Sudah lama kami menyadarkannya, tapi tidak mempan. Mungkin, jika kau terus mendekatinya lama-lama ia akan sadar dengan sendirinya." Flo berbicara serius kepada Gaston didepan semua keluarga Kev yang sedang sarapan pagi, termasuk juga didepan Siena.
"Kakak! Jangan ikut campur," ujar Siena memperingati kakak pertamanya itu.
"Mengapa? Aku sebagai kakakmu wajib ikut campur dalam hal ini. Karena kau masih menjadi adikku," jawab Flo dengan suara yang tak kalah tegasnya dengan adiknya itu.
Siena terdiam setelah tidak sengaja matanya menatap ibunya yang sedang memberi tatapan penuh ancaman ke arahnya. Siena takut jika ibunya itu tidak memanggilkan Dokter lagi untuk mengobati bayinya. Jadi, Siena lebih memilih untuk diam. Meskipun banyak yang ingin ia sampaikan kepada mereka semua untuk membela suaminya, Maks.
"Jadi, kami setuju jika kau akan mendekati Siena, Gaston. Kau yang memang pantas hidup bersamanya. Bukan pria miskin itu," ujar Nyonya Kev menyindir Maks.
Gaston menganggukkan kepalanya. "Aku akan melakukan yang terbaik." Ia tersenyum ke arah semua anggota keluarga Kev.
***
Seorang Dokter keluar dari ruangan. Bernard segera memberi tahu Maks yang sedang tertidur dengan posisi duduk. Pria itu memang sangat kelelahan. Sebab, semalaman ia tidak ada tidur ketika masih berada dirumah mertuanya.
"Tuan? Tuan Maks?" sapa Bernard sembari memegang bahu Maks dengan pelan.
Maks sontak membuka matanya dan memandnag ke arah Bernard.
"Dokter yang memeriksa Tuan Baltasar sudah keluar dari ruangan dan selesai memeriksa Tuan Baltasar. Dokter itu ingin berbicara kepada Tuan Maks sebagai wakil pasien," ujar Bernard memberi tahu. Kemudian, ia menujuk ke arah Dokter wanita yang tengah berdiri dibelakang Bernard. Ia sedang menunggu Maks.
Maks langsung berdiri dan mendatanginya. "Bagaimana keadaan ayahku, Dok?"