Chereads / Pewaris Tersembunyi / Chapter 7 - BAB 7

Chapter 7 - BAB 7

Maks dengan cepat menjawab pertanyaan ibu mertuanya. "T-tidak, Bu. Aku tidak melakukan hal tersebut. Aku hanya ingin meminjam mobil." Satu tangan Maks masih memegang pipinya yang terasa sangat perih akibat pukulan keras dari Paman Brew.

"Dia berbohong! Sudah jelas dia mengajakku untuk tidur bersama." Bibi Brew mengatakan hal itu kepada kakaknya. Ia sengaja berbohong untuk menjatuhkan Maks agar ia diusir dari rumah ini bersama dengan Siena. Sebab, dia mengincar harta kakaknya-Mrs.Kev.

"T-tidak, Bu..." Maks berusaha untuk membela dirinya dan menjelaskan semuanya. Namun, Mrs.Kev sudah lebih dulu berjalan ke arahnya dan mendaratkan sebuah tamparan tepat di pipi kanan Maks.

PLAK!

Wajah Mrs.Kev memerah penuh emosi.

Siena kembali menolong suaminya. Ia memandang wajah ibunya. "Ibu! Maks hanya ingin meminjam mobil untuk membawa puteri kami ke Rumah Sakit. Dia sedang sakit, Bu. Demam tinggi. Aku percaya Maks tidak akan melakukan hal sehina itu." Kedua mata Siena berkaca-kaca. Ia berharap ibunya dapat memercayainya dan juga suaminya. Siena yakin bahwa suaminya itu tidak akan melakukan hal bodoh seperti itu. Di mata Siena, Maks merupakan pria yang baik.

Namun, Mrs.Kev tetap memercayai adik kandungnya tersebut. "Adikku tdak pernah berbohong padaku!" Kedua mata Mrs.Kev menghitam menatap tajam ke arah menantu, suami dari puteri bungsunya itu.

"Kau masih saja membela suamimu yang jelas-jelas melakukan kesalahan, Siena! Kau pun sudah dibohonginya. Apakah kau tidak marah dia mengajak Bibimu sendiri untuk tidur bersama? Aneh kau!" ujar Flo kepada Siena.

"Tidak! Aku tahu persis bagaimana suamiku. Dia tidak akan melakukan hal itu," balas Siena berbicara dengan tegas kepada semua orang yang sedang menonton mereka. Siena persis seperti almarhum ayahnya. Berani untuk membela kebenaran. Ia tidak akan ingin kalah jika bukan dia yang melakukan kesalahan.

"Maks! Pergi kau sekarang dari rumahku!" bentak Mrs.Kev mengusir Maks. Suara bentakan wanita berusia senja itu menggelegar seperti biasanya. Bak petir yang menyambar secara mendadak.

Siena terkejut. Ia langsung segera memohon pada ibunya. "Ibu! Tolong jangan usir dia. Bukankah untuk tinggal dirumah ini adalah hak kami? Kami diizinkan oleh ayah." Siena mengingat bahwa dia dan suaminya tidak mendapatkan warisan apapun, hanya mendapat izin dan hak untuk tinggal dirumah itu sampai kapanpun.

"Tapi suamimu melanggar aturan. Dia melakukan pelecehan seksual kepada bibimu. Jika ayahmu tahu pun, dia juga melakukan hal yang sama sepertiku. Pasti ayahmu akan segera mengusirnya juga," balas Mrs.Kev dengan tegas. Kedua matanya membulat sempurna ke arah Siena.

Siena segera berlutut dibawah kaki ibunya untuk memohon. Ia sambil menggendong bayinya yang sedang menangis lagi. "Mohon, Bu! Jangan usir kami." Siena menangis sembari memohon untuk tidak diusir. Sebab, tidak ada lagi rumah untuk menampung mereka nantinya.

"Bu! Usir saja aku. Tapi jangan usir istri dan bayiku," ujar Maks dengan lirih sembari memegang pipinya yang kesakitan karena dipukul oleh Paman Brew.

Siena sontak menoleh ke arah suaminya."Apa maksudmu, Sayang? Apakah kau ingin berpisah dengan kami?" Kedua mata Siena menatap Maks dengan berkaca-kaca. Ia tidak terima jika suaminya pergi dari rumah ini.

"Baiklah. Jika itu permintaanmu, Maks. Istri dan bayimu akan tetap tinggal disini. Sementara kau yang pergi!" ujar Nyonya Kev. Ia masih berkacak pinggang.

Siena meggelengkan kepalanya dengan cepat. "J-jangan, Bu. Jangan usir suamiku." Siena menangis sesenggukan dibawah kaki ibunya sambil menggendong bayinya. Namun, permohonan Siena itu tidak diterima oleh ibunya.

"Siena! Kau tidak tahu diuntung. Ibu sudah baik hati menolongmu agar tidak tinggal dijalanan. Jangan meminta lebih jika sudah diberi hati!" ujar Hera yang sedang berdiri disebelah kakak sulungnya.

"Benar, Siena! Ibu sudah menolongmu dari suamimu yang tidak baik ini. Ternyata, selain miskin dia juga seorang pedofil." Flo bersuara lagi.

Maks hanya bisa diam dan tertunduk. Rasanya percuma saja jika ia menjelaskan lagi hal yang sebenarnya terjadi. Mereka tidak akan memercayainya. Jadi, ia memutuskan untuk mengalah dan menerima keputusan yang dibuat oleh ibu mertuanya.

Maks beringsut ke arah istrinya. Ia membisikkan sesuatu tepat di telinga Siena. "Sayang, kau harus tetap tinggal disini demi aku dan buah hati kita. Aku berjanji akan kembali menjemputmu dan kita akan tinggal dirumah baru."

Siena tak henti-henti meneteskan air matanya. "B-bagaimana? Bagaimana kau makan diluar sana? Dimana kau akan tinggal?" Ia sangat mencemaskan suaminya.

"Aku ini pria. Aku bisa tinggal dimana saja. Aku kan punya pekerjaan. Aku pasti bisa membiayai diriku sendiri. Jangan mencemaskanku, Sayang." Maks menjawab pertanyaan istrinya yang tadi mencemaskan dirinya. Ia meyakinkan Siena bahwa dirinya akan baik-baik saja di luar sana.

Akhirnya karena Maks bisa meyakinkan Siena, ia menganggukkan kepalanya dan membiarkan suaminya itu pergi dari rumah ini. "Hati-hati. Kau harus menjemputku dengan keadaan selamat!"

Maks menganggukkan kepalanya dan tersenyum ke arah Siena. Setelah memeluk istrinya, pria itu berdiri dari duduknya untuk menghadap ibu mertuanya.

"Baiklah, Bu. Aku akan pergi dari rumah ini. Sedangkan istri dan bayiku tidak. Tapi aku mohon, tolong berobatkan bayi kami, Bu. Meskipun kau membenciku, tapi dia tetaplah cucumu," ujar Maks sebelum dia pergi mengemas barang-barangnya.

Tidak ada jawaban dari Nyonya Kev. Ia tetap menatap tajam ke arah Maks.

Maks berjalan ke arah kamarnya untuk mengemasi pakaiannya. Ia mendatangi bayinya. Ia mencium bayi merah yang belum diberi nama tersebut.

"Tolong, Bu. Untuk membawa bayiku ke Rumah Sakit. Dia demam tinggi," pinta Maks kepada ibu mertuanya sebelum ia melangkah pergi.

Nyonya Kev menjawab dengan ketus. "Iya aku akan memanggilkan Dokter pribadi untuk memeriksanya. Kau tidak perlu mengajariku."

Air mata Maks sudah ingin keluar untuk membasahi pipinya. Namun, ia menahannya agar itu tidak keluar. Sebab, ia malu jika menangis didepan semua keluarga Kev.

Setelah itu, Maks pergi menyisakan kesedihan serta kecemasan bagi istrinya, Siena.

***

Hari sudah menjelang pagi, Maks masih saja berjalan dijalanan sembari membawa tasnya. Ia tidak tahu harus tinggal dimana. Tidak terasa, air matanya menetes begitu saja. Ia merasa hatinya sangat perih ketika difitnah oleh saudara istrinya sendiri. Ia tidak menyangka bahwa Bibi Brew bisa sejahat itu pada dirinya.

"Aku berjanji, setelah ini tidak akan ada yang merendahkanku lagi. Aku akan membalas semuanya!" ujar dirinya sembari menyeka air mata yang perlahan turun membasahi pipinya.

Maks melanjutkan perjalanannya untuk mencari tempat istirahat sementara waktu. Meskipun kakinya terasa sakit karena ia berjalan sudah sangat jauh dari rumah keluarga Kev.