Maks bergegas masuk kedalam ruangan tempat istrinya dirawat. Siena sudah duduk di atas ranjang pasien sambil menggendong bayinya. Ia sudah bersiap-siap untuk kembali pulang ke rumah.
Siena menatap ke arah pintu yang terbuka. Di ambang pintu suaminya berdiri.
Maks merasa iba melihat mata istrinya yang sembap. Sebab, Siena semalaman menangisi kepergian ayahnya, Mr. Kev. Ia ingin sekali melihat wajah terakhir ayahnya itu. Namun, pihak Rumah Sakit tidak mengizinkannya pulang sebelum semua biaya persalinan lunas. Keluarga Kev pun tidak ada yang membantunya. Siena sangat merasakan duka yang mendalam.
"Honey?" sapa Siena pelan pada suaminya.
Maks dengan perlahan melangkahkan kaki ke arah istri dan bayinya. Ia mencium kening Siena dan juga puteri kecil mereka.
"Tadi seorang lelaki tua datang menemuiku. Dia mengaku bahwa dia adalah ayahmu," ujar Siena memberitahu Maks.
Maks menarik kursi yang ada dibelakangnya untuk didekatkan kepada Siena. Lalu, ia menempelkan bokongnya disana.
"Apa yang dia katakan padamu?" tanya Maks. Ia menatap wajah Siena.
"Dia merindukanmu," jawab Siena singkat. Ia membalas tatapan Maks.
Maks terdiam sejenak. Ia masih tidak menduga bahwa lelaki tua itu akan datang untuk mencarinya setelah ia mengucap sumpah untuk tidak menganggap Maks sebagai puteranya beberapa tahun yang lalu.
"Mengapa kau tidak memberitahuku bahwa kau masih memiliki seorang ayah, Maks?" Siena bertanya kepada suaminya. Sebab, selama ini Maks mengaku bahwa ia sudah tidak memiliki orang tua lagi dan ia hidup sebatang kara.
Maks masih terdiam sembari menatap kosong ke arah depan. Dia tidak tahu harus bagaimana menjelaskannya pada Siena.
"Mengapa, Maks? Kau membohongiku?" Siena bertanya lagi.
Maks menghembuskan napasnya dengan gusar. "Honey, ini bukan waktu yang tepat untuk membahas hal ini. Mari kita pulang dulu."
"Apa salahnya jika kau menjelaskannya sekarang juga? Mengapa juga kau ingin cepat pulang? Bukankah keluargaku tidak ada yang menungguku?" Kedua mata Siena berkaca-kaca.
Maks terdiam. Ia merasa iba melihat istrinya bersedih.
"A-ada. Ibumu menunggu," ujar Maks berbohong demi membuat Siena senang dan bersemangat untuk pulang.
Siena menyeka air matanya yang jatuh membasahi pipi.
"Ketika kita sudah sampai dirumah, aku akan menjelaskan semuanya padamu," ujar Maks menenangkan Siena.
Akhirnya, mereka pun kembali pulang membawa bayi mereka.
***
Maks dan Siena sampai di rumah keluarga Kev. Papan bunga ucapan duka masih berderet di sepanjang gerbang. Siena yang menggendong bayinya itu bergandengan tangan dengan suaminya untuk memasuki rumah.
Pintu terbuka. Tampaklah di ruang utama semua keluarga Kev sudah berkumpul. Maks dan Siena melangkahkan kaki untuk masuk. Semua sorot mata tertuju pada mereka berdua.
"Akhirnya kau bisa membawa istrimu pulang tanpa meminjam uang dengan mertuamu, Maks!" Mrs.Kev bersuara. Ia menatap sinis ke arah menantu dan puterinya.
"Suamiku masih mampu membiayai persalinanku, Bu." Siena membalas perkataan ibunya.
Bibi Brew dan semua yang berada disitu tertawa mendengar ucapan Siena.
"Hei, Siena! Apakah kau tidak tahu apa yang dilakukan suamimu kemarin setelah kepergian Ayah? Dia dengan beraninya menghadap ibu untuk meminjam uang! Katanya uang itu akan ia gunakan untuk membayar biaya persalinanmu," jelas Hera. Kakak kedua Siena yang congkak.
Siena terdiam. Ia memang tidak tahu bahwa Maks sempat mencari uang dengan meminjam kepada ibunya.
Namun, dengan keberaniannya dia menjawab perkataan kakak keduanya yang berlagak sangat angkuh itu. "Memangnya kenapa? Suamiku hanya berniat meminjam. Tidak mencuri!"
"Masalahnya, dia meminjam ketika kita semua masih berduka atas kepergian ayah!" kata Flo-kakak sulung dari Siena.
"Jika ayah tahu perbuatan kalian yang tidak menolong kami, pasti beliau kecewa dengan kalian!" sahut Siena dengan tegas.
"Sudah! Aku tidak ingin mendengar keributan hari ini." Mrs.Kev menyudahi perdebatan tiga bersaudara itu. Lalu, matanya menatap ke arah puteri bungsunya. "Siena! Hari ini adalah hari pembacaan warisan yang diberikan ayahmu kepada kalian bertiga. Jika kau mau mendapatkannya, kau harus ikut bergabung disini menunggu pengecaranya datang."
Siena menatap ke arah ibunya dengan tatapan tulus dan tersenyum cerah. "Ibu, apakah ibu tidak mau melihat cucu ibu ini?" Ia melirik sekilas ke arah bayi yang digendongnya.
Mrs.Kev dengan wajah tanpa senyuman menjawab, "Tidak. Aku tidak menganggapnya sebagai cucuku karena itu adalah darah daging pria yang berasal dari keluarga miskin!" Matanya melirik sekilas ke arah Maks.
DEG!
Jantung Siena seakan ditusuk oleh ribuan belati. Air matanya seketika jatuh begitu saja membasahi kedua pipinya. Ia tidak menyangka bahwa ibu kandungnya sendiri tega tidak menganggap cucunya. Ia menundukkan kepala sembari menatap sendu ke arah bayi yang berada didalam gendongannya.
Tidak hanya Siena yang tersingungg dengan perkataan Mrs.Kev. Maks pun merasakan hal itu juga. Namun, ia tidak berani melawan ucapan ibu mertuanya tersebut.
Maks merangkul Siena untuk menuntunnya masuk ke dalam kamar mereka. Semua keluarga sedang membisikkan mereka sebagai anak dan menantu yang paling miskin di keluarga Kev.
Siena meletakkan bayinya di atas ranjang. Lalu, ia memeluk Maks dengan erat.
"Ayah sudah tiada. Mereka akan merajalela untuk menghina kita," ujar Siena dalam tangisnya sembari masih memeluk Maks.
Maks membelai kepala istrinya dengan lembut. Ia tahu bahwa hidupnya bersama dengan istrinya dirumah ini tanpa ayah mertuanya tidak akan seperti dulu lagi. Sebab, semua keluarga Kev tidak ada yang menyukainya kecuali Mr.Kev.
"Jangan bersedih. Ada aku yang selalu disampingmu. Sekarang, kau harus bergabung dengan mereka disana. Sebentar lagi pengecara ayah akan tiba," ujar Maks menenangkan istrinya.
Pria itu melepas pelukan istrinya dan menyeka air mata Siena.
"Menurutmu, apakah aku harus bergabung dengan mereka?" Siena bertanya pada suaminya.
Maks menganggukkan kepalanya. "Iya. Ayah pasti menyuruhmu untuk bergabung dalam pembagian harta itu. Kau harus ada disana. Aku yang akan menjaga bayi kita."
Siena sejenak menatap bayi merahnya yang masih tertidur pulas. Lalu, ia menatap ke arah suaminya. "Baik lah." Siena melangkahkan kakinya keluar kamar untuk bergabung bersama keluarga Adibrata diruang tamu.
Seorang pria yang mengenakam kacamata dan berpenampilan rapi sudah bergabung juga bersama mereka disana. Dia adalah Sony, pengecara sekaligus orang kepercayaan Mr.Kev yang akan menyampaikan wasiat warisan.
"Ehem." Sony sejenak berdehem ketika sudah duduk dihadapan keluarga Kev.
"Aku tidak akan lama berbasa-basi. Disini aku akan menyampaikan wasiat dari Mr.Kev yang sudah lama ia simpan. Wasiat tersebut adalah tentang harta warisan," jelas Sony.
Pria itu membenarkan posisi kacamatanya sembari melihat selembar kertas untuk dibaca. "Disini tertulis wasiat dari Mr.Kev bahwa yang mendapat harta warisan paling banyak adalah Flo dan Hera. Puteri sulung dan puteri keduanya...."
Sony terus melanjutkan pembacaan wasiat itu dan bagian-bagian yang didapatkan oleh Flo dan Hera.
Sementara itu, Siena tercengang. Ia tidak mendengar namanya mendapat bagian harta dari ayahnya.
"Terakhir, untuk puteri bungsunya yang bernama Siena Kev hanya mendapat bagian tinggal dirumah ini saja," pungkas Sony. Setelah itu ia menyimpan selembar surat itu kembali.