Chereads / Dia, Saudaraku! / Chapter 11 - Episode 11

Chapter 11 - Episode 11

Melangkah pelan menyusuri jalan setapak penuh tumbuhan liar berharap dapat secepatnya menemukan jalan menuju pulang ke rumahnya. Karena tahu konsekuensi yang bakal diterimanya nanti pasti dimarahi oleh ayah-nya yang tentunya ia tak ingin lama-lama berada disana meski tubuhnya sangat sakit bila dipaksakan berjalan.

Membongkah rerumputan tinggi dengan tangan untuk mempermudahkannya melihat jalan, tak terasa kini dia sampai pada ujung lokasi itu, terdapat sungai kecil berair jernih dan tenang serta udara sejuk setelah diguyur hujan.

Duduk diantara bebatuan berukuran sedang di bibir sungai itu, mengambil air dengan kedua tangan kemudian meneguknya perlahan.

"Hufff ..."

Sesudah itu sekaligus dia membersihkan wajah yang terdapat banyak darah dengan air mengalir, meski rasa luka tersiram air sangat perih sekuat tenaga ia tahan.

Setelahnya kembali nenolah-noleh ke area sekeliling, dilihatnya ada sebuah tumbuhan liar jenis 'Binahong' yang tumbuh lebat didekatnya.

Teringat sang bunda pernah menempelkan racikan obat tradisional pada luka-nya sewaktu kecil, segera dia raih tumbuhan itu, kemudian dikoyak-koyak sampai cukup remuk lalu menempelkannya pada bagian luka agar rasa sakit pada luka-luka itu dapat sedikit mereda.

Suasana disekitaran sana sangat hening, hanya terdengar percikan air dari sungai serta suara-suara burung liar dari arah kejauhan.

"Dimana ini?"

Di segala penjuru arah hanyalah terbentang luasnya belukar, lalu dari suatu arah ia melihat ada manusia berpakaian lusuh menggunakan topi serta karung dan celurit di tangan kiri, mungkin saja itu warga sekitaran sana sedang mencari rumput untuk pakan ternak.

Awalnya Nathan berencana hendak bertanya pada orang itu tentang dimana lokasi ini, tetapi dia tipikal lelaki pemalu memilih untuk memalingkan wajahnya lagi ke arah sungai.

Tanpa ia ketahui, orang itupun melihat keberadaan dirinya tanpa perlu susah payah ia bertanya orang tersebut-lah yang mendekatinya.

"Sedang apa kau disana Dik?"

Nathan pun menoleh

"Astaga, apa yang terjadi padamu dik?" Nada suara beserta ekspresi wajah orang itu cukup terkejut mendapati kondisi fisik dari ujung kaki hingga kepala Nathan sangat memprihatinkan seperti ini.

"Em, in-ini … tidak papa kok Pak," Nathan menjawabnya dengan suara sedikit terbata-bata

"Adik berasal dari mana? dan sedang apa sendirian disini, Dik?"

"Sa-Saya dari …" Sebelum tuntas Nathan mengemukakan kata, orang itu sudah langsung memangkasnya "Mari saya bantu, saya antar kau pulang ya dik, sebutkan saja dimana alamat rumahmu ya"

Nathan mengangguk diiringi senyum "Baik Pak, Terima kasih Pak"

___

Tak lama kemudian, orang itu mengajak Nathan ke rumahnya berlebih dahulu untuk mengambil kendaraan jenis roda dua yang diperuntukkan mengantar Nathan nantinya.

Disaat tiba di kediaman orang itu, Nathan langsung menjadi sorotan beberapa warga yang melihatnya khususnya para ibu-ibu yang sedang berkumpul.

"Eh jeng, lihat tuh disana siapa anak yang dibawa pak Kolus ya?"

"Eh iya siapa dia ya kenapa kayak babak belur begitu ya" Sambung para ibu-ibu lain.

"Hm … palingan anak itu habis berantem bisa babak belur begitu, bener-bener parah anak muda jaman sekarang, kerjaannya berantem, pacaran, kelayapan, tawuran, mau jadi apa generasi bangsa ini! Benar-benar parah!" Cetus beberapa ibu-ibu itu saling menyimpulkan.

Tak lama kemudian, bapak itu menghampiri Nathan kembali dengan motornya, siap akan mengantarkannya pulang "Mari Nak, Naik."

Nathan sebatas mengangguk lalu menuruti.

___

Gerimis masih rintik-rintik berjatuhan dari atas langit kian membasahi rambut Nathan dan orang itu, lantaran orang itu tadi tidak sempat mengambil pelindung kepala terlebih dahulu.

Memacu kendaraannya sedikit kencang menuju ke rumah Nathan yang berbeda kabupaten dari sana. Beruntungnya di jalan raya pada sore hari ini tidak ada Razia kendaraan sehingga aman tanpa gangguan petugas jalanan Negara (Polisi lalu lintas)

Sebelum tiba tepat di halaman rumah yang sedang di tuju, Nathan berkata, "Maaf Pak, saya turun disini saja ya ..."

Orang itupun menepi, "Memangnya yang mana rumah kamu Dik?" Melihat rumah-rumah yang berjejer disana.

"Itu disana pak" Nathan menelunjuk ke arah yang di maksud meski sesungguhnya terpaksa berbohong.

"Baiklah, yasudah saya langsung pulang ya Dik, saya belum kasih makan sapi. Dan adik juga secepatnya pulang ya nanti bisa flu kalau kena hujan begini," Ucap orang itu seraya menutupi keningnya dengan tangan menahan rintik hujan.

"Iya Pak, terima kasih banyak atas pertolongan Bapak ya pak"

"Iya Dik, tidak perlu sungkan Dik, saya juga pernah muda sepertimu hehe, yasudah saya tinggal ya" Pungkas orang itu tak ingin banyak tahu tentang apa yang terjadi pada Nathan yang posisinya babak belur seperti itu.

__

Sesudah orang itu pergi, Nathan beranjak pelan menuju ke rumahnya yang sebenarnya berjarak masih cukup jauh dari tempat ia turun dari motor tadi sekitar 200 Meter.

Begitu tiba di depan rumahnya, ia melihat ada sendal wanita berwarna kuning keemasan di teras.

"Apakah ibu sudah pulang?" Tersenyum sesuai kemana pikiran traveling, cepat-cepat melangkah masuk kedalam berharap sang bunda benar-benar sudah pulang.

Begitu masuk kedalam ia samasekali tidak mendapati seorang pun di ruang tamu yang dia pikir sang bunda sudah pulang dari merantau di luar negri.

"Lalu ... sendal siapa itu?" Berkutat sejenak sembari menolah-noleh. Lalu ia pun memilih masuk kedalam kamarnya terlebih dahulu untuk berganti pakaian.

Begitu selesai, berpijak menuju dapur hendak makan siang. Semasih melangkah menuju kesana, ada sesuatu yang sangat menganggu telinga kala melewati kamar ayahnya.

"Oooh ... Yeaah ... aaah ... Aahh .... uuhhh, aahhh ... aahhh"

Suara wanita mendesah-desah diiringi suara ranjang yang bergoyang didalam kamar ayahnya.

Nathan pun langsung menutupi kedua telinga dengan kedua tangan hendak meneruskan langkahnya ke dapur.

Tapi terhenti lagi kala tiba-tiba pintu kamar Farid yang sedang ia lewati itu terbuka lebar akibat terhembus angin kencang dari arah pintu dapur.

Wusssh!

Sontak, ia pun membelalak melihat secara langsung Penis besar dan panjang milik ayahnya sedang menancap kedalam lubang Vagina milik seorang perempun yang pastinya bukanlah sang bunda di posisi si perempuan mengangkang.

"Ya Tuhan" cepat-cepat ia menutup matanya, sungguh tak terpikir sedikitpun bakal melihat adegan seperti itu. Buluk kuduk merinding seketika lalu cepat-cepat melangkah menjauh dari sana.

Namun, begitu ia melangkah baru sampai meja makan, ternyata ayah-nya sudah datang menghampiri dalam kondisi telanjang bulat menendangnya langsung dari belakang

Bruugh!

Nathan pun jatuh tersungkur menabrak barang-barang di sekitar arah menuju meja makan itu.

"Anak Brengsek kau anjing!"

Farid langsung menghujam tubuh Nathan dengan pukulan bertubi-tubi tanpa memperhatikan kondisi Nathan saat ini pun sudah babak belur akibat dianiaya Oleh Vincent and the gank.

Nathan tentu saja tidak mampu menepis serangan bertubi-tubi dari ayahnya. Selain memang tidak ingin jika kekerasan di balas kekerasan adalah karena kondisi badan sangat lemas.

Tentu saja karena nyaris dua hari mendapat kekerasan fisik oleh Vincent, siapa sangka sekarang malah ditambah lagi siksaan dari ayahnya.

"Berani-benarinya kau mengintipku, Nathan! dasar anak kurang ajar! anak tak tahu diri!" Pekik Farid semasih terus-menerus memukulinya.

Bugh! Bugh! Bugh!

Nathan meringkuk tak berdaya, yang dia bisa saat ini hanyalah melindungi kepala dengan kedua tangannya saja.

Sementara wanita yang sedang bersama Farid di kamar tadi cepat-cepat memakai baju, kemudian pergi keluar dari rumah itu, dia takut apabila nantinya perseteruan antara anak dan ayah itu diketahui para tetangga berujung melihat keberadaan dia didalam sana.

"Aargghh sakit Ayah, uugkhhh!" Nathan berkata-kata disaat Farid sedang menendang perutnya.

Bugh!

Farid menghentikan aksinya sejenak kemudian melangkah masuk kedalam kamarnya Nathan, begitu keluar lagi dia membawa tas milik Nathan serta beberapa helai kain lalu melemparkan langsung barang itu ke wajah si Nathan.

"Pergi Kau dari sini!"

"Ayah ..." air mata Nathan berlinang membasahi pipi, begitu tega sang ayah mengusirnya hanya karena masalah ia memergoki kelakuan bejatnya.

"Jangan menyebut saya Ayah, karena saya bukan ayahmu, paham!" Ucap Farid dengan tatapan murka sembari berkacak pinggang tak peduli posisi tubuhnya yang masih telanjang.

Nathan sungguh terkejut mendengar kalimat itu, "Ap-apa maksud Ayah?" Seraya beranjak bangun meski payah.

"Jangan lagi kau sebut saya ayahmu, kau itu bukan anakku, kau hanya anak pungut yang ku temukan mengapung di sungai, cepat pergil! karenamu juga istriku pergi meninggalkanku! dasar anak pembawa sial! pergi kau!" Pekiknya lantas meraih handuk untuk menutupi alat kelaminnya, kemudian tangan Nathan dia raih dan diseret ke luar rumah.

"Pergi kau, jangan pernah lagi kau tampakkan wajahmu didepan saya"

"Ayah ..."- Nathan

"Cari saja sendiri orang tuamu yang sudah membuangmu ke sungai itu, cepat pergi!"

Sungguh hati bagai tersayat seribu belati didalam diri Nathan mendengar pernyataan pahit ini. Cukup sulit jika tidak percaya oleh apa yang barusaja ayahnya katakan lantaran melihat sorot mata sang ayah benar-benar tulus tentang kalimat tersebut, bukan hanya terbawa amarah belaka.

Air mata masih berlinang membasahi pipi, tanpa ada untaian kata yang mampu ia ucapkan, lekas beranjak berdiri kala sang ayah sudah menutup rapat-rapat kembali pintu rumahnya.

____

Sore hari itu masih gerimis cukup deras setelah diguyur hujan selama kurang lebih dua jam, tiada tetangga yang melihat adegan tersebut berlangsung lantaran jarak rumah Farid dengan rumah para tetangga cukup jauh terbentang tanaman jenis sawit adapun tetangga sebelah rumah posisi orangnya sedang tidak berada di rumah.

Suasana hati Nathan berkecambuk tak menentu akan nasib diri yang begitu tak jelas ini, siapakah ibu-nya, siapakah ayah-nya, siapakah sanak saudaranya dan siapakah sebenarnya dirinya?

Hatinya bimbang pikiran runyam, lalu berjalan menjauhi rumahnya tanpa arah dan tujuan, tas penampung kain yang ayahnya berikan ia tinggalkan. Menangis sesegukan seraya melangkah pelan bak orang pincang menyusuri jalan yang ia pijak menuju ke arah selatan, tiada insan yang melihatnya dikala senja mulai berganti malam.

Tak terasa kaki berpijak di sepanjang pinggir jalan itu berujung ke suatu jembatan penghubung antar kecamatan.

Berdiri diantara palang pembatas pada jembatan sembari diam dalam lamunan menatap indahnya sang surya mulai tenggelam, gerimis rintik masih terus berjatuhan membasahi setiap helai rambutnya yang sangat berantakan.

'Jika memang benar aku di pungut dari sungai, lebih baik jika kembali ke sungai'

Iblis jahanam telah merasuki akal sehatnya, tiada yang bisa ia pikir lagi selain lebih baik mati saja.

Lantas ...