Chereads / Dia, Saudaraku! / Chapter 10 - Episode 10

Chapter 10 - Episode 10

=Hari Sabtu=

Pukul 14:20

___________

Hari lalu telah terlewati, sedangkan sepanjang malam harinya telah di lalui mereka dengan pesta minuman keras sampai semuanya mabuk dan tertidur pulas.

Pada hari sabtu ini telah sampai di siang hari, cuaca berubah ekstrim mendung gelap nan pekat, angin bertiup kencang seakan meluluh lantakkan seisi bumi, serta gemuruh guntur sangat mengelegar terasa sangat mencekam, begitupun adegan yang terjadi dalam suatu ruang kosong berisikan banyak drum kosong serta beberapa kardus bekas tak terpakai, berlokasi cukup jauh dari pemukiman penduduk--didalam sebuah bangunan bekas markas penambang minyak bumi ilegal.

Vincent melanjutkan aksi penganiayaannya terhadap Nathan sampai kondisi Nathan lemas tak berdaya, posisi tangan masih terikat tali di kedua sisi, serta tanpa sehelai busana yang melekat di tubuhnya.

"Kenapa kau tidak membunuhku saja Vin?" Nathan berucap pelan menahan sakit disekujur tubuhnya.

"Apa loe bilang, membunuhmu? Hahaha" Gelak tawa Vincent diikuti para rombongan.

Datang mendekat, kemudian mencengkram kuat rahangnya, "Gua gak ingin loe langsung mati, tapi ... gua lebih suka melihat loe tersiksa begini, Dan semua Ini ... akibatnya kalau loe berani ikut campur sama urusan gua, dengar gak loe anak miskin!" Pekik-nya kemudian meludahinya "Cuih!"

Lain gaya bicara bila sedang ada para teman-temannya, begitulah Vincent Abisatya.

Meski sudah penuh luka lebam dan tidak berdaya pada diri Nathan, Vincent masih belum terpuaskan menganiayanya. Dia lepaskan tali pengikat itu sampai Nathan jatuh terkapar di lantai, kemudian Vincent hinggap di atas tubuhnya langsung menghujam wajahnya dengan pukulan bertubi-tubi. Meraih tangan Nathan sampai posisi Nathan berdiri. Sesudahnya langsung meninju bagian perut dengan lutut

Beeghh! Beghh!

"Aarggh!" Nathan pun langsung memuntahkan darah ke lantai kemudian tak mampu lagi mempertahankan kesadaran diri.

Tepat di adegan itu, terdengar suara tembakan dari arah hutan.

DOR!

"Vin, Vin Stop Vin, denger suara senapan gak barusan? Kayaknya ada orang berburu dekat sini" - Tian

"Iya Vin, bahaya kalo kita sampe ketauan orang. Lagian kayaknya tuh anak udah pingsan deh." Zadav meraih tangan Vincent supaya menghentikannya.

Merasa belum terpuaskan, Vincent tepis tangan si Zadav "Bacot loe diam, Zad!"

"Vin, Stop Vin ... loe Lihat tuh anak Jangan-jangan dia mati Vin." Sambung Farel.

Vincent menghentikan aksinya sejenak, memperhatikan Nathan baik-baik seraya menepuk-nepuk pipinya.

"Wei, sstt wei Hei, Nathan!"

Tersirat rasa takut yang mendalam dia rasakan. Sudah beberapa kali tepuk Pipi si Nathan tak ada respon samasekali, membuatnya semakin kebingungan.

"Nath, woi bangun Nathan!"

Beberapa teman juga kebingungan, tetapi bukan bingung antara Nathan baik-baik saja atau tidak melainkan bingung melihat ekspresi Vincent. Setahu mereka Vincent sangat membenci Nathan dan selama ini semasekali tidak menunjukkan rasa peduli Padanya.

___

Lain di bibir lain pula di hati, begitulah yang Vincent rasakan, sungguh hatinya sangat mengkhawatirkan Nathan atas perlakuannya. Tapi disisi lain Vincent juga berpikir tidak ingin jika rasa pedulinya itu diketahui oleh teman sekelompoknya, akhirnya beranjak berdiri kemudian menoleh sejenak keadaan cuaca di luar markas itu, dilihatnya hujan belum sepenuhnya turun lebat, hanya gerimis tipis saja. Serta terdengar lagi suara tembakan dari senapan angin.

DOR!

Segera dia mengambil keputusan "Bro, buru cabut!" Mengajak teman-temannya untuk segera pergi dari sana.

"Dia mati beneran kah, Vin?" Tanya Zadav, mendekat Nathan sejenak hendak memastikan masih ada napasnya atau tidak melalui hidung, tapi sebelum dia melakukan itu, tangan sudah di singkirkan langsung oleh si Vincent.

"Haissh, udahlah tak perlu loe pikirin dia, sebaiknya kita pergi dari sini, sebelum ada yang lihat keberadaan kita!"

Akhirnya seluruh teman sekelompoknya menuruti bergegas pergi meninggalkan Nathan seorang diri keadaan tergeletak tak sadarkan diri penuh luka lebam, didalam Markas itu.

___

Selepas Vincent beserta teman sekelompoknya pergi, hujan badai turun dengan lebatnya, pada atap markas tua itu sudah lapuk, hingga air dari hujan menetes (Bocor) tepat ke wajah Nathan yang sekarang terkapar di lantai.

Nathan kembali sadarkan diri, perlahan membuka kedua matanya, namun berat baginya untuk bergerak lantaran seluruh tubuh terasa kaku dan nyeri apalagi bagian kepala, rasanya sangat pusing.

Tubuh masih tergeletak diam, perlahan membuka dan menutup kedua matanya, membiarkan tetes demi tetes air hujan membasahi wajahnya, dalam angan teringat segala nasib buruk yang selalu menimpanya, mulai dari keluarga maupun di sekolah. Tidak pernah lepas dari penganiayaan fisik seperti sekarang ini.

'Kenapa semua ini selalu terjadi padaku?'

Meski susah sekali berdiri, dia tetap melakukannya, teringat sejak pulang dari sekolah hingga sekarang ini sudah berbeda hari, bahkan mungkin saja sekarang ini hampir sore, jam tanganpun tak punya yang dia bisa saat ini hanyalah sekedar menduga saja.

Perlahan beranjak dan berhasil berdiri, tubuh menggigil kedinginan lantaran tak memakai sehelai kain sehabis dilucuti oleh Vincent beserta teman sekelompoknya tadi dan juga karena cuaca ekstrim sehabis di guyur hujan deras, bahkan sekarang juga masih mendung gelap meski hujan sudah sedikit mereda.

Merangkak susah payah sembari memegangi perut mencari keberadaan bajunya, akhirnya memukan baju dan celana sekaligus tas penampung bukunya terletak tidak jauh dari tempat dia di ikat tali tadi.

Dia pakai baju itu, setelahnya melangkah pelan meski kesusahan, cara berjalannya kini seperti orang pincang, keluar dari rumah tua itu.

Sesudah diri keluar dari sana, diam sejenak sembari menolah-noleh lantaran tidak tahu sekarang ini berada dimana, seluruh penjuru arah yang dilihatnya hanyalah rerumputan liar yang tumbuh tinggi setara tubuhnya serta pohon-pohon besar.

'Di mana ini?'