Corry tidak menjawab sampai Roy menutup pintu.
"Kamu baru sebulan lebih di sini tapi kamu udah sering bikin ulah melebihi Roy. Kamu pernah menceburkan Linda ke kolam. Kalau dia tenggelam, gimana? Dan tadi tangan Roy hampir putus tangannya kamu pelintir."
"Saya tidak akan berulah kalau saya tidak diganggu, Bu," Fajar membela diri.
"Ibu pengen ketemu dengan orangtuamu. Ibu pengen mendiskusikan sesuatu dengan mereka."
"Daddy lagi di luar negeri, Bu."
Daddy? Wah, bahkan ayahnya saja dipanggil daddy. Keluarga modern ternyata.
"Kalau begitu ibu kamu." Kata Corry.
Fajar menatap tajam gurunya. Corry sampai bergidik dibuatnya. "Mama sudah meninggal, Bu."
Corry terhenyak di kursinya. Secuek itukah aku sampai status siswaku saja aku nggak tahu? Pikir Corry malu.
"Jadi kapan ayahmu pulang?" Corry berusaha bersikap tenang.
"Minggu depan, Bu," jawab Fajar.
"Jadi selama ini kamu dididik ayahmu seorang diri? Sudah lama ibu kamu meninggal?"
"Kurang lebih empat tahun yang lalu," jawab Fajar sendu.
Lagi-lagi Corry terkejut. Dalam hati ia memaklumi kenapa anak didiknya itu sering berulah. Ternyata tidak ada sosok seorang ibu yang mendidiknya. Empat tahun yang lalu? Berarti saat Fajar berumur sepuluh tahun.
"Daddy bilang, saya boleh menghajar siapa pun yang mengganggu keluarga kami," suara Fajar menyentakkan Corry yang tercenung.
"Hah?" Corry berseru kaget. "Ayahmu ngomong begitu?"
Fajar mengangguk bangga. "Siapa pun. Selama itu merugikan kami. Saya anak sulung, Bu, jadi saya harus bertanggung jawab terhadap adik-adik saya."
Corry mendadak pusing. Ayah macam apa mendidik anak seperti itu? Ayah sinting.
"Fajar, dengar, ya, Nak. Walaupun kamu jagoan dan orang lain bersalah sama kamu bukan berarti kamu bebas menghakimi mereka," kata Corry.
"Saya tidak mengganggu kalau mereka tidak memulai, Bu."
"Oke, kalau begitu kamu juga akan bertanggung jawab kalau korbanmu kenapa-kenapa, kan? Misalnya waktu Linda kamu ceburkan terus dia tenggelam dan mati, kamu bersedia masuk penjara, kan?"
Fajar terkejut. Sinar kebanggaan di matanya perlahan mulai meredup.
"Tapi Linda nggak mati, Bu. Dia bisa berenang."
"Oke, itu kita abaikan. Kasus yang baru tadi, kalau tulang Roy patah, bagaimana kamu bisa tanggung jawab?"
"Daddy banyak uangnya. Dia bisa bawa Roy berobat ke mana pun."
Wah, sifat sombongnya muncul.
"Katakanlah dia bisa sembuh tapi jadi cacat seumur hidupnya, terus orang tuanya nggak terima lalu melapor ke polisi, gimana?"
Wajah sombong itu mulai melunak.
"Kamu mungkin nggak dipenjara karena ayah kamu bersedia menggantikan kamu. Tapi bagaimana perasaanmu? Kamu bilang ayahmu satu-satunya orang tuamu. Nah, kalau dia yang menanggung akibat perbuatanmu, siapa yang akan membiayai hidup kamu dan adik-adikmu?"
Fajar menunduk. Ia tak berani menatap wajah gurunya yang memandangnya dengan sinar mata yang tajam.
"Fajar, dalam hidup ini uang bukanlah segalanya. Kita nggak selamanya bisa mengandalkan kekuatan uang." kata Corry. "Ibu perlu bertemu dengan ayahmu."
"Tapi daddy selalu sibuk, Bu," keluh Fajar.
"Kamu benar. Beberapa kali kepala sekolah mengundang ayahmu tapi beliau tidak pernah datang. Begini aja, kamu bawa surat ini," Corry menyerahkan sepucuk amplop ke tangan Fajar. "Bilang kapan aja ada waktu luang ayahmu, beliau harus datang."
"Baik, Bu," Fajar menerima surat itu.
"Kamu boleh pulang,"
Fajar beranjak dari tempat duduknya dan berpamitan. Di pintu ia berpapasan dengan Widya.
"Gimana, Coy?" tanya Widya. Ia duduk di bangku yang diduduki Fajar tadi.
"Payah, Wid. Ternyata dia punya ayah yang sombong. Pantas kelakuan anaknya begitu." Corry menceritakan semuanya.
"Pantas aja dagu si Fajar terangkat tinggi sampai ke langit. Ada izin ternyata dari ayahnya," komentar Widya.
"Biasanya, Wid, keluarga seperti itu sebenarnya rapuh jadi mereka menjadikan uang dan kekuasaan sebagai tameng. Ayahnya super sibuk, ibu sudah meninggal, wajar anaknya kurang kasih sayang begitu." Kata Corry. "Mungkin nggak kurang sih, tapi caranya yang salah."
"Kamu benar," kata Widya. "Tapi Clara kayaknya nggak gitu deh. Dia malah terkesan pemalu gitu. Iya, nggak, sih?"
"Iya. Dia lebih ramah. Siapa sih wali kelasnya?"
"Pak Gunawan."
"Oh," Corry mengangguk-angguk. "Tadi aku nyuruh ayahnya datang kapan pun beliau punya waktu."
"Harus dipaksa, Coy. Selamanya dia nggak akan punya waktu mengurus hal-hal yang dianggapnya sepele dan nggak penting."
"Yah, semoga aja Fajar nggak berulah lagi."
"Semoga," sahut Widya. "Yuk, pulang. Lapar nih. Nungguin kamu jadi terlewatkan deh satu jam makan siangnya."
***
Nama : Fajar Johnatan Utama
Tempat/ Tanggal Lahir : Bandung/ 21 Juli 2008
Status : Anak Kandung
Anak : I dari 4 (empat) bersaudara
Alamat : Permata Indah Blok A-10 Jakarta
Nama Ayah : Frans Alexander Utama
Alamat : Bandung
Nama Wali : Frans Richard Utama
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Bandung
Corry menutup buku file yang berisi informasi identitas anak didiknya di kelas IX-A dan menyerahkannya kepada Bu Wati, petugas tata usaha.
"Belum ada yang baru, ya, Bu? Ini masih data dari Bandung kemarin," kata Corry.
"Masa sih, Bu?" tanya Bu Wati.
"Iya, ini alamat mereka masih di Bandung," Corry menunjuk data alamat yang tertera di buku besar itu.
"Eh, iya, Bu, karena ini masih alamat sementara mereka katanya, Bu," jawab Bu Wati. "Bakalan pindah juga katanya."
Alamat sementara di perumahan elite? Pasti tajir sekali, pikir Corry. Ia mencatat alamat itu di HP-nya.
"Jadi ke rumah Fajar?" tanya Widya yang tiba-tiba sudah muncul di belakangnya.
"Ah, kamu ngagetin aja deh. Tahu dari mana aku di sini?" gerutu Corry.
"Kan aku pasangin kamu GPS," Widya terkekeh.
"GPS kepalamu," Corry juga terkekeh.
"Gimana? Jadi?" ulang Widya.
"Jadi, tapi nggak hari ini, Wid," Corry melirik jamnya. "Aku mau ke Harapan Baru siang ini."
"Ngapain?"
"Kangen aja. Udah lama nggak ke sana. Sejak putus sama Hendra."
Ada mendung di wajah Corry saat menyebut nama itu. Ada perih di hatinya. Dan masih sakit. Sangat sakit.
"Hendra lagi, Hendra lagi," gerutu Widya. "Udahlah, lupain aja dia. Nggak penting juga diingat-ingat."
"Lagi usaha, Wid," Corry berusaha tersenyum. "Katanya kesibukan bisa membantu bikin lupa. Makanya aku mau ke sana dulu. Ikut?"
"Sorry, Coy, kamu aja kali ini, ya. Ada janji sama Bona," tolak Widya.
"Ke tukang jahit?" tebak Corry.
"Tukang jahit?" dahi Widya berkerut. "Kok tukang jahit? Ngapain?"
"Ngepas baju pengantin."
Widya tertawa terbahak-bahak. "Kamu ada-ada aja. Mana mungkin mendadak Bona ngajak aku nikah?"
"Siapa tahu sindrom pra nikahnya udah hilang," kata Corry. "Ya, udah, nggak usah kamu desak dia. Nanti juga bakalan datang waktunya."
"Tapi sampai kapan, Coy? Ingat umur kita udah berapa? Bulan depan aku 29, lho." Widya menunduk. "Kadang mau nyerah aja tapi masih sayang."
Corry merangkul pundak Widya. Bersisian mereka melangkah meninggalkan ruang tata usaha.
"Kok jadi sedih gitu sih? Sorry, bukan maksudku bikin kamu sedih."
"Nggak apa-apa kali," Widya tertawa ceria lagi. "Okey deh. Kalau begitu, aku pulang duluan, ya. Bye!"
"Hati-hati, ya." Pesan Corry.
Widya melambai. Sekolah sudah sepi. Corry bergegas menuju parkiran. Ia menyetir mobilnya dan hampir berbelok meninggalkan komplek sekolah ketika matanya menangkap bayangan Fajar dan Clara duduk di halte depan sekolah. Corry melirik jamnya. 14.45 wib. Akhirnya Corry mundur lagi.
"Kok belum pulang?" sapa Corry. Ia menurunkan kaca mobilnya.
"Ban mobilnya kempes, Bu." Clara yang menjawab. "Pak supir lagi ngegantiin katanya."
"Masih lama?" tanya Corry.
"Entahlah, Bu. Padahal kami sudah menunggu hampir satu jam." Jawab Corry.
"Mungkin macet," kata Corry. "Yuk, pulang bareng Ibu aja,"
Kedua kakak beradik itu berpandangan. Saat Clara hampir mengangguk, Fajar malah menggeleng.
"Nggak usah, Bu," tolaknya.
"Lho, kenapa?" tanya Corry.
"Sebentar lagi Pak Amir pasti datang kok." Jawab Fajar.
"Tapi, Kak…" suara Clara terputus oleh deringan HP-nya. "Pak Amir," ia tersenyum. "Halo, Pak. Kenapa?"
"Kayaknya masih lama, Non. Macet parah ini."
"Jadi gimana dong?"
"Kalau menunggu saya bisa lama, Non. Non Clara dan Mas Fajar pulang naik taksi aja, ya."
"Ya, udah, Pak. Aku tanya Kak Fajar dulu."
Clara mematikan HP-nya dan memandang kakaknya yang juga menatapnya dengan penuh tanda tanya.
"Kak, kata Pak Amir kita naik taksi aja. Dia terjebak macet katanya. Masih lama."
"Gimana sih Pak Amir?" gerutu Fajar.
"Ya, udah, sama Ibu aja, " kata Corry.
"Nggak usah. Bu. Ntar ngerepotin lagi," Fajar masih bersikukuh. "Rumah kami jauh."
"Permata Indah, kan?" kata Corry. "Ibu juga lewat dari sana kok."
"Kok Ibu bisa tahu alamat kami?" tanya Clara.
"Iya, dong. Ibu kan wali kelas kakakmu," jawab Corry. "Ayo, naik!"
"Tapi, Bu," Fajar masih membantah. Tapi melihat adiknya sudah membuka pintu mobil gurunya, mau tak mau ia terpaksa menurut.
"Lho, duduk di depan dong satu," kata Corry saat Fajar juga membuka pintu belakang mobil. "Ibu kan bukan Pak Amir."
Dengan enggan Fajar duduk di samping Corry. Gadis itu tersenyum penuh kemenangan lalu menjalankan mobilnya.
"Kalian pasti udah lapar," kata Corry.
"Iya nih, Bu," jawab Clara jujur membuat kakaknya mendelik ke arahnya.
"Sebentar lagi, ya," kata Corry. "Masih tahan, kan 15 menit lagi?"
"Memangnya kita mau ke mana, Bu?" akhirnya Fajar buka mulut.
"Kita mau ke Panti Asuhan Harapan Baru. Kita makan siang di sana, ya,"
Kakak beradik itu berpandangan tapi mereka hanya terdiam. Tak berapa lama kemudian, mereka sampai. Belasan anak-anak langsung berhamburan mengerumuni mobil Corry. Gadis itu tersenyum lebar sambil membuka pintu.
"Tante ke mana aja? Kok nggak pernah datang?"
"Kami udah kangen, lho, Tante."
"Tante juga udah kangen sama kalian semua." Corry mencium mereka satu persatu.
"Bu…"
Corry menoleh dan melihat Clara kebingungan di belakangnya.
"Astaga…" Corry tersadar. "Fajar, Clara, sini, Nak!"
Fajar dan Clara mendekat. Clara langsung memegang tangan Corry erat-erat.
"Nggak apa-apa, nggak usah takut," kata Corry. "Anak-anak, ini Fajar dan Clara. Mereka murid Tante di sekolah. Panggil kakak, ya, karena mereka lebih tua dari kalian semua. Mereka udah SMP, lho. Kalian kan belum?"
"Baik, Tante."
Satu per satu anak-anak itu menyalami mereka yang disambut Clara dengan takut-takut sementara Fajar tetap memasang wajah datar tanpa ekspresi. Saat mereka masih bersalaman, sebuah mobil box dengan merk restoran terkenal memasuki pekarangan panti.
Beberapa orang laki-laki berseragam putih dan memakai celemek coklat mengangkat kotak makanan. Bu Yuli, pemilik panti mengarahkan para pegawai restoran itu mengangkut semua makanan itu ke dalam panti.
"Nah, sekarang kita makan, ya. Semuanya tertib." Kata Corry.
Anak-anak itu semuanya berjumlah 17 orang. Mereka berbaris rapi dan mengambil masing-masing bagiannya dengan tertib.
"Ayo, Nak, kalian juga," kata Corry kepada kedua siswanya.
Mungkin karena sudah lapar, Fajar dan Clara makan dengan lahap seakan tidak menyadari bahwa mereka tidak pernah makan di tempat seperti itu. Setelah selesai makan mereka berpamitan pulang.
Ketiganya membisu sepanjang perjalanan. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing sampai tiba-tiba HP Fajar berdering. Dan wajah yang sedari tadi ditekuk itu bersinar.