Chereads / BUKAN DUDA BIASA / Chapter 11 - BAB 10

Chapter 11 - BAB 10

Corry menatap hujan gerimis yang sedari sore mengguyur Jakarta. Udara dingin seakan menusuk kulitnya. Ia merapatkan cardigannya dan memeluk tubuhnya. Café milik Bona, kekasih Widya, tidak seramai biasanya. Mungkin karena hujan, pikir Corry.

"Ry, tunggu di dalam aja, biar lebih hangat," Bona muncul di depannya. "Widya bentar lagi sampai."

"Nggak apa-apa kok, Bon, di sini adem," tolak Corry.

"Oh, ya, aku lupa kalau kamu suka mandangin hujan," kata Bona.

Corry tersenyum mengiyakan.

"Ya, udah, aku masuk dulu, ya," kata Bona.

Corry mengangguk. Ia mengalihkan pandangannya ke kaca pembatas café dengan taman kecil yang ada di tengah café dan di ruangan terbuka. Air hujan mengalir melapisi kaca bening itu sehingga ia tidak dapat melihat ke seberang kaca.

"Sorry, ya, Coy," tiba-tiba Widya muncul menepuk bahunya dan langsung duduk di hadapannya.

"Lima menit lagi kamu nggak datang, aku pulang," sungut Corry.

"Nggak mungkin," bantah Widya. "Kalau aku nggak datang juga kamu pasti masih betah di sini. Buktinya aku datang kamu nggak sadar. Hujan selalu menghipnotis kamu."

"Sok tahu kamu," kata Corry. "Kok lama sih? Dari mana aja?"

"Macet, Bu," kata Widya. "Ini jam pulang orang kantoran, mana hujan lagi."

"Tuh, laporan dulu ke dalam," Corry menelengkan kepalanya ke dalam café.

"Laporan apa?" kata Widya bingung sambil mengikuti arah pandang Corry.

"Tuh, si Bona,"

Bona melambai ke arah mereka. Keduanya membalas.

"Sebentar," Widya masuk menemui kekasihnya.

Tak lama kemudian ia kembali sambil membawa kopi di tangannya.

"Apa kabar, Coy?"

"Norak kamu," seru Corry. "Baru tadi siang kita video call-an. Memangnya aku kenapa?"

"Aku nggak habis pikir kenapa, ya, Pak Kus menghukum kamu juga?" tanya Widya.

"Kalau dipikir-pikir aku memang salah bikin keputusan sepihak," kata Corry.

"Ini bukan pertama kali guru bikin hukuman kayak gitu," sanggah Widya. "Apa karena ayah Fajar dan ayah Roy orang kaya, ya, jadi Pak Kus nggak mau kehilangan donator hebatnya."

"Bisa jadi," Corry menyeruput jusnya. "Gimana kabar sekolah?"

"B aja," kata Widya. "Tapi kamu sadar nggak, sih, sejak ada Sonya, Pak Kus tuh berubah banyak, lho."

"Ah, masa sih?" Corry menggeser gelas jusnya ke samping.

"Iya, dan kita sesama guru juga sering diadu dombanya. Untung kita nggak kepancing."

"Udahlah, selama kita bisa jaga diri ngapain peduli sama anak kecil begitu?"

"Kecil apaan? Dia udah 25, lho. Cuma beda tiga tahun doang dari kamu,"

"Dan empat tahun dari kamu," Corry tersenyum.

"Dua hari ini si Clara diantar jemput sama ayahnya, lho," Widya tiba-tiba mengalihkan topik pembicaraan.

"Trus?" Corry menaikkan alisnya. "Hubungannya dengan aku?"

"Ternyata dia ayah yang romantis, ya," kata Widya. "Dia selalu mengantar Clara sampai ke halaman sekolah. Peluk, cium, baru pergi." Widya memperagakan gerakan memeluk dan mencium kepada Corry tapi gadis itu langsung menjauhkan tubuhnya.

Corry mengaduk jusnya acuh tak acuh. Ia menatap lurus ke balik kaca café yang masih dialiri air hujan. Hatinya mencelos mengingat ia dan Hendra sering duduk di titik itu.

"Hei…" Widya melambaikan tangannya di depan wajah Corry membuat gadis itu terkejut dan memundurkan kepalanya. "Masih di bumi kamu?"

"Apaan sih?" Corry mengibaskan tangan Widya.

"Kamu kepikiran ayah Fajar, ya?" goda Widya.

"Kepalamu," sungut Corry sambil menyentil kepala Widya.

"Nggak apa-apa, aku juga mikirin dia kok," Widya terkekeh geli.

"Bona…" Corry memutar tubuhnya ke belakang pura-pura mencari Bona

"Idih, kamu," Widya tertawa. "Aku nggak mikirin macam-macam. Yang kupikirin tuh, ya, kok semuda itu dia udah punya anak seumuran Fajar? Kalau ditaksir kayaknya dia masih menjelang empat puluh deh."

"Gampang, mungkin dia nikah muda," kata Corry. "Ribet amat mikirnya, Bu? Lagian muda bagaimana? Kalau sekarang dia 40 tahun, berarti dia menikah di usai 25 tahun kaarena Fajar sekarang 14 tahun. Masih normal kok. Aku tuh masih kesal sama dia."

"Lama-lama kesal bisa jadi suka, lho," kata Widya.

"Dalam mimpimu," Corry menjulurkan lidahnya.

***

Frans memasuki café itu dengan kepala pusing. Setelah menyebutkan pesanannya kepada waiter, dia duduk di dekat taman café. Sekilas ia melihat jam di dinding café. Hampir jam sepuluh. Ia menghela nafas berat dan kembali memandang hujan yang semakin deras. Pikirannya melayang ke rumah. Setengah jam yang lalu, ia menghukum Fajar.

"Kamu dari mana?" tanya Frans.

Fajar yang baru datang, menekuri lantai, tak berani memandang wajah ayahnya.

"Daddy tanya kamu dari mana, Fajar?" ulang Frans.

"Fajar dari studio, Dad," jawab Fajar takut-takut.

"Menggebuk drum lagi?" tanya Frans.

Fajar mengangguk.

"Siapa yang ngasih izin?"

Fajar menggeleng pelan, masih menunduk.

"Kamu tahu kan kalau Daddy nggak suka kamu main drum?"

Fajar mengangguk.

"Jawab, Fajar," seru Frans. Suaranya mulai naik. "Kalau berani berbuat, kamu juga harus berani tanggung jawab."

Clara yang juga duduk di sofa yang sama dengan ayahnya tidak berani menyela.

"Tapi Fajar suka, Dad," kata Fajar.

"Kemarin kamu kena skors dari sekolah, Daddy nggak bilang apa-apa karena Daddy anggap kamu nggak salah. Karena kamu belain adek kamu. Daddy sampai kembali lagi ke sekolah memohon skorsmu ditinjau ulang walaupun wali kelasmu tetap ngotot." Kata Frans. "Kenapa akhir-akhir ini kamu suka membangkang Daddy?"

"Fajar nggak membangkang, Dad. Fajar suka main drum," suara Fajar bergetar.

"Memangnya apa yang bisa kamu andalkan dari drum itu?" seru Frans. "Daddy nggak melarang kamu main makanya Daddy beli drum, kamu main di rumah. Tugas utama kamu itu belajar!"

"Fajar nggak bisa main kalau nggak ada yang ngelatih, Dad." kata Fajar.

"Pokoknya Daddy nggak suka kamu main keluyuran, apalagi pergi tanpa izin Daddy,"

"Tapi, Dad…"

"Nggak ada tapi. Sekarang berdiri di luar. Kamu harus dihukum!" kata Frans tegas.

Untuk pertama kalinya sejak memasuki rumah, Fajar mendongak dengan mata berkaca memandang ayahnya.

"Jangan cengeng!" Frans mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Kamu udah kelewatan. Kamu udah nggak dengar omongan Daddy lagi. Berdiri di luar!"

Fajar akhirnya melangkah ke luar rumah.

"Tapi, Dad, di luar hujan," protes Clara.

"Hujan akan membantu kakakmu berpikiran jernih," kata Frans. "Kamu masuk kamar. Eddy sama Didi udah tidur, kan?"

"Udah, Dad," Clara bangkit dari duduknya. Ia berjalan menaiki tangga sambil melihat ke arah pintu yang tertutup.

Frans mengeraskan hatinya. Sebenarnya ia tidak tega tapi ia harus mendisiplinkan anak-anaknya. Ia harus bisa menempa mereka menjadi anak yang tangguh, tidak cengeng dan berpendidikan. Dan ia teringat perkataan Corry bahwa ada konsekuensi dalam setiap perbuatan.

"Dad," Clara berhenti di tengah tangga.

Frans mendongak, "Ya, Nak?"

"Bu Corry juga kena skors, lho,"

Frans tercekat. "Kena skors? Kok bisa?"

"Entahlah, Rara juga dengar dari gosip-gosip sesama siswa," Clara mengangkat bahunya dan melanjutkan langkahnya menuju kamarnya.

Frans tercenung. Kenapa Corry juga kena skors, ya? Pikirnya. Ia memang kesal dan marah kepada gadis itu tapi setelah ia merenungkan semua perkataan Corry akhirnya ia bisa mengerti dan menerima hukuman Fajar. Ia terbayang ketenangan dan ketegasan Corry saat membantah kepala sekolah. Ia tetap teguh pada pendiriannya.

Frans melangkah ke luar. Ia melihat Fajar mulai menggigil.

"Fajar, masuk!"

Fajar menatapnya heran. Kok tumben? Belum 15 menit, pikirnya bingung.

"Kamu masuk, langsung mandi sana. Kali ini Daddy kurangi hukumanmu. Tapi tidak ada lain kali. Mengerti?"

Fajar mengangguk setengah hati.

"Daddy mau ke luar sebentar,"

Dan di sinilah ia. Di café itu merenung. Dan saat mengangkat wajahnya, lewat kaca pembatas café dan taman, ia melihat Corry duduk sendirian agak jauh di hadapannya juga memandang hujan. Jantungnya terlonjak.

Gadis itu memandang hujan dengan wajah murung. Frans teringat perkataan Clara bahwa Corry juga mendapat skors dari kepala sekolah. Benarkah? Tapi kenapa? Apakah karena persoalan Fajar? Bukankah aku sudah tidak mempersoalkan? Pikiran Frans dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawabnya sendiri.

Ia melihat Corry melirik jam tangannya dan dengan latah ia juga ikut melirik jam tangannya. Astaga, sudah jam 11 malam. Corry bangkit berdiri dan berjalan menuju kasir. Setelah berbincang sejenak dan membayar, Corry keluar. Frans bergegas mengikutinya tapi gadis itu sudah masuk ke dalam taksi yang segera meninggalkan café.

***