"Kemarin aku menemui Corry!"
"Hah?" Bu Maria terkejut. "Untuk apa kamu bertemu gadis penipu itu?"
"Ma…" seru Hendra. "Udah berkali-kali aku bilang, jangan pernah menyebut Corry penipu. Dia bukan penipu!"
"Lalu apa lagi sebutannya kalau bukan penipu?" Bu Maria marah. "Dia membohongi kita selama ini."
"Dia nggak bohong, Ma. Dia hanya butuh waktu untuk mengatakan itu dan akhirnya dia ngomong kan?"
"Kenapa nggak sedari awal?" protes Bu Maria keras.
"Ssttt, jangan keras-keras, Ma," Hendra menoleh ke arah istrinya. "Helena sedang tidur. Dia perlu istirahat banyak."
"Pokoknya mama nggak sudi mendengar namanya lagi," Bu Maria mengecilkan volume suaranya. "Mama kecewa sama dia."
"Harusnya dia yang kecewa sama kita, Ma. Apalagi sama aku," kata Hendra.
"Dia yang salah kok dia yang kecewa," dengus Bu Maria.
"Karena aku pengecut. Aku memutuskan dia sepihak dan menikah tanpa memberikan kejelasan tentang hubungan kami."
"Jadi kamu menyesal menikahi Helena?" suara Bu Maria seperti bisikan. "Dia sedang hamil dan mengandung cucu mama. Seandainya Corry tidak mandul, mama nggak akan marah dan kecewa seperti ini. Pasti dia yang jadi menantu mama"
"Ma, aku nggak bilang aku menyesal. Helena baik. Tapi aku belum bisa mencintainya, Ma. Hatiku masih sepenuhnya milik Corry."
"Hendrawan…" Bu Maria menyebut nama lengkap anaknya pertanda bahwa ia sedang marah besar. "Jangan pernah mengatakan itu lagi."
"Kalau saja kita bisa realistis, Ma, dan bisa menerima keadaan Corry. Toh itu bukan keinginan dia."
"Mama hanya ingin cucu penerus keluarga kita, Sayang. Kakek kamu anak tunggal, papa kamu juga anak tunggal, kamu juga anak tunggal. Dan kalau kamu menikah dengan Corry, keturunan kita akan putus sampai pada kamu."
"Kan kita bisa adopsi, Ma," bantah Hendra.
"Itu nggak sama karena itu bukan darah daging kita," kata Bu Maria.
Hendra meremas rambutnya dan menyandarkan tubuhnya ke sofa. Kepalanya mendongak menatap langit-langit kamar itu.
"Hanya karena kamu bertemu dia kemarin, kamu udah galau berat seperti ini," tegur Bu Maria. "Itu makanya mama menyuruh kamu pindah ke Bandung, biar nggak jumpa lagi sama dia. Eh malah kejadian. Jangan-jangan dia sengaja menemui kamu lagi."
"Ma, andai bisa seperti yang mama inginkan," keluh Hendra capek. "Kenyataannya aku yang harus mendatanginya dan memohon padanya."
"Apa maksudmu?" Bu Maria memutar tubuhnya menghadap anaknya.
"Sebenarnya kemarin aku yang menemui Corry, Ma."
"Untuk apa?" bentak Bu Maria keras, tapi kemudian ia memelankan suaranya saat menyadari keberadaan Helena di tempat tidur. "Kenapa kamu melakukan itu?"
"Karena aku butuh darahnya untuk menyelamatkan Helena, Ma!" Hendra juga berseru marah.
"Da…darah…," Bu Maria tergagap. "Apa... apa... maksudmu?"
"Corry punya golongan darah yang sama dengan Helena. Kemarin persediaan darah AB kosong jadi aku memohon kepada Corry. Hanya dia yang bisa menolong. Aku memohon dengan menelan harga diriku, Ma." Mata Hendra berkaca-kaca. "Aku memang tak tahu diri. Setelah menyakitinya begitu dalam, aku harus memohon, Ma. Demi keselamatan Helena dan cucu yang mama idamkan."
Bu Maria terdiam. Ia tak sanggup mengucapkan apa-apa lagi.
"Seharusnya Corry menolak, Ma. Dan itu wajar kalau dia menolak mendonorkan darahnya. Tapi apa? Dia bersedia, Ma. Dia mendonorkan darahnya satu kantong penuh, Ma. Betapa baiknya dia. Betapa mulia hatinya," air mata Hendra akhirnya menetes. "Jadi jangan pernah bilang kalau dia jahat! Akulah yang jahat, Ma. Aku meninggalkannya bukan karena aku tidak mencintainya. Ini semua demi mama."
Bu Maria memeluk bahu Hendra. Ia terisak.
"Berdoa aja, Ma, semoga Helena semakin baik dan persediaan darah di rumah sakit ini cukup sehingga aku tidak harus menebalkan mukaku untuk memohon kepada Corry lagi."
Helena yang mereka kira sudah tidur, sekuat tenaga menahan isak tangisnya. Ia mendengar semua pembicaraan suami dan mertuanya. Hatinya sungguh sakit mengetahui kalau suaminya masih mencintai Corry. Dan ia baru tahu kalau Corry, orang yang mendonorkan darahnya kemarin, adalah mantan tunangan suaminya.
"Ma, pernah nggak mama pikir kalau ini adalah karma yang harus kuterima?"
Pertanyaan Hendra mengoyak hati Bu Maria. Saat ia hendak menjawab, pintu kamar terbuka.
***