Chereads / BUKAN DUDA BIASA / Chapter 12 - BAB 11

Chapter 12 - BAB 11

Corry sedang menata mawar-mawar di taman belakang bersama ibunya saat Bi Ita datang tergopoh-gopoh dan menyerahkan handphonenya.

"Non Corry, hp non dari tadi bunyi bunyi terus. Tak pikir siapa yang nyanyi, ternyata hp-nya non," kata Bi Ita terkekeh.

"Makasih, Bi," Corry menerima hp-nya dan melihat nama Widya di layar.

"Coy…"

Corry menjauhkan telinganya dari handphone karena suara Widya yang menggelegar bisa memecahkan gendang telinganya.

"Ada apa sih teriak-teriak? Udah suara cempreng begitu," omel Corry. "Kamu nggak lagi di kelas?"

"Ini jam istirahat, Nona," seru Widya dari seberang sana. "Kamu tahu nggak?"

"Nggak," jawab Corry sedikit kesal. "Tahu apa?"

"Skors kamu dicabut. Kamu boleh ngajar lagi besok? Hore..." terdengar suara tepuk tangan.

"Hah? Dicabut?" seru Corry. Ia melepaskan sarung tangannya. "Ini masih hari ketiga, Wid."

Corry menggeleng saat Bu Hanna bertanya melalui tatapan matanya.

"Nggak tahu, barusan Pak Kus menyuruh Bu Winda membatalkan suratnya,"

"Masa sih?" kata Corry. "Nggak mungkin deh Pak Kus segampang itu mengubah keputusannya. Apa kata dunia?"

"Kamu dibilangin nggak percayaan sih. Tunggu aja suratnya," kata Widya.

"Ok."

Benar saja. Saat ia mematikan hp-nya, notifikasi pesan berbunyi. Ia segera membuka pesan whatsapp dan melihat selembar surat tentang pembatalan hukuman skorsnya.

"Bu Corry, ini surat pembatalan skors Ibu. Besok Ibu masuk lagi, ya." pesan Bu Winda disertai tiga emoji hati.

"Kok bisa, Bu?" Corry membalas pesan tersebut.

"Pak Kus nggak korslet lagi mungkin, hahahaha..." balasan Bu Winda tidak memuaskan Corry.

"Masa sih? Kayaknya nggak mungkin deh," gumam Corry sambil duduk di pinggir tembok pembatas taman.

"Ada apa, Ry?" tanya Bu Hanna. Ia juga meninggalkan pekerjaannya dan duduk di samping putrinya.

"Ini, Ma," Corry menunjukkan hp-nya supaya ibunya bisa membaca pesan itu. "Kayak nggak masuk akal aja Pak Kus yang otoriter itu berubah pikiran."

"Bisa jadi beliau menyadari bahwa apa yang kamu lakukan itu hanya demi kebaikan anak-anak dan sekolah," kata Bu Hanna setelah membaca isi surat dari whatsapp hp Corry.

"Aku takut ada sesuatu yang lain, Ma."

"Jangan berpikiran buruk. Harusnya kamu senang," kata Bu Hanna. "Tiga hari ini di rumah kamu kayak orang linglung aja. Mama tahu badan kamu aja yang di rumah tapi hati dan pikiran kamu ada di sekolah."

"Iya, Ma. Aku udah kangen ke sekolah," Corry bersandar di pundak ibunya.

"Iya, udah. Tunggu apa lagi," Bu Hanna tersenyum lebar. "Mama juga dulu begitu waktu masih aktif mengajar."

"Aku tahu, Ma. Kan mama tetap pergi sekolah walaupun aku atau kakak-kakak lagi sakit," sindir Corry.

"Kan kamu sakitnya cuma demam biasa," kata Bu Hanna.

Mereka berdua tertawa. Bu Hanna memang bersyukur bahwa di antara ke empat anaknya ada yang meneruskan jejaknya sebagai tenaga pendidik.

***

Keesokan harinya Corry berangkat ke sekolah diantar ayahnya. Ia bertemu dengan Frans yang mengantar Clara sampai ke halaman sekolah.

"Belajar yang rajin, ya, Ra," laki-laki itu memeluk Clara dan mencium kedua pipinya. "Daddy pergi dulu."

Oh, ini maksud Widya romantis, pikir Corry.

"Hati-hati, Dad," kata Clara.

Mata mereka beradu tapi tidak saling menyapa. Laki-laki itu segera melengos dan masuk ke mobilnya. Ia melambaikan tangannya kepada Clara dan dibalas gadis remaja itu sambil tersenyum.

"Selamat pagi, Bu," sapa Clara sopan.

"Selamat pagi, Ra," balas Corry sambil menjejeri langkah Clara. "Fajar gimana?"

"Kak Fajar sakit, Bu," jawaban Clara membuat Corry terkejut dan berhenti melangkah.

"Sakit?" ulang Corry. "Sakit apa?"

"Demam aja sih, Bu. Kemarin malam Daddy menghukum dia."

"Fajar dihukum? Kenapa?"

"Iya, Bu. Kak Fajar pergi diam-diam main drum. Daddy nggak suka. Apalagi kakak perginya nggak pamitan. Nah, waktu pulang, Daddy menghukum dia berdiri di halaman rumah."

"Hah? Beberapa malam ini kan hujan?" seru Corry.

"Makanya Kak Fajar jadi demam."

"Ayah kamu sinting, ya," Corry menutup mulutnya setelah mengucapkan kalimat itu. Clara tertawa. "Sorry, ya, Ra,"

"Nggak apa-apa, Bu," Clara masih tertawa geli.

"Fajar udah berobat?"

"Udah. Dokter Lucas yang ke rumah karena kakak nggak mau keluar rumah."

"Ya, udah, kamu ke kelas, ya."

"Ya, Bu." Clara berlalu dari hadapan Corry.

Sementara di mobilnya Frans tersenyum senang melihat Corry sudah kembali ke sekolah. Kemarin ia mendatangi Pak Kusuma dan mempertanyakan keputusan kepala sekolah itu menskors Corry.

"Apa maksud Bapak memberikan hukuman skors kepada Corry?" tanya Frans langsung.

"Supaya dia tidak semena-mena terhadap anak-anak, Pak." jawab Pak Kusuma. "Apalagi kepada Fajar, anak Bapak."

"Bukankah saya tidak mempersoalkan itu? Saya sudah menerima keputusan Bu Corry karena memang anak saya salah, Pak." kata Frans. "Lagipula seperti kata Bu Corry, anak saya sama statusnya dengan anak-anak lain di sekolah ini terlepas apa peran orangtuanya di sini. Tidk ada yang istimewa!"

"Tapi, Pak..." Pak Kusuma tergagap. Ia mengira Frans akan senang dengan keputusannya.

"Kalau Bu Corry harus bertanya tentang hukuman anak-anak kepada Bapak, berarti saat menjatuhkan hukuman kepada para guru, Bapak juga harus bertanya kepada saya selaku pemilik sekolah ini," kata Frans dingin. "Termasuk hukuman kepada Bu Corry itu."

"Ba... baik... Pak," kata Pak Kusuma terbata-bata.

"Saya tidak mau tahu, pokoknya Bu Corry harus sudah kembali mengajar besok."

"Tapi... tapi... Pak." Pak Kusuma terperanjat.

"Kalau tidak, Bapak yang keluar!" suara Frans tegas membuat jantung lelaki bertubuh tambun itu berdetak lebih cepat.

"Baik, Pak. Saya akan mencabutnya." kata Pak Kusuma tanpa pikir panjang.

"Dan jangan lupa segera siapkan laporan keuangan sekolah ini," kata Frans sebelum pergi.

Pak Kusuma menghenyakkan pantatnya di kursi sambil mengelus dada.

Frans terkekeh mengingat kejadian itu. Ia bisa melihat dengan jelas perubahan wajah kepala sekolah itu dari jumawa menjadi pucat pasi.

"Saatnya bersih-bersih," kata Frans.

***

"Selamat datang kembali, Bu Corry," Bu Winda yang sudah ada di ruang guru menyambut kedatangan Corry sambil tersenyum. "Enak liburnya?"

"Ah, Ibu bisa aja," Corry tersenyum. "Tapi kenapa mendadak skors saya dicabut, ya, Bu?"

"Entahlah, saya juga nggak tahu, Bu," Bu Winda mengedikkan bahunya. "Yang penting kamu udah kembali mengajar lagi. Sekolah sepi nggak ada kamu."

"Ibu gombal, ah," Corry tertawa. Ia memang dekat dengan Bu WInda. "Nggak apa-apa sih, Bu, tanggung aja liburnya cuma tiga hari doang," lanjut Corry.

Mereka berdua tertawa terbahak-bahak.

"Enak banget, ya, suaranya," Sonya yang baru datang menyindir.

Bu Winda dan Corry berpandangan tapi mereka tidak mengucapkan sepatah kata pun untuk membalas ucapan Sonya. Keduanya duduk di kursi masing-masing.

"Coy…" Widya muncul.

"Suara kamu dikecilin dong volumenya. Makin hari kamu makin Tarzan aja deh," kata Corry.

"Senang aja kamu udah kembali. Malas lihat wajah cantik tapi berbisa," kata Widya sambil melirik Sonya tajam.

"Maksud kamu siapa?" sambar Sonya.

"Kok ada yang merasa, ya," kata Widya acuh. "Eh, eh, gimana liburnya? Enak banget jadi kamu, ya, libur gratis."

"Libur apaan? Orang dihukum dibilang liburan," sungut Sonya.

"Garing banget, ya, hidup kamu," ejek Widya.

"Udah, ah, kamu ini," Corry menarik wajah sahabatnya menghadapnya. "Ngapain kamu tertarik ngeladenin dia. Kamu nggak kangen aku?"

"Kangen dong," Widya memeluk Corry erat.

Sonya mencibir melihatnya.

***

"Hei, melamun," Widya menepuk pundak Corry.

"Kamu, Wid. Kok lama?" Corry memanggil pelayan kantin sekolah. "Kamu mau pesan apa?"

"Jus jeruk aja," jawab Widya.

"Jus jeruk satu, ya," pesan Corry. "Sekalian bawain cemilannya, ya, Mbak."

Pelayan itu mengangguk dan pergi.

"Kamu kenapa? Tumben ngajak ke sini," tanya Widya.

"Aku lagi mikirin Fajar. Dia sakit dari kemarin. Clara bilang dia dihukum ayahnya."

"Terus?"

"Apa dia sakit karena ada pengaruhnya berkelahi dengan Roy, ya? Soalnya kan dia nggak diperiksa di UKS kemarin itu, aku langsung main hukum aja menyuruh dia berdiri di lapangan."

"Dihukum bagaimana sama ayahnya?" tanya Widya.

Corry menceritakan pembicaraannya dengan Clara. "Aku lagi kepikiran sikap ayahnya. Kayaknya dia aneh, ya,"

"Aneh gimana? Wajarlah dia menghukum anaknya karena pergi diam-diam," kata Widya. "Udah tahu ayahnya nggak suka begitu tapi masih ngotot pergi."

"Bukan itu. Maksudku kenapa ayahnya nggak suka kalau Fajar main drum. Nge-band gitu," kata Corry.

"Mungkin biar sekolahnya nggak terganggu kali."

"Ah, pikiranmu sederhana banget," kata Corry. "Gimana kalau aku jenguk Fajar, Wid?"

"Jenguk Fajar atau ayahnya?" goda Widya yang langsung dijitak oleh Corry. "Aduh!"

"Makan tuh ayahnya," sungut Corry.

Widya terkekeh. "Kamu nggak naksir?"

""Laki-laki sombong itu? Nggaklah!" jawab Corry. "Tadi pagi kami berpapasan di depan sekolah, eh dia melengos aja padahal aku udah tersenyum lho. Bayangkan betapa malunya aku."

"Rasain kamu," Widya tergelak. "Ya, iyalah dia mengacuhkan kamu. Orang anaknya kamu hukum skors begitu. Makanya jangan galak-galak, Bu."

"Jadi gimana menurutmu? Aku pergi, nggak?" tanya Corry.

"Pergi aja. Lagian kamu wali kelasnya. Wajarlah kamu ke sana. Kan ada kunjungan rumah," kata Widya.

"Kamu ikut, ya,"

"Nggaklah. Ada urusan sama Bona nanti pulang sekolah."

"Ke percetakan?"

Mata Widya membulat. "Coy, kok kamu nebaknya jitu banget?"

"Lho, beneran?" seru Corry. "Cetak undangan?"

"Belum. Masih mau lihat konsepnya dulu. Tapi Bona udah ngajak aku nikah."

"Serius?" Corry tersenyum lebar. "Kapan?"

"Itulah, masih dibicarain." Kata Widya malu-malu.

"Wid, selamat, ya. Akhirnya…"Corry memeluk sahabatnya erat.

"Makasih, Coy. Ini juga berkat dukungan kamu yang menyuruh aku bersabar. Ternyata Bona memang tipe orang yang nggak boleh didesak gitu." kata Widya.

"Syukurlah. Ntar aku yang jadi bridesmaidnya, ya," kata Corry sambil melepaskan pelukannya.

"Nggak mau, ah," tolak Widya cepat.

"Lho, kenapa?" Corry kaget.

"Ntar cantikan kamu daripada aku,"

"Itu udah pasti kali. Yee…" Corry menjulurkan lidahnya. "Harusnya kamu kemarin yang jadi bridesmaid-ku."

"Coy, jangan sedih dong."

"Nggak, Wid. Aku cuma teringat. Sekarang nggak sesakit dulu lagi. Benar kata orang, kesibukan memang bikin kita bisa lupa."

"Benar, ya," Widya mengalihkan pembicaraan.

"Benar apaan?"

"Kamu jadi bridesmaid-ku,"

"Sip!" Corry mengacungkan jempolnya.

***