"Sebenarnya pasien Helena itu sakit apa, Sus?" tanya Corry.
"Saya tidak punya hak untuk mengatakan apa pun, Bu," jawab Suster Mawar ramah.
"Oh, ya, saya minta maaf sudah lancang bertanya," kata Corry. "Itu kode etik medis, ya, nggak boleh sembarangan memberitahu penyakit seseorang."
"Iya, Bu. Maaf saya tidak bisa bilang apa-apa. Yang pasti dia butuh darah," kata Suster Mawar. "Dan Ibu Helena beruntung mendapat pendonor baru."
Corry tidak menanggapi lagi. Ia memperhatikan darahnya mengalir di selang yang dihubungkan ke kantong darah. Selama ini ia selalu mendonorkan darahnya kalau ada yang membutuhkan. Entah itu karunia atau petaka, ia mempunyai golongan darah yang langka, yaitu AB rh- yang didapatnya dari ibunya.
Ia mengusap gelang emas di tangannya. Di sana terukir nomor telepon ibunya sebagai pendonor utamanya dan sebaliknya Bu Hanna juga memakai gelang yang berukirkan nomor telepon Corry.
"Sudah, Bu,"
Suara Suster Mawar menyentakkan Corry dari lamunannya. Suster Mawar merekatkan plester kecil di bekas suntikannya. Corry duduk dan mengatur nafas sejenak sebelum ia bangkit berdiri.
"Eh, Ibu duduk aja dulu sebentar. Istirahat dulu, Bu," cegah Suster Mawar saat Corry berdiri.
"Nggak apa-apa, Sus. Saya biasa kok jadi pendonor," kata Corry. "Saya permisi, Sus."
Corry melangkah ke luar dari laboratorium itu. Ia berjalan di koridor menuju lift. Setelah beberapa langkah, ia berhenti. Ia merasa kepalanya pusing. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya kuat-kuat mengusir kunang-kunang yang tiba-tiba menyerang matanya. Ia berjongkok sambil memegangi kepalanya.
"Corry?"
Corry mendongak. Di hadapannya Frans berdiri menjulang dan sebentar kemudian ia membungkuk memegang bahunya. Darah Corry berdesir. Ia semakin gugup menyadari betapa mereka sangat dekat.
"Kamu kenapa?" suaranya terdengar cemas.
"Nggak tahu, tiba-tiba aku pusing!" kata Corry sambil menyandarkan punggungnya ke dinding koridor.
"Muka kamu pucat. Kamu ngapain di sini?" tanya Frans.
"Tadi ada urusan," jawab Corry. Ia merasa nyaman saat tangan Frans mengusap bahunya.
"Kita ke dokter, yuk!" ajak Frans.
"Nggak usah," tolak Corry. "Aku hanya lapar."
"Lho, Bu?" tiba-tiba Suster Mawar lewat. "Ibu lemas?"
"Suster tahu dia kenapa?" tanya Frans.
"Barusan tadi Ibu ini mendonorkan darahnya. Saya suruh istirahat sebentar dia nggak mau," jawab Suster Mawar. "Bapak suaminya, ya? Bapak kok nggak mendampingi?"
Corry menatap Frans malu mendengar perkataan Suster Mawar.
"Donor darah?" ulang Frans mengabaikan pertanyaan suster itu.
Suster Mawar mengangguk.
"Aku nggak apa-apa. Serius. Ayo, kita cari makan aja, yuk," kata Corry.
"Tapi…"
"Ibu boleh istirahat sebentar di sana," Suster Mawar menunjuk ke sebuah ruangan.
"Terima kasih, Sus. Tapi sungguh, aku nggak apa-apa. Cuma agak pusing."
"Ya, udah. Ayo, kita cari makan, yuk!" Frans membantu Corry berdiri. "Terima kasih, ya, Sus."
Suster Mawar mengangguk. Ia menatap kepergian dua orang itu sambil tersenyum.
"Pasangan serasi," gumamnya.
***
Frans membawanya ke kantin rumah sakit. Ia memesan segelas susu hangat dan kue manis. Corry merebahkan kepalanya di meja berbantalkan tangannya.
"Masih pusing?" tanya Frans.
Corry mengangguk. "Sedikit."
Pelayan mengantarkan pesanan mereka. Frans menyentuh tangan Corry.
"Nih, ambil ini dulu."
Corry menegakkan kepalanya. Ia mengambil segelas susu yang disodorkan Frans dan meneguknya sampai tandas. Frans memperhatikannya sampai ia mengelap sudut bibirnya.
"Tambah?" tanya Frans.
Corry menggeleng. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi dan memejamkan matanya. Frans memandangnya lekat-lekat. Wajah gadis itu tidak sepucat saat di koridor tadi lagi. Tiba-tiba Corry membuka matanya, Frans sedikit kaget tapi ia segera menguasai dirinya. Mereka berpandangan agak lama. Corry kalah duluan. Ia mengalihkan pandangannya dengan wajah memerah.
"Kamu ngapain sore-sore begini ke rumah sakit?" tanya Frans. "Kamu pasti belum pulang ke rumah dan belum makan."
"Iya, tadi aku langsung ke sini dari sekolah," jawab Corry.
"Penting banget sekarang donornya?" cecar Frans.
"Iya, ada yang benar-benar butuh," jawab Corry. "Kamu sendiri ngapain ke sini. Bukannya kamu sangat sibuk?"
Dan mereka sama-sama menyadari kalau mereka sudah berbicara santai dengan menyebut 'aku kamu'.
"Aku menjenguk saudara yang lagi sakit," jawab Frans. "Habiskan kuenya."
"Boleh aku pesan makan aja?" tanya Corry.
"Kamu mau makan? Tentu boleh," kata Frans. Ia melambaikan tangannya kepada pelayan. "Pesan apa?"
Corry terharu dengan perhatian Frans. Ia menekuri buku menu sebenarnya bukan benar-benar melihat menu. Ia sibuk menentramkan debaran jantungnya yang sedikit aneh.
"Kamu nggak makan?" tanya Corry melihat Frans hanya memesan satu porsi makanan yang ditunjuk Corry di menu.
"Udah tadi sebelum ke sini," kata Frans. "Kamu aja."
"Atau kamu nggak cocok dengan makanan kantin begini?" tanya Corry. "Terlalu sederhana mungkin buat kamu."
"Aku bisa makan apa aja dan di mana aja," jawab Frans. "Tapi aku memang masih kenyang. Udah makan siang tadi."
Corry mengangguk dan melanjutkan makannya.
"Aku antar kamu pulang, ya," kata Frans setelah Corry selesai makan.
"Nggak usah. Aku bawa mobil kok," tolak Corry.
"Bisa menyetir?" tanya Frans. "Kamu nggak pusing lagi?"
Corry menggeleng. "Nggak lagi. Tadi itu benar-benar karena kelaparan. Maaf udah merepotkan kamu."
"Nggak repot kok," kata Frans. "Benar nggak apa-apa?"
"Nggak apa-apa," jawab Corry meyakinkan.
Mereka berjalan bersisian ke lapangan parkir rumah sakit. Frans tetap mendampingi Corry sampai ke mobilnya.
"Mobil kamu di mana?" tanya Corry saat mereka sudah di depan mobilnya.
Frans menunjuk mobilnya yang diparkir tak jauh dari mobil Corry.
"Ya, udah. Sana!" kata Corry.
"Main usir aja nih," kata Frans.
"Maaf, tapi aku nggak mau menyita waktu kamu. Kamu pasti masih ke kantor kan?"
Frans mengangguk. "Benar kamu bisa nyetir sendiri?" Frans memastikan lagi.
"Iya, bisa." Corry membuka pintu mobilnya. "Terima kasih banyak, ya."
Frans mengangguk sambil tersenyum. Ia memperhatikan Corry saat masuk ke dalam mobilnya. Dan Frans terkesiap saat Corry hendak duduk tadi, rok gadis itu tersingkap menampakkan pahanya. Gadis itu segera menutup pintu mobilnya dan menyalakan mesin mobilnya. Ia tersenyum menatap Frans.
"Aku duluan, ya!"
Frans sedikit tergagap. "Iya, hati-hati!"
***
"Bagaimana kabar, Bu Helena?" Dokter Toni tersenyum kepada Helena saat ia melakukan kunjungan ke kamar Helena.
"Sudah membaik, Dok," jawab Helena.
"Kamu yakin nggak mau mengatakan yang sebenarnya kepada suamimu?" tanya Dokter Toni.
"Nggak, Dok. Cukup saya saja yang tahu." Helena tersenyum.
"Saya sudah berkali-kali bilang bahwa Thalassemia yang kamu alami ini berat. Ini bisa berpengaruh kepada bayi kamu."
"Saya tahu, Dokter. Tapi bayi saya tidak apa-apa kan?"
"Sejauh ini tidak apa-apa. Dia sehat dan beratnya normal untuk ukuran janin 28 minggu," jawab Dokter Toni. "Dia memang kuat."
"Syukurlah," mata Helena berkaca-kaca. Ia mengelus perutnya yang membesar dengan penuh kasih sayang.
"Ibu harus tetap kuat, ya. Semoga ini transfusi ibu yang terakhir," kata Dokter Toni. "Karena golongan darah ibu langka, kita harus lebih hati-hati. Untung ada yang bersedia jadi pendonor."
"Baik, Dok," sahut Helena.
"Kalau begitu saya permisi, Bu." Dokter Toni pamit.
"Terima kasih, Dok."
Saat Dokter Toni keluar, Hendra masuk.
"Apa kata dokter, Len?"
"Semua baik-baik aja, Mas," jawab Helena. "Anak kita sehat kok. Dia kuat walaupun aku harus bed rest begini."
Hendra membelai perut istrinya. Wajah istrinya memang sudah mulai memerah. Ia tampak sehat dan segar.
"Kalau besok makin kuat, kita pulang, ya," kata Helena.
"Nggak, kamu harus tetap di sini. Aku nggak bisa menjamin di rumah bakalan aman-aman aja," tolak Hendra.
"Tapi aku bosan, Mas," keluh Helena. Ia hampir menangis.
"Sabar, ya, Sayang. Ini demi anak kita," Hendra menguatkan istrinya.
Ia menggenggam tangan Helena erat seakan menyalurkan kekuatannya kepada istrinya.
Pintu kamar terbuka. Bu Maria masuk membawa makanan dan buah-buahan.
"Apa kabarmu, Sayang?" ia mencium kening menantunya.
"Udah makin sehat, Ma," jawab Helena.
"Syukurlah." Ia meletakkan barang bawaannya di atas lemari kecil di samping tempat tidur. "Hen, kamu makanlah."
"Iya, Ma. Sebentar lagi aja. Masih kenyang," jawab Hendra. "Papa gimana?"
"Papa baik-baik aja di Bandung."
"Mama pulang aja. Aku bisa menjaga Helena di sini," saran Hendra.
"Pulang?" ulang Bu Maria. "Nggak, Mama di sini aja. Biar bisa jagain Helena."
"Tapi papa sendirian di sana, Ma. Kalau ada apa-apa gimana?"
"Nggak akan terjadi apa-apa," kata Bu Maria. "Papa baik-baik aja kok. Mama juga nggak mau terjadi apa-apa sama cucu mama."
Hendra menatap heran ibunya. Biasanya ibunya tak pernah bisa jauh dari ayahnya. Kali ini ibunya malah sudah lebih dari satu minggu bersama mereka di Jakarta. Dia sangat posesif terhadap Helena dan calon cucunya. Tak pernah sehari pun ia meninggalkan rumah sakit sejak ia datang ke Jakarta.
"Ma, aku mau bicara," kata Hendra setelah melihat Helena tertidur.
"Iya, Sayang," Bu Maria menatapnya. "Bicara apa?"
Hendra membimbing tangan ibunya menjauh dari tempat tidur dan duduk di sofa. Ia menarik nafas panjang sebelum berbicara.
"Kemarin aku bertemu Corry,"