Chereads / BUKAN DUDA BIASA / Chapter 14 - BAB 13

Chapter 14 - BAB 13

Corry masih bermalas-malasan di kamarnya. Sudah jam 10 pagi tapi ia masih memakai daster dan rambutnya berantakan. Ia memang libur setiap hari Sabtu sehingga ia tidak terburu-buru bangun.

"Corry," terdengar suara Bu Hanna di balik pintu.

"Iya, Ma," jawab Corry merasa heran dengan nada suara ibunya yang keras dan seperti sedang marah.

"Ada yang nyari kamu tuh," kata Bu Hanna.

"Widya?"

"Bukan!"

"Jadi siapa?"

Tak ada jawaban. Mungkin mama udah turun. Siapa, ya? Nggak mungkin juga Widya. Biasanya anak itu main selonong aja kalau datang, pikirnya.

Corry menggelung rambut panjangnya seadanya lalu turun. Dan ia terkejut setengah mati mendapati Hendra duduk di ruang tamu dengan wajah tertunduk.

"Hen… Hendra…?" Corry tergagap.

"Corry…" Hendra bangkit dari duduknya dan mendekati Corry yang menatapnya seperti melihat makhluk asing. "Apa kabar kamu?"

Dia bertanya apa kabarku? Setelah tujuh bulan dia menghilang? Pikir Corry. Tadi secercah harapan sempat menghinggapi benak Corry. Berharap Hendra datang dan memohon maaf padanya. Tapi sikap Hendra seperti orang asing. Ia bersikap sangat sopan dan formal.

"Aku… aku baik," Corry berusaha menenangkan diri. "Kamu apa kabar?"

"Aku juga baik." jawab Hendra.

"Ada apa datang kemari?" akhirnya Corry bisa mengucapkan kata-kata itu.

"Corry, sebelumnya aku minta maaf karena…"

"Katakan saja apa mau kamu. Aku tidak punya banyak waktu untuk basa-basi," sergah Corry. Ia duduk di ujung sofa, agak jauh dari tempat Hendra berdiri.

"Aku minta maaf. Aku tahu aku salah, Ry," kata Hendra. Ia tidak begitu heran dengan perubahan sikap Corry yang dikenalnya lemah lembut. Wanita mana yang terima diperlakukan seperti ia memperlakukan Corry? Tapi ia sudah siap dengan segala konsekuensinya karena ada nyawa yang perlu diselamatkan dengan bantuan Corry.

"Kenapa masih datang ke sini?" tanya Corry ketus. "Aku dengar kamu sudah menikah. Selamat, ya!"

"Corry, dengan cara apa pun aku tak akan pernah bisa menebus dosa-dosaku padamu. Tapi aku mohon kali ini tolonglah aku."

"Kamu sungguh tak tahu malu!"

"Benar, Corry. Aku memang tak tahu malu," kata Hendra.

"Saya pikir kamu sudah mati. Ada apa lagi kamu kemari?" tiba-tiba Bu Hanna muncul. "Tidak cukup kamu menyakiti hati anakku?"

"Maafkan saya, Tante. Saya salah." Hendra menjatuhkan badannya ke lantai dan berlutut di sana.

Bu Hanna dan Corry terkejut. Mereka berpandangan tak mengerti.

"Saya mohon belas kasihan Tante dan Corry. Saya butuh bantuan Tante dan Corry." Hendra berlutut dengan tangan membentuk sembah di dadanya.

"Katakan apa mau kamu dan segera pergi dari sini!" seru Bu Hanna.

"Istri saya…istri saya…." Tangis Hendra pecah. Ia tak sanggup menyelesaikan perkataanya.

Bu Hanna memandang Corry. Yang dipandang menggeleng tak mengerti. Ia tidak tahu apa maksud Hendra datang dengan memohon terbata-bata bahkan dengan berlutut.

"Kenapa dengan istri kamu?" tanya Corry akhirnya.

"Kehamilannya bermasalah," kata Hendra.

"Hamil? Bermasalah?" ulang Corry.

"Iya, Ry. Sudah sebulan dia bed rest di rumah sakit. Hanya kamu dan Tante yang bisa menolongnya."

"Apa urusannya dengan kami? Kalau sakit, bawa ke dokter. Kalau hamil juga ada dokter kandungan," nada suara Bu Hanna ketus.

"Dia perlu donor darah, Tante," isak Hendra semakin keras.

"Di sini bukan PMI!" kata Bu Hanna tegas.

"Tapi dia punya golongan darah yang sama dengan Corry dan Tante. AB. Rumah sakit tidak selalu punya stok," kata Hendra.

"Kamu tidak malu datang ke sini dan memohon kepada kami?" sinis suara Bu Hanna.

Corry masih terdiam. Agak shock mendengar kenyataan itu. Istri Hendra hamil dan sakit? Golongan darah mereka sama. Apa maksudnya ini?

"Saya tahu, Tante. Tapi saya tidak tahu harus minta tolong kepada siapa lagi. Kami bisa kehilangan anak kami kalau keadaannya masih tetap seperti itu." kata Hendra.

"Bukankah permintaanmu itu berlebihan?" tanya Bu Hanna. "Kamu minta darah Corry untuk menyelamatkan nyawa anak dan istrimu. Sementara Corry kamu campakkan karena tidak bisa memberikan anak padamu. Di mana hati kamu?"

Hendra menangis terisak-isak. "Saya hanya terpaksa, Tante. Saya meninggalkan Corry bukan karena saya tidak mencintainya."

"Kamu memang tidak mencintai anak saya!" seru Bu Hanna marah.

"Ma, udah," Corry menengahi.

"Kamu jangan terlalu lembek, Sayang," kata Bu Hanna.

"Jadi istri kamu sekarang dirawat di mana?" tanya Corry.

"Corry," bentak Bu Hanna. "Untuk apa kamu menanyakan itu?"

"Ma, istrinya yang sakit. Istrinya nggak salah apa-apa," kata Corry.

"Kalau saja kamu punya itikad baik dengan memberikan penjelasan kepada anak saya dan tidak meninggalkan Corry seperti itu begitu saja," Bu Hanna masih berapi-api.

"Ma, aku yang menyerah. Aku yang menyuruh Hendra mencari perempuan yang bisa memberikan keturunan kepadanya," kata Corry mencoba meredam amarah ibunya yang meluap-luap. "Dan perempuan itu sekarang sedang sakit."

"Hari ini saya percaya bahwa karma itu benar-benar ada," kata Bu Hanna tegas.

Hendra mendongak terperangah. Perkataan Bu Hanna menampar nuraninya telak. Wajahnya penuh dengan air mata.

"Saya mohon ampun, Tante," kata Hendra. "Saya benar-benar mohon ampun."

"Seandainya kamu nggak butuh darah Corry, pernahkah terpikir olehmu untuk minta maaf?" cecar Bu Hanna. "Kamu benar-benar egois. Saya tak pernah menyangka kamu ternyata nggak punya hati!"

"Udahlah, Ma." Corry menengahi. "Nggak ada juga gunanya Mama marah-marah. Toh kami takkan mungkin bisa bersama."

"Jadi istrimu kenapa, Hen?" tanya Corry. "Parah?"

Hendra mengangguk. "Dia menderita anemia akut jadi perlu transfusi darah rutin."

"Dia dirawat di rumah sakit mana?"

Hendra menyebutkan nama rumah sakit tempat istrinya dirawat.

"Saya akan ke sana. Kamu pergi aja dulu," kata Corry.

"Corry!!!" bentak Bu Hanna.

"Nggak apa-apa, Ma. Ini hanya demi kemanusiaan," kata Corry kalem.

"Terima kasih, Corry. Kamu memang benar-benar orang baik," kata Hendra. "Kalau begitu saya permisi, Tante, Ry."

Hendra bangkit perlahan dari bersimpuhnya. Ada kelegaan di hatinya. Dengan menelan segenap harga dirinya, ia akhirnya rela menemui Corry untuk memohon kesediaan Corry mendonorkan darahnya demi istri dan calon anaknya.

"Kamu bagaimana sih, Ry?" seru Bu Hanna sepeninggal Hendra. "Kamu udah lupa rasa sakitnya? Kamu udah lupa kamu sampai sakit berhari-hari gara-gara dia?"

"Aku hanya kasihan sama istrinya, Ma," sahut Corry. "Nggak lebih. Kalau terjadi apa-apa sama dia dan anaknya karena kekurangan darah padahal kita bisa bantu kan dosa, Ma."

"Mama heran sama kamu," keluh Bu Hanna ."Jangan bilang kamu masih mencintainya. Mama bisa marah." Kata Bu Hanna.

"Nggak, Ma. Itu bisa kupastikan nggak," kata Corry tegas.

***

Corry memasuki lift menuju lantai 5 rumah sakit tempat istri Hendra dirawat. Ia sudah membulatkan tekad untuk membantu Hendra sesakit apa pun luka yang pernah ditorehkannya. Ia berhenti sejenak di depan pintu kamar yang disebutkan Hendra di pesan whatsappnya. Sambil menghela nafas ia mendorong pintu.

Ia melihat Hendra tengah duduk di samping tempat tidur. Ia segera bangkit berdiri melihat kedatangan Corry.

"Corry? Akhirnya kamu datang juga," Hendra menyongsongnya.

Corry melihat ke tempat tidur. Di sana berbaring seorang wanita muda dengan wajah putih pucat. Ia cantik tapi wajahnya yang kuyu dan tidak bersinar membuatnya tampak lebih tua. Ia menatap Corry lemah. Corry mendekat.

"Corry, ini Helena, istriku," Hendra memperkenalkan mereka berdua.

Masih ada perih di hati Corry saat Hendra menyebut kata 'istri'. Harusnya aku yang menyandang gelar itu, pikirnya. Cepat-cepat ditepisnya pikiran itu dan menjabat tangan Helena sambil tersenyum.

"Saya Corry."

"Helena," perempuan muda itu berusaha tersenyum tapi yang tampak hanyalah seringai sedih.

"Apa kabar kamu? Sudah baikan?" tanya Corry.

Ia mengangguk lemah. Corry mengalihkan pandangannya kepada Hendra yang menggenggam tangan istrinya.

"Udah berapa lama?" tanya Corry?

"Apa?" Hendra tergagap kemudian ia mengerti maksud pertanyaan Corry. "Ini minggu ke tiga kami di sini."

"Dokter bilang apa?" tanya Corry.

"Dokter bilang Helena menderita anemia akut. Makanya dia sering lemas dan tak berdaya. Apalagi setelah kandungannya semakin besar," jawab Hendra. "Dokter bilang lebih baik dia bedrest di rumah sakit ini."

"Nggak masalah kalau transfusi darah terus? Maksudku nggak berpengaruh kepada janinnya?"

"Nggak, dokter sudah memperhitungkan semuanya," jawab Hendra.

"Benar cuma anemia?" Corry bertanya kepada Helena.

Helena yang sedari tadi hanya diam agak terkejut ditanya seperti itu. Ia memandang suaminya kemudian menggeleng perlahan. Ia menghindari kontak mata dengan Corry.

"Baiklah, aku tidak bisa lama-lama di sini. Di mana aku harus menjalankan proses transfusinya?" tanya Corry.

"Sebentar," Hendra memencet tombol di atas tempat tidur istrinya.

Tak lama kemudian seorang perawat muda masuk.

"Pendonornya sudah ada, Suster," kata Hendra sambil mengarahkan pandangannya kepada Corry.

"Oh ya?" suster tersebut memandang Corry. "Kalau begitu mari, Bu, ikut saya,"

Corry beranjak mengkuti suster itu.

"Corry…"

Suara Hendra menghentikan langkahnya.

"Terima kasih banyak, ya,"

Corry mengangguk. "Oh, ya, aku sekalian pamit, ya. Aku akan langsung pulang setelah ini."

Suster Mawar, nama yang Corry baca di name tag suster itu, mulai memasang peralatan untuk mengambil darah Corry.

"Sebenarnya pasien Helena itu sakit apa, Sus?" tanya Corry.