Sejenak Corry ragu-ragu tapi akhirnya sambil menghela nafas ia mengetuk pintu. Seorang perempuan muda dan cantik membuka pintu. Ia mengamati Corry dari kaki sampai kepala seakan membandingkan penampilannya. Corry memakai rok pensil dengan pinggang tinggi menunjukkan lekuk pinggangnya yang ramping. Sedangkan ia memakai rok pendek di atas lutut dan baju berbahan sifon dengan belahan dada yang terpampang nyata. Pasti para lelaki yang memandangnya mendegut ludah melihat pemandangan indah itu. Termasuk Frans?
"Kamu siapa?" tanya perempuan itu menyentakkan pikiran Corry yang sempat berkelana.
"Saya Corry," Corry menunjukkan name tag-nya. "Saya wali kelasnya Fajar."
"Saya Diana, sekretaris pribadi Frans Utama," perempuan itu memperkenalkan dirinya dengan sombong. Dagunya terangkat tinggi.
Aku sepertinya pernah dengar nama ini, pikir Corry.
"Boleh saya masuk?" tanya Corry.
Diana melebarkan daun pintu tanpa menjawab apa-apa. Corry melangkah masuk dan mengamati rumah megah itu.
"Bu Corry…"
Corry menoleh. Clara turun setengah berlari dari tangga dengan wajah gembira. "Baru pulang dari sekolah, Bu?" Clara menyalami tangan Corry.
"Iya. Ibu mau mengengok kakak kamu. Di mana dia?" tanya Corry.
"Ayo, Bu. Kamarnya di atas," Clara menarik tangan Corry.
"Clara!" bentak Diana. "Kamu nggak ingat pesan daddy? Kamu tidak boleh terlalu akrab sama orang lain!"
"Bu Corry bukan orang lain, Tante," bantah Clara. "Dia guru kami."
"Saya cuma sebentar. Anda nggak usah khawatir," Corry mengangguk ke arah Diana.
Clara menuntun tangan Corry menuju tangga yang baru saja dituruninya. Mereka beriringan naik ke lantai dua. Clara menunjuk sebuah kamar.
"Ini kamarnya. Kakak nggak mau makan dan kami semua nggak boleh masuk."
Corry tersenyum sambil membuka pintu. Didapatinya Fajar berbaring sambil mengutak-atik HP.
"Udah kubilang jangan masuk ke sini," teriak Fajar.
"Fajar!" panggil Corry lembut.
Fajar tersentak. Ia menatap kedatangan Corry tak percaya. Clara duduk di sampingnya. "Ada Bu Corry, Kak."
"Ibu?" Fajar tergagap. "Ibu ngapain ke sini?" Ia malu sekali apalagi tadi ia sempat berteriak.
"Clara bilang kamu sakit jadi Ibu mampir sebentar menengok kamu. Gimana, udah baikan?" Corry menyentuh kening Fajar. Masih agak panas.
"Udah sembuh kok, Bu," Fajar berusaha duduk.
"Kamu tiduran aja, nggak apa-apa," kata Corry. "Udah makan?"
"Saya nggak selera, Bu. Lidah saya terasa pahit."
"Harus makan dong. Gimana mau sembuh kalau nggak makan?" kata Corry lembut.
"Nggak apa-apa, Bu. Lagian saya masih libur kok."
Corry tersenyum. Ia membelai tangan Fajar. "Kamu masih benci sama Ibu karena Ibu menskors kamu?"
"Bu," tiba-tiba Fajar memeluk Corry. "Saya nggak benci sama Ibu. Maafin saya, ya, Bu. Saya udah bikin Ibu marah kemarin."
"Udah Ibu maafin makanya Ibu datang," Corry membelai punggung anak itu. "Sekarang kamu makan, ya."
Fajar melepaskan pelukannya dan memandang makan siangnya yang diletakkan Bi
Sari di nakas. Corry mengambilnya dan mulai menyuapi Fajar.
Fajar terharu. Airmatanya berjatuhan.
"Lho, kok malah menangis?" Corry meletakkan piring yang dipegangnya dan mengusap pipi Fajar yang dialiri airmata.
"Ibu kenapa baik banget?" Fajar tersedu.
"Karena Ibu sayang sama kamu. Nih," Corry menyendok nasi ke mulut Fajar. Anak remaja itu mengunyahnya dengan susah payah. Setelah beberapa suap Fajar menyerah.
"Udah dulu, Bu," tolak Fajar
Corry meletakkan piring itu kembali ke nakas dan menyodorkan segelas air hangat ke mulut Fajar.
"Anda merasa bersalah sehingga datang kemari?"
Corry menoleh. Frans melangkah masuk dengan senyum sinisnya. Diana mengekor di belakangnya.
"Saya nggak merasa saya salah," Corry menjawab sambil meletakkan kembali gelas ke atas nakas. "Saya wali kelas Fajar dan wajar saya datang menjenguk dia."
"Rara yang ngasih tahu Bu Corry tadi pagi kalau kakak sakit," celetuk Clara.
"Tadi udah aku larang masuk tapi dia ngotot," seru Diana.
"Bu Corry guru Fajar, Tante. Dia bukan orang lain," geram Fajar.
"Udah, nggak apa-apa," Corry menggelengkan kepalanya. "Obat kamu mana?"
"Di laci, Bu," dengan sigap Clara mengambil obat kakaknya.
Setelah membaca aturan minum obat tersebut, Corry mengambil beberapa butir obat dan membantu Fajar memasukkan obat-obatan itu ke mulutnya. Frans mengamati semua perbuatan Corry. Ada sesuatu menyesak dadanya. Seperti yang dirasakannya saat Corry mendampingi Fajar di tengah lapangan tempo hari.
"Nah, kalau kamu makan teratur begini dan makan obat tepat waktu, Ibu jamin besok kamu pasti udah sembuh," kata Corry. "Sekarang kamu istirahat lagi, ya."
"Ibu jangan pulang dulu," Fajar menahan tangan gurunya.
"Fajar, kamu istirahat, ya. Semoga kamu cepat sembuh," Corry membelai rambut Fajar sebelum berdiri. Ia menatap Frans. "Maaf kalau saya mengganggu. Saya permisi."
Corry buru-buru keluar. Clara mencelat bangun mengikutinya dari belakang.
"Sepertinya kita belum pernah berkenalan dengan resmi."
Corry menghentikan langkahnya tepat di mulut tangga. Ia berbalik. Frans berjalan ke arahnya. Corry menegakkan bahunya.
"Tentunya Anda sudah tahu kalau saya gurunya Fajar, kan?"
"Saya Frans," laki-laki itu mengulurkan tangannya. Mereka berjabatan tangan. "Ayo, kita duduk dulu."
"Maaf, saya cuma sebentar," tolak Corry.
"Baiklah," Frans tidak berusaha menahan. "Terimakasih atas kunjungan Anda."
"Nggak apa-apa. Itu salah satu kewajiban saya," kata Corry.
"Makasih, ya, Bu," Clara kembali menyalami Corry.
Corry tersenyum. Ia membelai kepala Clara sekilas. "Saya permisi."
Cepat-cepat ia menuruni tangga berbentuk setengah melingkar itu dan segera keluar dari rumah itu adalah keinginan terbesarnya saat ini. Tapi saat langkahnya menuju pintu, ia mendengar suara anak kecil menangis. Ia menoleh. Ada seorang gadis muda berseragam sedang menggendong anak kecil.
"Kenapa, Mbak?" ternyata Frans sudah turun juga.
"Entahlah, Pak. Dari tadi pagi rewel terus. Nggak biasanya," jawab Neni, sang baby sitter.
"Sini… sini… Sayang," Frans mengambil anak itu dari gendongan Neni tapi ia malah menangis semakin keras saat ia memandang Corry. Ia meronta-ronta dalam pelukan ayahnya dan mengulurkan tangannya ke arah Corry.
"Mami…mami…"
Jantung Corry berdetak kencang saat anak kecil itu memanggilnya 'mami' dan mengulurkan tangan ke arahnya. Frans juga terkejut setengah mati. Ia segera melepaskan anak itu kalau tidak ingin jatuh dari gendongannya.
Anak itu segera berlari dan memeluk kaki Corry erat-erat. "Mami…mami…"
Corry tak bisa berkata apa-apa. Ia menatap Frans bingung. Yang ditatap menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengangkat bahu.
Akhirnya Corry berjongkok. Anak kecil itu segera memeluknya dan menangis di dadanya.
"Mami…"
"Sayang, aku bukan mami kamu," kata Corry.
"Mami…" anak kecil itu semakin erat memeluknya dan tangisannya semakin keras. Corry kebingungan. Diana, Clara, Fajar yang keluar dari kamar karena mendengar ribut-ribut, dan Eddy, juga menatap mereka kebingungan.
"Sayang, sini sama Daddy," Frans mencoba membujuk anaknya karena merasa tidak enak kepada Corry.
"Nggak mau! Didi mau sama Mami aja," tolak anak kecil itu yang menyebut dirinya dengan nama 'Didi'.
"Aduh, maafkan anak saya," Frans mengatupkan kedua belah tangannya membentuk sembah. "Saya tidak tahu kenapa bisa jadi begini."
Corry mengangkat Didi dan akhirnya ia kembali duduk di sofa.
"Sekalian saja saya perkenalkan semua," kata Frans. "Ini Diana, sekretaris saya, ini Fajar dan Clara, Anda sudah kenal mereka. Dan ini anak saya yang ketiga, Eddy, dan yang bungsu ini, Didi."
"Jadi anak Anda ada 4 orang?" tanya Corry.
Frans mengangguk. Ia duduk di sofa di hadapan Corry. Fajar dan Clara langsung duduk di sisi kiri dan kanan Corry. Sementara Eddy dengan langkah agak tertatih memilih duduk di dekat ayahnya.
Corry membenamkan wajahnya di pundak mungil Didi yang masih sesunggukan di pelukannya. Perasaannya campur aduk. Sedikit banyak ia mulai mengerti keadaan Frans.
"Diana," suara Frans memecah kebisuan. "Kembalilah ke kantor! Batalkan semua rapat hari ini. Saya tidak kembali lagi ke kantor."
"Tapi, Pak, ada rapat penting jam…"
"Kamu tidak bisa lihat keadaan ini?" Frans memotong omongan sekretarisnya cepat.
"Baik, Pak," Diana menurut lalu melangkah pergi.
"Didi…" suara Corry serak saat mencoba melepaskan pelukan Didi. Ternyata anak itu sudah ketiduran. Mungkin kelelahan. Neni segera mengambil alih.
"Maaf sudah merepotkan Anda," kata Frans sungguh-sungguh.
"Nggak apa-apa. Tadi saya hanya benar-benar kaget," suara Corry masih bergetar. "Kalau begitu saya pulang dulu."
"Silakan. Sekali lagi terima kasih." kata Frans.
"Hati-hati, ya, Bu," kata Fajar.
***
Corry menghela nafas panjang berkali-kali. Sudah jam satu dini hari tapi ia tak bisa memejamkan matanya. Peristiwa tadi siang masih tak bisa lepas dari benaknya. Frans ternyata mempunyai empat orang anak yang sangat membutuhkan perhatian. Dua anak remaja dan dua anak kecil yang pasti menguras waktu dan tenaganya. Wajar kalau ia merasa kewalahan.
Dan ia benar-benar heran dengan sikap dan tingkah laku anak bungsu Frans. Bagaimana mungkin dia memanggil Corry sebagai ibunya? Ini baru pertama kali mereka bertemu. Tanpa terasa airmatanya menetes. Baru kali ini ia merasa sangat dibutuhkan.
Puluhan kilometer dari rumahnya, seorang laki-laki juga merasakan hal yang sama. Lampu kamar sudah lama dimatikan tapi mata Frans tetap tidak mau terlelap.
Pikirannya melayang-layang membayangkan sosok Corry saat menyuapi dan memeluk Fajar, membelai Clara, menenangkan Didi dan semua tingkah gadis itu membuatnya bolak-balik gelisah.
Dan rasa tertarik yang dirasakannya saat pertama kali melihat gadis itu terasa semakin berkembang.
Apakah aku menyukainya? Sekadar suka atau perasaan apakah ini? batin Frans sambil memukul-mukul bantal.
***