"Halo, Daddy. Kapan pulang?" serunya antusias sambil melambai ke layar HP.
Ternyata mereka melakukan panggilan video.
"Daddy, ya, Kak?" Clara memajukan badannya supaya ikut melihat. "Hai, Dad."
"Hai, Sayang." Sang Ayah menyahut ceria. "Nanti, ya, kalau Daddy udah kelar urusannya. Ini Daddy mau berangkat ngantor. Kalian baik-baik aja, kan?"
"Iya, Dad. Semua OK," jawab Fajar.
"Kalian di mana?" tanya ayahnya. "Kok kayak masih di mobil?"
"Iya, masih di mobil. Kami baru pulang, Dad," jawab Clara.
"Kok bisa? Ini kan udah sore di sana?"
"Iya, Daddy. Kata Pak Amir ban mobilnya kempes, terus setelah diganti malah kejebak macet deh." Kata Clara.
"Gimana sih Pak Amir itu?" gerutu ayahnya. "Nanti Daddy tegur deh. Jadi kalian pulangnya bagaimana? Naik taksi?"
"Diantar sama guru, Dad. Wali kelas Fajar." jawab Fajar. Ia mengarahkan kamera HP-nya ke Corry yang kebetulan sedang mengganti persneling.
"Oh, begitu. Sampaikan salam dan terimakasih Daddy, ya."
Corry yang mendengar percakapan mereka menggeleng-geleng. Kenapa nggak ngomong langsung, pikirnya. Dasar sombong. Apa sih susahnya ngomong. Bukannya berharap ucapan terima kasihnya tapi kan bisa basa basi. Kelihatannya budaya barat sudah mendarah daging, Corry menggerutu dalam hati.
"Daddy, tadi kami keliling-keliling dulu. Ntar kalau Daddy udah di sini, Rara ceritain deh."
"Okey, Sayang. Udah dulu, ya. Nanti Daddy telpon lagi. Hati-hati di sana, ya. Fajar, ingat pesan Daddy."
"Beres, Daddy." Fajar mengacungkan jempolnya.
Setelah meniupkan ciuman di udara, telepon terputus. Corry melirik. Ada senyum di bibir Fajar. Dan dia berkali-kali lipat lebih tampan dengan senyumnya itu.
"Daddy kalian di mana sekarang?" tanya Corry.
"Di London, Bu. Udah dua minggu di sana." Jawab Clara. "Daddy sibuk terus."
"Bu, salam dari Daddy," kata Fajar.
"Makasih. Tadi Ibu juga dengar."
"Kak, Tante Diana ikut ke London, ya?" tanya Clara. "Kok nggak pernah nongol?"
"Ikutlah, kan dia sekretaris Daddy," jawab Fajar ketus.
"Rara nggak suka sama dia!" kata Clara.
"Emangnya kakak suka?" balas Fajar.
Corry melihat wajah mereka murung. Entah siapa Diana sampai bisa mengubah mood kedua remaja itu menjadi jelek. Tapi Corry menahan diri untuk tidak bertanya. Gerbang perumahan elite itu sudah kelihatan.
"Bu, kami sampai gerbang aja, ya," kata Fajar.
"Kenapa? Ibu bisa antar sampai ke depan rumah."
"Rumah kami dekat kok, Bu. Di Blok A," jawab Fajar.
"Ya, udah," kata Corry sambil menepikan mobilnya. Kedua anak itu turun diikuti oleh Corry. "Eh, Ibu boleh datang, nggak, kapan-kapan?"
"Boleh, Bu," jawab Clara cepat.
"Ngapain?" seru Fajar ketus.
"Yah, main aja, kan Ibu wali kelas kamu," Corry berusaha mengabaikan rasa tersinggung akibat penolakan Fajar.
"Tanya Daddy dulu," kata Fajar. "Makasih, ya, Bu. Kami masuk dulu. Ayo, Ra!"
"Makasih banyak, ya, Bu," sambung Clara. "Rara senang bisa jalan-jalan tadi."
"Sama-sama, Nak. Ibu juga pulang, ya."
Corry kembali menyetir mobilnya. Pikirannya tak menentu memikirkan tingkah Fajar yang berbeda dengan adiknya.
***
Sejak hari itu, Fajar tidak pernah lagi melakukan hal-hal yang membuat Corry dan guru-guru yang lain jengkel. Hari ini ia tampak serius berlatih basket di lapangan olah raga. Tingginya yang di atas rata-rata membuatnya menonjol di antara teman-temannya. Dan ia sangat lihai memainkan bola basket itu. Corry tersenyum melihatnya dan meneruskan langkahnya menuju toilet.
"Coy…Coy…"
Corry membalikkan badannya. Widya setengah berlari mengahampirinya dan menjejeri langkahnya. Hanya Widya yang memanggilnya 'Coy'.
"Ada apa? Kok kayaknya penting banget? Terus tadi kenapa izin nggak ikut upacara? Keenakan kencannya, ya," ledek Corry. "Datang-datang malah teriak-teriak. Ini sekolah, Bu!"
Widya memandangi Corry lama. Ia memegang kedua belah pundak sahabatnya itu erat-erat.
"Wid, apaan sih?" Corry tertawa geli tapi di dalam hati ia bergidik karena kalau Widya sudah bertingkah serius begitu, pasti ada sesuatu yang tidak beres.
"Kamu yang tabah, ya." Kata Widya.
"Memangnya ada apa?" jantung Corry berdebar keras. Ia langsung teringat kedua orangtuanya. Tadi mereka baik-baik aja, pikirnya.
"Tadi malam aku ketemu sama Hendra," kata Widya.
"Terus?" Corry melepaskan cengkeraman Widya di pundaknya yang semakin kuat. Sama sekali pikirannya tidak mengarah ke laki-laki itu. "Sakit, ah."
"Dia sama istrinya…"
"Is…apa? Istrinya?" ulang Corry dengan mulut ternganga. Tubuhnya langsung oleng.
"Corry…" Widya segera menopang tubuh sahabatnya.
"Jadi dia udah menikah?" tanya Corry lemas.
"Iya, Coy, katanya tiga minggu yang lalu," jawab Widya. "Katanya teman lama."
Corry terduduk di bangku tembok yang dipasang di sisi koridor sekolah. Ia merasa shock mendengar kabar itu.
"Coy, kamu baik-baik aja, kan?" Widya memegang tangannya.
"Ini sudah lebih dari dua bulan sejak malam terakhir kami ketemu." Gumam Corry. "Kamu bilang dia menikah tiga minggu yang lalu. Berarti dia cuma butuh sebulan untuk bisa langsung menikah. Cepat juga, ya."
"Kamu yang sabar, ya, Sayang," hibur Widya.
"Wid, kenapa dia nggak mengabari aku, ya?" airmata Corry menetes deras.
"Mungkin dia takut kamu sakit hati."
"Lebih sakit lagi begini, Wid. Jauh di lubuk hatiku aku masih berharap dia kembali karena aku yakin dia mencintaiku dan dia hanya butuh waktu untuk menenangkan dirinya. Tapi sekarang dia malah menikah. Jadi selama ini hubungan kami itu dianggap apa sama dia?"
Widya cuma terdiam. Ia bisa memahami perasaan sahabatnya itu. Sebenarnya ia juga sangat marah dengan sikap Hendra tapi ia tidak mau memperkeruh suasana dan menambah kesedihan Corry.
"Wid, malang benar nasibku, ya," keluh Corry.
"Jangan ngomong begitu," Widya memeluk Corry erat. "Hendra yang nggak tahu diri melepasmu begitu aja. Picik benar pikirannya. Percayalah, dia pasti akan menyesal."
"Aku mencintainya, Wid." Isak Corry.
"Kamu salah mencintai orang. Hendra nggak pantas mendapatkan cintamu."
Corry menangis di pelukan Widya. Untung belum jam istirahat jadi suasana sekolah agak sepi. Hanya ada suara siswa yang sedang olah raga di lapangan sebelah.
Corry menarik nafas berat. Kenapa Tuhan mencobaiku seberat ini? Kenapa aku harus mengalami kecelakaan itu yang membuat aku kehilangan rahim? Kata mama Tuhan tidak memberi cobaan melebihi kemampuan umatNya, tapi aku rasa ini udah di luar batas. Luar biasa beratnya, aku nggak sanggup lagi, batin Corry.
"Wid, kepalaku sakit banget," keluh Corry.
"Coy, kamu pucat banget," seru Widya kaget. "Aku antar ke dokter, ya,"
"Nggak usah, Wid. Aku cuma perlu tidur. Aku mau pulang. Lagian lesku udah kosong kok."
"Kalau begitu kuantar, yuk!"
Corry tertawa. "Nggak usah. Aku masih bisa nyetir. Aku tahu kamu khawatir, tapi nggak apa-apa, Wid."
"Tapi, Coy…"
"Aku nggak apa-apa, Wid. Percayalah,"
Mereka berdua berjalan menuju kantor dewan guru. Niat Corry ke toilet terlupakan begitu saja. Setelah mendapat izin dari kepala sekolah, Corry pulang.
***
Corry akhirnya ambruk. Sakit yang luar biasa di hatinya memukul fisiknya telak. Ia sakit. Ketiga saudara dan iparnya datang menjenguknya bersama semua keponakannya. Kedatangan mereka malah membuat luka batinnya semakin menganga
Andre, kakak sulungnya, menikah dengan Yohana. Mereka memiliki dua anak laki-laki. Cindy, kakak perempuannya, menikah dengan Benny, dan melahirkan dua anak laki-laki juga. Dan Arnold, kakak ketiganya, sedang menunggu kelahiran anak kedua dan ketiga karena Karina, istrinya sedang mengandung anak kembar.
"Sabar, ya, Sayang," Andre mengelus rambut adiknya.
"Pasti Tuhan akan mengirimkan penggantinya," sambung Yohana. "Hendra itu bukan jodohmu. Tuhan tahu yang terbaik untuk kamu."
Corry tersenyum pahit. Nasihat kuno, pikirnya. Mama udah puluhan bahkan ratusan kali mungkin mengatakan hal yang sama, tapi nggak cukup membantu.
"Udahlah, Kak, aku nggak apa-apa kok. Cuma shock. Besok pasti udah baikan lagi dan pasti udah kerja. Kalian pulang aja deh," kata Corry.
Untuk pertama kali dalam hidupnya ia tak menginginkan kehadiran saudara-saudaranya. Dan mereka mengerti. Corry bersyukur memiliki saudara yang pengertian dan sangat menyayanginya.