Corry memandang Roy.
"Iya, Bu. Papa dan mama ke Yogya nengok nenek yang lagi sakit," Roy membenarkan.
"Nah, mereka percaya meninggalkan kamu di sini, tapi kamu?" Corry menggelengkan kepalanya. Roy menunduk.
"Ini surat skors kalian," Corry menyerahkan surat itu ke tangan Roy dan Fajar. Ayah Fajar langsung mengambil dari tangan anaknya dan membuka isinya.
"Satu minggu?" Frans berseru yang diikuti kemudian oleh Roy. "Tidak salah, Bu?"
"Ini sudah keputusan final dan tidak bisa diganggu gugat," kata Corry tegas.
"Baiklah, kalau sudah selesai, kami pulang." Frans menatap tajam kepada Corry. Yang ditatap malah melotot balik. Frans menggandeng tangan Fajar dan berlalu.
"Fajar!" panggil Corry.
Mereka berbalik. "Ada apa lagi?" tanya Frans ketus.
"Kamu nggak minta maaf sama Roy?" tanya Corry mengacuhkan pertanyaan Frans.
"Apa hukuman ini tidak cukup?" suara Frans meninggi.
Corry menatap tajam siswanya. Fajar melepaskan pegangan ayahnya dan menghampiri Roy.
"Fajar?" tatapan laki-laki itu keheranan.
"Maaf, Roy," Fajar mengulurkan tangannya dan disambut Roy dengan ragu-ragu.
Sebelum menutup pintu, Frans memandang sinis kepada Corry tapi gadis itu hanya tersenyum penuh kemenangan.
"Gimana, Roy?" Corry mengalihkan perhatiannya kepada Roy.
"Bagaimana lagi, Bu, kalau keputusan ibu sudah nggak bisa diubah," katanya lesu.
"Setiap perbuatan ada konsekuensinya, Roy," kata Corry.
"Dan saya memang salah, Bu, saya udah bikin Clara jatuh. Benar-benar saya nggak sengaja, Bu. Saya cuma marah sama Fajar makanya saya melempar bola itu. Saya minta maaf, Bu."
"Minta maaflah sama Clara," kata Corry. "Dan Roy, kenapa sih kamu harus berkelahi seperti tadi? Kamu sengaja cari gara-gara?"
"Nggak kok, Bu. Saya cuma kesal sama Fajar. Dia baru beberapa bulan pindah ke sini tapi dia sudah ikut pemilihan kapten tim basket."
Corry menganguk angguk mengerti. Masalah senioritas. "Tapi kan setiap siswa berhak, Roy?"
"Iya, Bu. Tapi kan nggak seharusnya dia ada di calon utama, harusnya di cadangan dong, Bu. Dia kan orang baru di sini,"
"Kalau begitu harusnya kamu ngomong sama kepala sekolah atau guru olah ragamu. Kan itu peraturan sekolah, bukan peraturannya si Fajar, kan?"
Roy seperti tersadar. Ia tak berani menatap Corry.
"Roy, berkelahi itu tidak baik, Nak. Nggak ada yang untung. Coba lihat dirimu sekarang? Kena skors, sakit lagi, di rumah bakalan kena marah lagi. Sakit, kan? Orang lain juga dirugikan. Kamu tahu, nggak, Clara juga bahunya memar kena bolamu tadi."
"Benarkah, Bu?" Roy mendongak.
Corry mengangguk. "Ibu mengerti perasaanmu. Sama seperti kamu, Fajar dan yang lain juga berhak ikut kontes itu. Kalau mau terpilih kamu harus tunjukkan bahwa kamu lebih baik dari teman-temanmu yang lain."
"Iya, Bu. Saya salah. Saya janji nggak akan nakal lagi."
"Oke, Ibu pegang janji kamu," Corry menjabat tangan Roy.
***
Dengan langkah lebar-lebar, Frans memasuki sekolah tempat kedua anaknya mengenyam pendidikan mereka. Langkahnya terhenti saat melihat Fajar berdiri di tengah lapangan. Ia tidak sendirian. Ada Corry di sampingnya merangkulnya sambil berbicara. Di satu saat, tangan Corry malah menyentuh wajah dan badan anaknya seakan memastikan sesuatu. Perasaan hangat merasuki hati Frans.
"Eh, Bapak ayahnya Fajar, kan, ya?" tiba-tiba Sonya muncul mengagetkan Frans.
"Iya, Bu. Saya Frans, ayahnya Fajar," Frans meperkenalkan dirinya. Frans ingat bahwa gadis itu adalah orang yang sama yang menemani kepala sekolah menerima kunjungannya beberapa waktu yang lalu.
"Saya Sonya, maaf hari itu kita nggak sempat berkenalan," Sonya mengulurkan tangannya. "Saya mengajar matematika di sini tapi untuk kelas satu. Saya tidak masuk ke kelasnya Fajar."
"O, begitu," Frans segera menarik tangannya. "Saya datang karena ada panggilan dari sekolah."
"Huh, ini semua gara-gara guru belagu itu, kan Bapak jadi repot," kata Sonya.
"Guru belagu?" ulang Frans. "Siapa?"
"Tuh!" Sonya menunjuk Corry yang masih di lapangan bersama Fajar.
"Belagu bagaimana, ya, Bu? Bukannya anak saya yang belagu?" tanya Frans.
"Namanya juga anak-anak remaja, biasalah berantem, tapi kan nggak harus memanggil orang tua juga," kata Sonya.
"Kalau sudah kelewatan orang tua juga wajib tahu, Bu," kata Frans.
"Iya, tapi kan orang tua jadi repot," kata Sonya.
"Orang tua memang harus repot, Bu. Kalau nggak mau repot, ya, jangan jadi orang tua," kata Frans. "Permisi, saya harus ke mana, ya?"
Sonya cemberut. Ia membimbing Frans pergi ke ruang guru.
"Ini Bapak Frans sudah datang," katanya.
"Iya, Pak. Silakan ke ruang tamu, Pak," kata Bu Winda. "Saya akan panggilkan Bu Corry."
"Baik, Bu," jawab Frans sambil memasuki ruangan yang ditunjuk Bu Nadya.
Ini kedua kalinya ia duduk di ruang tamu sekolah itu. Semua perabotan di ruangan itu masih sama letaknya seperti pertama kali ia duduk di sana. Tak berapa lama ia mendengar seseorang masuk. Ternyata Corry.
"Selamat siang," Frans berdiri dan menyalami Corry. "Saya Frans Utama."
"Orangtuanya Fajar, kan?" tanya Corry. Frans mengangguk dan menjabat tangan Corry erat tapi gadis itu segera menarik tangannya.
"Silakan duduk. Saya Corry, wali kelasnya Fajar."
Mereka berdebat tentang hukuman yang akan dijalani Fajar tapi Corry bergeming, tetap teguh pada pendiriannya.
Frans tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Di satu sisi ia harus mengakui bahwa anaknya memang sudah keterlaluan. Tapi kalimat Corry di akhir pertemuan mereka membuatnya jengkel.
"Saya pikir Fajar berani berbuat kasar itu karena izin Anda. Anda sudah salah mendidik anak Anda."
"Ibu tidak usah mengajari saya bagaimana saya mendidik anak saya. Ibu tidak usah ikut campur!" seru Frans.
"Saya tidak ikut campur, tapi coba Anda evaluasi semua cara Anda mendidik anak-anak Anda di rumah." Kata Corry.
Frans mendengus kesal. Tahu apa gadis itu tentang kehidupanku? Awas aja, pikirnya. Sekali lagi ia menghela nafas berat.
"Maafin Fajar, ya, Dad," Fajar yang duduk di sampingnya menatap takut-takut kepada ayahnya yang sedang menyetir. "Fajar salah!"
"Kita bicarain di rumah," kata Frans singkat, kemudian ia menoleh ke belakang. "Ra, bahumu masih sakit?"
"Udah mendingan, Dad. Tadi Bu Corry langsung ngompres kok," jawab Clara sambil menyibakkan lengan bajunya.
"Bu Corry atau Suster UKS?" tanya Frans.
"Bu Corry, Dad. Tadi Suster Aida ngurusin Kak Roy," jawab Clara.
Frans terdiam. Kemudian ia teringat sesuatu. "Jar, tadi Daddy lihat kamu sama Bu Corry di lapangan. Ngapain dia megang-megang wajah kamu? Nyubit?"
"Nggak, Dad," Fajar tersenyum. "Bu Corry memeriksa Fajar apa ada luka atau nggak. Trus Bu Corry kayaknya datang nemenin Fajar deh. Setelah Daddy datang, dia baru ninggalin Fajar."
"Pasti dia ngomelin kamu, kan?" tebak Frans.
"Nggak, Dad. Dia nasehatin Fajar kok,"
"Pasti sambil marah-marah," pancing Frans.
"Nggak, Dad. Bu Corry lembut kok," Fajar menceritakan semua percakapan mereka saat di lapangan tadi.
Frans mengangguk-angguk.
"Bu Corry cantik kan, Dad?" celetuk Clara.
"Cantik?" ulang Frans. "Mungkin."
"Kok mungkin? Dia masih lajang lho, Dad,"
"Trus?"
"Kayaknya dia cocok sama Daddy,"
Frans terbatuk. Dia sama sekali tidak menyangka pembicaraan mereka akan sampai ke sana. Clara memang selalu bicara blak-blakan dengannya.
Untunglah mereka sudah sampai di rumah.
***