"Menyebalkan!" Corry menghembuskan nafasnya kuat-kuat.
"Sudah selesai perkaranya?" tanya Bu Winda.
"Ayahnya nggak terima sih, Bu, tapi kan ini sudah keputusan sekolah."
"Keputusan sekolah atau keputusan pribadi?" celetuk Sonya tiba-tiba dari mejanya. Guru matematika muda yang baru mengajar satu tahun di sekolah itu memandang datar kepada Corry.
"Maksudnya apa, ya, Bu?" tanya Corry gusar.
"Ya, iya, keputusan pribadi. Skors itu kan kamu yang buat sendiri tanpa sepengetahuan kepala sekolah,"
"Tapi sebagai wali kelas saya berhak memutuskan itu," kata Corry.
"Eh, kamu jangan sok ketinggian deh ngomongnya. Seolah-olah kamu yang paling pintar di sini," sambung Sonya.
"Kamu maksudnya apa?" seru Widya gusar.
"Kamu jangan ikutan deh," kata Sonya. "Aku nggak ngomong sama kamu."
"Kenapa jadi ribut begini?" Bu Winda menengahi. "Benar kata Bu Corry, sebagai wali kelas dia berhak memutuskan apa hukuman anak walinya."
"Nggak bisa sepihak gitu juga dong, Bu," Sonya masih ngotot. "Aku tahu pasti ada maksud lain di balik ini semua."
Kemarahan Corry yang belum sepenuhnya padam bangkit lagi. Ia berdiri. "Bu Sonya, sepertinya anda salah paham. Saya tidak mengerti maksud anda bicara seperti itu kepada saya."
"Alah… kura-kura dalam perahu," kata Sonya.
"Kayaknya ini bukan pertama kali ada kejadian kayak begini tapi kok sekarang heboh, ya?" celetuk Widya. "Hebohnya di pihak guru lagi. Atau jangan-jangan kamu yang ada maksud lain?" Widya mendekati Sonya.
"Sudah, Wid!" Corry menahan langkah Widya.
"Kamu pikir nggak ada yang tahu kalau kamu…" Sonya menggantung perkataannya.
"Kalau apa?" tanya Corry.
"Ada deh," Sonya berjalan melewatinya. "Saya pulang duluan, ya, semua."
Sonya berlalu dengan tawa yang dibuat-buat dan menyebalkan. Saat melewati Corry, ia mengedipkan sebelah matanya.
Corry menghempaskan pantatnya di kursi. "Dia kenapa sih?"
"Udah, nggak usah dibawa ke hati." Kata Widya.
"Dia memang kalau ngomong sesuka hatinya saja," Bu Rani, guru senior di sekolah itu menimpali. "Mentang-mentang dia keponakan kepala sekolah."
"Apa coba maksud dia ngomong kalau aku punya maksud lain?" tanya Corry merasa terganggu.
"Abaikan aja," kata Widya. "Gimana, dia ganteng kan?"
"Apaan sih?" gerutu Corry sambil melepaskan tangan sahabatnya dari pundaknya.
"Itu ayahnya si Fajar. Gimana?"
"Iya, ganteng," kata Corry sekenanya. Dia masih memikirkan perkataan Sonya tadi. Mereka memang tidak akrab dan jarang berbicara lebih dari masalah pekerjaan tapi mereka tidak pernah saling menjawab seperti tadi.
***
Keesokan harinya kepala sekolah memanggil Corry ke ruangannya. Di sana sudah ada Frans dan juga Sonya. Mereka duduk di sofa yang sama menghadap meja Pak Kusuma.
"Duduk, Bu," kata Pak Kusuma.
Corry duduk di sofa tunggal di ujung ruangan yang juga menghadap Pak Kusuma. Dia merasa heran kenapa Sonya selalu ada saat Frans datang ke sekolah mereka.
"Begini, Bapak Utama ini datang untuk membicarakan masalah skors Fajar, anaknya." Pak Kusuma memulai percakapan.
"Kemarin saya kira sudah tuntas, Pak," kata Corry.
"Iya, tapi Pak Utama ini minta keringanan. Masa diskorsnya sampai seminggu?" kata Pak Kusuma.
"Tanpa sepengetahuan kepala sekolah lagi," Sonya menimpali.
Corry mendelik tajam kepadanya.
"Lagian Roy juga nggak apa-apa, kan?"
"Nggak apa-apa bagaimana?" seru Corry. "Roy lebam-lebam dan mulutnya robek, itu nggak apa-apa?"
"Jangan lupa anak perempuan saya juga jadi korban pada saat kejadian itu," kata Frans.
"Dan jangan lupa Roy juga mendapat hukuman yang sama, bukan hanya Fajar," kata Corry. "Dan orang tuanya menelepon saya, berterimakasih karena Roy dihukum seperti itu,"
Wajah Frans memerah merasa tersindir.
"Lagian kalau Fajar yang jadi Roy," Corry menatap Pak Kusuma kemudian beralih kepada Frans dan berhenti lama di sana. "Bagaimana pendapat Bapak?'
Frans dan Pak Kusuma terdiam.
"Saya pikir semua anak punya hak yang sama di sini. Tak peduli anak siapa dan seberapa besar andil orang tuanya di sekolah ini. Yang bersalah harus diberi pelajaran. Dan kesalahan Fajar bukan hanya yang kemarin saja," kata Corry.
"Bu, masalahnya minggu ini pemilihan kapten tim basket. Fajar juga berhak mengikutinya."
"Roy juga." Kata Corry. "Berarti hukumannya dicabut juga? Atau ini berlaku untuk Fajar saja?"
"Bu Corry!" seru Pak Kusuma dengan nada tinggi. "Saya pikir Anda terlalu membesar-besarkan masalah."
"Pak, setiap perbuatan ada konsekuensinya. Kalau saya mencabut hukuman Fajar dan Roy, apakah itu tidak melecehkan sekolah? Dan kalau anak lain yang saya hukum seperti itu, apakah Bapak juga akan minta kelonggaran?"
"Kamu sih sok berani bikin keputusan tanpa izin kepala sekolah," cibir Sonya.
"Baiklah, Pak." Frans berdiri. "Saya mengerti dan menghargai keputusan Bu Corry. Maaf kalau saya terlalu ngotot. Kalau begitu saya permisi, Pak."
Pak Kusuma tidak dapat berkata apa-apa lagi untuk menahan langkah Frans. Sonya langsung berdiri menyusul kepergian Frans.
"Bu, saya pikir Anda sudah keterlaluan. Anda sepertinya sengaja mempermalukan saya di hadapan orang tua siswa," tuding Pak Kusuma marah.
"Bapak yang mempermalukan diri sendiri," tukas Corry.
"Pak Utama itu donator utama sekolah ini. Bagaimana kalau dia menghentikan semua donasi yang akan disumbangkan ke sekolah ini?"
"Bukan berarti Fajar jadi pengecualian karena hal itu. Kalau nggak salah, ayah Roy juga donator tetap di sini jauh sebelum ayah Fajar donatur di sini." Kata Corry tenang.
"Ibu sudah keterlaluan. Selain membuat hukuman tanpa sepengetahuan saya, Anda juga sudah membangkang perkataan saya," seru Pak Kusuma. "Untuk itu saya juga menjatuhkan skors kepada Anda selama hari yang Anda buat untuk Fajar dan Roy."
"Apa, Pak?" Corry terhenyak di kursinya. "Tapi…"
"Tidak ada tapi," Pak Kusuma menggebrak meja.
"Kenapa sebelumnya ada hukuman lebih berat daripada ini yang dibuat guru lain Bapak tidak komplain? Kenapa setelah saya?" tanya Corry.
"Anda tidak perlu membantah. Ini sudah keputusan saya," seru Pak Kusuma.
"Baiklah, Pak. Saya menunggu surat resmi skors saya," Corry berdiri. "Saya rasa sudah tak ada lagi yang perlu dibicarakan. Permisi, Pak."
Corry segera bergegas keluar. Di pintu ia hampir bertabrakan dengan Sonya yang akan masuk. Ada senyum di wajah gadis muda itu.
***
Corry membereskan mejanya dan memasukkan barang-barang penting ke tasnya. Ia merasa tak melakukan kesalahan sehingga ia tak habis pikir dengan keputusan Pak Kusuma. Begitu besarkah pengaruh laki-laki itu? Sepertinya aku mulai membencinya, batimnya kesal.
"Ada apa, Coy?" Widya yang baru masuk heran melihat Corry berkemas-kemas.
Corry tidak menjawab.
"Eh, ada apa, Bu?" Bu Nadia, wakil kepala sekolah, datang tergopoh-gopoh. "Kenapa Pak Kus menyuruh saya membuat surat skors untuk Ibu?"
"Skors?" Widya dan beberapa guru di sana berseru bersamaan.
"Emang kamu ngelakuin salah apa?" tanya Widya.
"Ya, iyalah dia salah," tiba-tiba Sonya muncul. "Dia berlagak jadikepala sekolah sih."
"Ini masih tentang skors Fajar dan Roy?" tanya Widya. "Terus apa hubungannya sama kamu?" Widya menatap Sonya sinis.
"Nggak ada," Sonya mencebikkan bibirnya.
"Sepertinya kamu satu-satunya yang senang di sini," kata Widya.
"Bu, kalau suratnya sudah jadi, tolong titip sama Widya aja, ya, Bu," kata Corry. "Wid, bawa ke rumah nanti, ya."
"Ini nggak adil," seru Widya.
"Sabar, ya, Bu. Mungkin kepala sekolah lagi banyak beban pikiran," kata Bu Nadia.
"Nggak apa-apa kok, Bu," jawab Corry. "Hitung-hitung curi start liburan."
***