Chereads / BUKAN DUDA BIASA / Chapter 7 - BAB 6

Chapter 7 - BAB 6

Keesokan harinya, Corry mendapat kejutan yang tak disangka-sangkanya. Clara datang membawa seikat bunga dan sekotak coklat. Bu Hanna membawa gadis remaja itu ke kamarnya.

"Bu," Clara mencium pipinya. "Ibu sakit apa?"

"Cuma kelelahan, Nak," Corry tersenyum sambil menerima bunga dari tangan Clara. "Makasih, ya, Nak."

"Udah tiga hari Rara nggak lihat Ibu di sekolah. Kata Bu Widya Ibu sakit jadi Rara datang."

"Makasih, Nak. Tapi kamu nggak perlu repot-repot datang ke sini, lho. Lagian Ibu kan bukan wali kelas kamu. Bahkan Ibu nggak ngajar di kelas kamu." Kata Corry.

"Memang, tapi Ibu tahu, nggak?" Clara menatapnya sendu. "Rara kangen sama Ibu. Boleh Rara peluk Ibu?"

Hati Corry menghangat. Ia mengembangkan tangannya dan memeluk Clara. Mungkin Clara kangen sama ibunya, pikirnya.

"Kamu tahu rumah Ibu dari mana?" tanya Corry.

"Tadi nanya sama Bu Widya, Bu."

Corry melepaskan pelukannya dan menatap Clara. "Sekali lagi, makasih, ya, Ra. Kamu baik banget. Hatimu sangat lembut."

Nggak seperti kakakmu, sambung Corry dalam hati. "Kakakmu gimana? Sehat?"

"Sehat, Bu. Kakak ada di mobil sama Daddy."

"Daddy?" ulang Corry. "Memang udah pulang?"

"Udah, Bu. Kemarin. Tadi pagi Daddy ke sekolah menghadap bapak kepala sekolah. Sayangnya Ibu nggak ada."

"Kenapa mereka nggak kamu ajak masuk?"

"Mereka nggak mau, Bu. Lagian kami cuma sebentar kok, Bu. Ini tadi Rara bela-belain datang ke sini. Kata Daddy sih, nggak baik terlalu akrab sama seseorang. Tapi Ibu kan gurunya Rara." Kata Clara jujur.

Orang aneh, pikir Corry.

"Kalau gitu, Rara pamit pulang, ya, Bu. Cepat sembuh, ya, Bu." Clara mencium punggung tangan Corry. "Oh, ya, Bu, coklatnya oleh-oleh Daddy dari Inggris, lho."

"Oh, ya? Sampaikan terima kasih Ibu sama ayah kamu, ya."

"Baik, Bu."

"Hati-hati, ya, Nak. Salam sama Fajar dan ayah kamu. Maaf Ibu nggak bisa ngantar kamu ke bawah."

"Iya, Bu,"

Setelah Clara menghilang di balik pintu, perlahan Corry bangkit dan berjalan menuju jendela. Ia menyibakkan tirai dan melihat ke bawah. Di depan rumahnya terparkir sebuah mobil mewah yang pernah dilihatnya mengantar kedua siswanya itu ke sekolah. Mobil yang berbeda dengan yang dipakai kedua anak itu sehari-hari.

Sebentar kemudian ia melihat Clara keluar dari rumah dan menghampiri mobil itu. Pintu pengemudi terbuka. Seorang laki-laki tinggi keluar dan bicara sebentar dengan Clara. Setelah membelai rambut Clara sekilas, laki-laki itu membuka pintu belakang untuk Clara sebelum ia kembali ke kursi pengemudi.

Seakan tahu diperhatikan, pengemudi itu melihat ke arah Corry. Jantung gadis itu berdetak keras. Ia merasa tertangkap basah sudah mengintip diam-diam. Untung ia segera menutup tirai.

Mungkinkah laki-laki itu ayah mereka? batin Corry.

***

Banyak orang baru di sekolah. Kaki Corry berhenti sejenak dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ada banyak tukang berhelm kuning di lapangan olah raga dan sebagian lapangan disekat.

"Hai, kamu udah sehat?" seseorang menepuk pundaknya. Ia menoleh. Ternyata Widya. Mereka berjalan bersisian.

"Udah. Ini ada perbaikan apa sih?" Corry menunjuk lapangan olah raga.

"Bukan perbaikan," jawab Widya. "Kolam renangnya mau ditambah satu lagi. Jadi kolam laki-laki dan perempuan dipisah."

"Wah, keren. Sekolah dapat dana dari mana?" tanya Corry.

"Tahu, nggak, siapa sponsornya?" Widya balik bertanya.

Corry menaikkan alisnya. "Siapa?"

"Ayahnya Fajar!"

Corry menghentikan langkahnya dan menatap sahabatnya. "Ayahnya Fajar? Dermawan sekali dia."

Mereka sampai di ruang dewan guru.

"Iya, benar." Widya mengacungkan jempol. "Coy, ayahnya Fajar ganteng banget lho."

"Sejak kapan kamu jadi genit begini?" Corry meletakkan tasnya di meja dan menarik kursinya. Ia mengibaskan debu sebelum duduk. "Ada rencana mengganti Bona?"

"Kalau dia cinta aku, kenapa nggak?" balas Widya.

"Udah siap punya anak super kayak Fajar? Gila kamu!" Corry menoyor kepala Widya. "Katanya dia udah menghadap Pak Kus, ya?"

"Iya, udah. Tapi dia benaran tampan, Coy. Pantas Fajar tampan gitu," kata Widya.

Corry melirik tidak suka. "Naksir benaran?"

"Bercanda, Sista. Lagian aku tuh bukan tipenya." Kata Widya.

"Dia udah ngasih tahu kamu tipenya seperti apa?" ledek Corry.

"Nggak, sih, tapi kan dari level ketampanannya dia pasti suka yang cantik bening gitu," kata Widya. "Minimal dapat artislah."

"Artis yang mana dulu? Mereka juga nggak semua punya modal cantik," kata Corry. "Terus kalau kamu tipenya dan dia mengejarmu, gimana? Bona berlalu?"

"Nggaklah!" jawab Widya cepat. "Aku setia kok sama Bona. Dia pujaan hatiku."

"Gombal!" cibir Corry.

"Sudah sehat, Bu Corry?" Bu Astri masuk dan tersenyum. "Kok bisa Ibu tiba-tiba sakit? Datang bulan, ya?"

"Nggak kok, Bu. Mungkin kelelahan." jawab Corry.

Bel tanda pelajaran akan dimulai berbunyi.

"Ayo, Wid!" ajak Corry. "Kamu ke mana sekarang?"

"Dekat kok, di sebelah, kelas IX-A. Kamu?"

"Kalau begitu, aku duluan, ya, aku mau ke kelasnya calon anak tirimu." Corry mengedipkan matanya. Widya bengong.

Corry melangkah lambat-lambat di sepanjang koridor. Ia menikmati aroma bunga mawar yang bermekaran di kedua sisi koridor. Saat menaiki tangga, ia melihat Pak Kusuma, Kepala Sekolah, keluar dari ruangannya bersama seorang pria dewasa menuju lapangan olah raga. Mata mereka beradu pandang. Pria itu mengangguk tapi Corry langsung melengos dan melanjutkan perjalanannya.

"Selamat pagi, Anak-anak," Corry menyapa sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling kelas.

"Selamat pagi, Bu," para siswa membalas dengan nyaring.

"Kita lanjutkan pelajaran kita, ya," kata Corry. "Kita sudah sampai di mana?"

"Bab 9 halaman 125, Bu," jawab Meta.

Saat istirahat tiba, Corry membiarkan anak didiknya keluar kelas lebih dahulu. Ia masih membereskan catatannya ketika seseorang berdiri di hadapannya. Ia mengangkat wajahnya dan melihat Fajar berdiri menatapnya.

"Kenapa, Fajar? Kamu nggak istirahat?" tanya Corry.

"Saya senang Ibu udah sehat dan kembali mengajar." Fajar memberikan sebuah amplop kuning besar. "Maaf, ya, Bu, saya nggak menjenguk Ibu kemarin."

"Apa ini?" tanya Corry. "Kamu nggak perlu ngasih apa-apa sama Ibu, lho."

"Nggak apa-apa kok, Bu. Ini karya saya sendiri kok."

"Tapi Fajar…"

"Permisi, Bu," Fajar langsung beranjak pergi.

Corry termangu menatap amplop besar itu. Tangannya sedikit bergetar saat membukanya. Sebuah lukisan. Lukisan dirinya saat berada di antara belasan anak-anak panti. Dan lukisan itu begitu hidup, begitu mirip dengan dirinya sehingga seolah-olah bukan dilukis tapi seperti dijepret kamera.

Corry menatap lama pada lukisan itu dan ia menyadari sesuatu. Hidup masih berjalan dan ia harus mensyukurinya. Hidupnya tidak boleh berhenti hanya karena Hendra meninggalkannya. Tujuan hidup tidak hanya satu. Masih banyak hal lain dalam hidup ini yang perlu perhatiannya. Salah satunya anak-anak panti itu.

Corry terharu, ia mendekap lukisan itu ke dadanya. Ia tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Dan tanpa disadarinya, Fajar yang menyaksikannya dari jendela juga tersenyum.

***

Lapangan bola basket sedikit ramai. Kelas IX-A sedang latihan. Tim Roy menghadapi Tim Fajar. Kedua tim sama-sama tangguh. Fajar sangat menonjol di antara teman-temannya. Tinggi badannya yang di atas rata-rata membuatnya mudah memasukkan bola ke keranjang.

Corry yang sedang tidak mengajar memilih duduk menyaksikan latihan anak didiknya itu di depan kelas yang menghadap langsung ke lapangan bola basket. Beberapa siswa perempuan duduk bersamanya.

"Menurut Ibu, siapa yang cocok jadi Kapten Tim?" tanya Pak Handoko, guru olahraga yang tiba-tiba ada di belakang Corry. "Fajar atau Roy? Atau ada anak lain yang Ibu jagokan?"

"Eh, saya tidak tahu, Pak. Saya lihat mereka sama-sama jago kok," jawab Corry.

Mereka kembali melihat ke lapangan. Fajar selalu dibayang-bayangi oleh Roy dan juga sebaliknya. Keduanya seperti berlomba membuktikan sesuatu. Mereka berdua benar-benar berlatih keras. Saat Fajar hendak melempar bola ke keranjang lawan, Roy berlari dengan sengaja di sampingnya sehingga ia menabrak Fajar. Mereka berdua jatuh dan bola gagal masuk ke keranjang. Fajar segera bangkit. Spontan Corry juga ikut berdiri. Ia merasakan firasat buruk.

"Mereka pasti berantem," kata Corry. Pak Handoko berlari ke tengah lapangan dan membunyikan peluit.

"Kamu curang!" tuding Fajar ketus.

"Terus kenapa?" tantang Roy. Ia menangkap bola yang bergulir ke arahnya.

"Sportif dong! Kalau nggak bisa main, mundur aja!" seru Fajar kesal. Ia berbalik meninggalkan Roy dengan wajah marah.

Roy tidak menjawab tapi tanpa diduga ia melempar bola dengan sekuat tenaga ke arah Fajar. Fajar yang merasa ada bahaya menoleh dan dengan refleks mengelak ke samping. Bola terus meluncur melewati lapangan dan menghantam pundak Clara yang kebetulan lewat dari sana.

Gadis remaja itu menjerit seiring dengan tubuhnya yang jatuh terjengkang. Jeritannya mengejutkan Fajar dan Roy. Mereka berdua segera berlari menghampiri Clara. Corry juga beranjak dari tempat duduknya

"Rara…" seru Fajar sambil membantu adiknya bangun.