"Yang nabrak siapa? Yang disuruh tanggung jawab siapa? Kenapa sih selalu saja seperti itu dunia tidak pernah adil kepadaku?" kesal Alden sembari menggosok setiap ujung dari kolam renang.
"Jangan terus menggerutu kalau mau pekerjaan cepat selesai, kalau kerjaan kamu hari ini tidak kelar juga aku akan menambah hukuman kamu," ancam Angel sembari duduk di salah satu sofa yang ada di dekat kolam renang, sengaja ia duduk di sana untuk mengawasi pekerjaan dari laki-laki yang sedang ia hukum.
"Kalau selesai hari ini juga aku bisa langsung pulang, kan?" tanya Alden.
"Emm tergantung, kalau pekerjaan yang aku kasih kamu lakukan dengan baik dan semuanya bersih, baru aku akan memperbolehkan kamu pulang," ujar Angel membuat Alden mendengus kesal.
Angel sedikit terperangah begitu laki-laki asing tersebut membuka maskernya, seketika yang terlintas di pikirannya hanya satu kata yaitu tampan. Memang ia sering sekali menjumpai banyak pria-pria tampan di sekitarnya, hanya saja ketampanan yang dimiliki oleh Alden terasa begitu berbeda.
"Kenapa kamu ngeliatin aku kayak, gitu? Kamu mau ikutan gosok kolam renang juga? Kalau mau ikutan sini nyebur," suruh Alden membuat Angel memutar bola matanya dengan malas.
"Sembarangan saja, semua itu tugas kamu jadi aku hanya akan mengawasi pekerjaan kamu sampai selesai," ujar Angel sembari bersidekap di depan dada.
Angel merasa ada sesuatu yang terlupakan, namun ia masih belum bisa mengingatnya. Iseng-iseng membuka ponselnya sembari mengingat-ingat kembali, tak lama kemudian ia berhasil mengingat bahwa ia belum jadi menghubungi nomor laki-laki yang diberikan oleh asistennya. Mencari kontaknya terlebih dahulu dan tanpa basa-basi langsung menekan tombol hijau untuk meneleponnya.
"Hm? Kenapa nomornya tidak aktif? Apa Laras memberikan nomor yang salah? Tapi dia tidak pernah seperti itu sebelumnya?" heran Angel yang sudah beberapa kali menelpon namun sambungan hanya memanggil saja tidak berdering.
"Aku telefon Laras aja deh," gumamnya.
"My asisten"
Berdering...
"Halo, Bos? Kenapa?"
"Kenapa nomor yang tadi kamu kasih tidak bisa dihubungi? Yakin kamu tidak salah ngasih nomor?"
"Enggak kok, tadi bener nomor yang aku kasih. Masa sih dia enggak bisa dihubungi? Coba nanti aku hubungi, sabar ya aku lagi ada di kamar mandi soalnya."
"Ya sudah secepatnya kamu hubungi dia dan suruh datang ke rumahku, btw ngapain kamu ke kamar mandi bawa ponsel? Nanti kalau ponselnya jatuh terus rusak ngerengek handphone minta ganti?"
"Hehe ya aku gabut makanya aku bawa ponsel ke kamar mandi, ya udah aku lagi pup aku mau fokus dulu."
"Buruan, aku tunggu secepatnya."
"Ihh kebiasaan banget sih enggak sabaran."
"Bodo amat, kamu kan tahu kalau aku lagi pengen kayak gimana?"
"Hufft, iya ah."
Penyakit yang diidapnya sudah cukup lama dan seperti tidak bisa hilang darinya, bahkan obat-obatan atau terapi seperti tidak manjur sama sekali. Angel memilih untuk membicarakannya dan cenderung mengikuti hawa nafsunya.
Angel penasaran setampan apa laki-laki yang dibawa oleh asistennya kali ini, rasanya juga sudah tidak sabar untuk kembali menikmati lollipop kesukaannya.
"Udah selesai, aku mau pulang capek banget aku," keluh Alden sembari mencuci tangannya di kran yang mengalir.
"Tulis nomor ponsel kamu di kertas itu, aku tidak bisa melepaskan kamu begitu saja. Jangan berpikir hanya dengan menguras kolam renang, setara dengan 50 juta yang aku bilang untuk ganti rugi kerusakan di mobilku. Besok-besok kalau aku butuhin tenaga kamu lagi kamu harus datang langsung ke sini, kamu ingat-ingat alamat rumahku jadi biar nanti kamu mudah kalau mau ke sini," ujar Angel sembari menyodorkan kertas beserta pulpennya.
Alden terpaksa menuliskan nomor teleponnya kemudian bergegas pergi dari rumah itu, badannya sudah terasa begitu lelah setelah menguras kolam renang sendirian. Hidup seorang diri di luar memang berat, namun sebagai anak laki-laki ia tidak mau mengeluh dan tetap harus berjuang walaupun seorang diri.
Alden sudah tidak mau lagi mengharap untuk bisa kembali ke rumahnya, berharap setelah ibunya menikah lagi kehidupan mereka menjadi lebih bahagia dan semakin lebih baik, namun semua itu tidak seindah yang mereka bayangkan. Alden sering sekali berselisih paham dengan ayah tirinya, sehingga membuatnya tidak betah berada di rumah. Walaupun rumah yang ditempati oleh mamanya adalah rumah yang sudah atas nama Alden sendiri, namun ia tidak mau satu atap dengan ayah tirinya.
"Hufftt, capek banget sumpah," keluh Alden mengistirahatkan badannya sejenak di salah satu kursi yang berjajar di pinggir jalan.
Membeli sedikit cemilan untuk mengganjal perutnya, sembari iseng membuka ponselnya dan ternyata ia kehabisan baterai hingga ponselnya tidak dapat menyala sama sekali. Alden malam ini tidak tahu harus tidur di mana, ia juga belum mendapatkan tempat tinggal sama sekali.
Tidak mungkin kalau dirinya harus tinggal di hotel, sisa uang yang ada di tabungannya tidak begitu banyak kalau harus tinggal di sana. Ia memutuskan untuk tiduran di kursi tersebut, tanpa memperdulikan dinginnya angin malam yang menusuk kulitnya. Beruntung karena ia masih mempunyai jaket yang cukup tebal dan bisa menghangatkan tubuhnya walaupun tidak seberapa.
"Mas? Mau tidur di sini? Kenapa tidak pulang ke rumah?" tanya salah satu penjual cemilan yang ada di area tersebut.
"Mau pulang ke mana? Saya bahkan tidak punya rumah," ujar Alden sembari merubah posisinya menjadi duduk kembali, karena tidak sopan kalau diajak ngobrol tapi sambil rebahan.
"Kok bisa tidak punya rumah, Mas?" herannya.
"Yeahh saya diusir dari rumah, makanya saya tidak punya tempat tinggal," ujar Alden sembari tersenyum miris.
"Terus masnya mau tidur di sini? Apa tidak takut kalau nanti misalkan ada orang yang jahat?" tanyanya sembari mewanti-wanti karena ia sudah hafal betul modus-modus orang jahat daerah sini.
"Emm semoga saja tidak ada, kalaupun saya harus mencari kosan mana ada yang malam-malam begini buka? Kayaknya saya baru bisa mencari besok pagi," ujar Alden membuat si penjual mengangguk paham.
"Ya sudah kalau begitu saya temani di sini, saya takut kalau nanti masnya jadi korban orang-orang jahat yang suka berkeliling daerah sini."
"Kenapa masnya mau nemenin saya di sini? Memangnya masnya tidak pulang ke rumah juga?" heran Alden.
"Saya memang sudah biasa tidak pulang ke rumah, terkadang saya baru pulang dua hari sekali atau tiga hari sekali pokoknya sampai jualan saya habis atau sudah berkurang banyak, baru saya akan pulang," jawabnya.
"Memangnya masnya tidak punya tanggungan di rumah? Seperti anak atau istri, begitu?" tanya Alden.
"Saya belum menikah dan saya ragu kalau ada wanita yang mau menikah dengan saya ,secara saya cuma penjual cemilan doang mana ada yang mau hidup susah bersama saya," curhatnya.
"Kenapa kita jadi senasib gini, ya?" gumam Alden.
JANGAN LUPA TAMBAHKAN KE RAK DAN TINGGALKAN REVIEW JUGA GAESSS, TERIMAKASIH.